Terjadi 136 Kasus Kekerasan di Sekolah Sepanjang 2023, 19 Orang Meninggal
Dalam sepekan terjadi 2-3 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Hal ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan bahwa kondisi sekarang sedang tidak baik-baik saja.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2023 menelan 19 korban jiwa. Jenis kasusnya beragam, tetapi kasus perundungan dan kekerasan seksual menjadi yang terbanyak meski pemerintah sudah membuat peraturan antikekerasan di satuan pendidikan.
Sedikitnya ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2023 yang terekam pemberitaan media massa dengan total 134 pelaku dan 339 korban yang 19 orang di antaranya meninggal dunia. Data ini dihimpun Yayasan Cahaya Guru pada 1 Januari-10 Desember 2023 melalui pemantauan pemberitaan media massa tersertifikasi Dewan Pers.
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisi mengatakan, setelah menganalisis temuannya, tim peneliti menyimpulkan, dalam sepekan terjadi 2-3 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Hal ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan bahwa kondisi sekarang sedang tidak baik-baik saja.
”Ini sangat mengkhawatirkan karena kejadian-kejadian ini mengerikan, sampai 19 orang meninggal. Hak pendidikan yang aman bagi semua menjadi terganggu,” kata Mukhlisi dalam diskusi Memperteguh Pendidikan Keragaman dan Demokrasi di Tahun Politik, secara daring, Sabtu (16/12/2023).
Kasus perundungan dan kekerasan seksual menjadi kasus yang paling banyak terjadi selama 2023 dengan masing-masing 42 dan 40 kasus, disusul kasus kekerasan fisik dengan 34 kasus. Kasus kekerasan paling banyak terjadi di sekolah dasar dengan 40 kasus disusul sekolah menengah pertama dengan 35 kasus.
Kasus lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah intoleransi. Walaupun yang terekam media hanya empat kasus, dampaknya akan luas bagi warga sekolah, mulai dari guru, murid, kepala sekolah, yayasan, hingga masyarakat sekitar. Mukhlisi mendorong pemerintah untuk lebih gencar mewujudkan masyarakat yang rukun dan majemuk, tidak hanya di atas kertas aturan saja.
Kalau belum semua satuan pendidikan membuat satgas, kami masih permisif atau wajar karena diberi waktu satu tahun.
Misalnya, SMPN 5 Kabupaten Ciamis yang mengajak muridnya mengunjungi sejumlah tempat ibadah di Kampung Kerukunan Ciamis pada Oktober lalu dalam rangka edukasi keberagaman dianggap kurang pas oleh ormas setempat. Ormas tersebut lalu mengintimidasi dan mendorong kepala dinas pendidikan untuk menindaklanjuti sekolah tersebut sehingga akhirnya kegiatan tersebut ditiadakan lagi.
”Kasus intoleransi memang sedikit, tetapi dampaknya sangat luas pada kehidupan masyarakat di luar sekolah,” ucapnya.
Para pelaku dari ratusan kasus ini pun beragam, mulai dari sesama murid atau mahasiswa, guru atau dosen, tenaga kependidikan, kepala dinas pendidikan, orangtua, organisasi masyarakat, kepala sekolah, bahkan sampai pemuka agama. Tim kampanye nasional salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden juga ada yang menjadi pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
Sementara jika dilihat dari lokasinya, tindak kekerasan paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat, yakni 32 kasus, disusul Jawa Timur 18 kasus, Jawa Tengah 16 kasus, Sulawesi Utara 8 kasus, dan Sumatera Utara 7 kasus.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 sebagai payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan. Namun, dalam kenyataannya, aturan ini hanya menjadi ”macan kertas”.
”Hanya tiga atau empat provinsi yang sudah membuat Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satuan Tugas) sesuai amanat permendikbud ini. Pemerintah daerah harus segera membuat ini,” tutur Mukhlisi.
Endang Yuliastuti, perwakilan Pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), menambahkan, sejauh ini permendikbud tersebut hanya dipandang sebagai imbauan semata oleh sekolah-sekolah di daerah. Tidak ada upaya untuk mengawasi penyelenggaraan dan implikasinya dalam jangka waktu tertentu.
”Di sekolah-sekolah negeri yang saya tahu, tidak ada pemantauan apakah setiap sekolah sudah membentuk satgas, tidak ada evaluasi, apalagi tindak lanjut, sehingga seperti imbauan saja,” kata Endang.
Kepala Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan, Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, Julians Andarsa mengakui, implementasi aturan memang masih menemui banyak kendala sehingga hasilnya belum terlihat. Perlu kolaborasi semua pihak untuk memastikan aturan berjalan dengan baik.
”Aturan ini sifatnya bukan imbauan, memang baru terbit di Agustus 2023, jadi kalau belum semua satuan pendidikan membuat satgas, kami masih permisif atau wajar karena diberi waktu satu tahun,” kata Julian.
Namun, dia menyatakan koordinasi dengan pemerintah daerah hingga satuan pendidikan di semua tingkatan terus dilakukan. Pemerintah berkomitmen tetap akan menghapuskan tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan atau kekerasan, dan intoleransi.