Berkolaborasi Menebalkan Kembali Jejak Literasi
Data berbagai sumber kerap menunjukkan rendahnya tingkat literasi di Tanah Air. Namun, peradaban Nusantara justru merekam jejak literasi yang mengagumkan.
Skor Programme for International Student Assessment atau PISA 2022 yang dirilis pekan lalu menampilkan ”wajah ganda” dunia literasi di Indonesia. Di satu sisi, peringkat literasi Indonesia naik lima posisi dibandingkan dengan hasil PISA 2018. Namun, di sisi lain, skornya justru turun 12 poin.
Hasil tersebut menjadi potret literasi yang tidak baik-baik saja. Apalagi, Asesmen Nasional 2021 menunjukkan, satu dari dua siswa belum mencapai kompetensi minimum literasi.
Belum mumpuninya budaya literasi sering dijadikan alasan rendahnya tingkat literasi Indonesia. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya sahih.
Baca juga: Narasi Skor PISA Indonesia Jangan Seolah-olah Prestasi
”Akar persoalannya bukan semata-mata pada budaya literasi. Kita mempunyai epos I La Galigo di Sulawesi Selatan yang menjadi naskah sastra terpanjang di dunia,” ujar pegiat literasi Maman Suherman di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Di sejumlah daerah lainnya juga terdapat peninggalan naskah-naskah kuno dengan berbagai media penulisan. Naskah itu berisi beragam pengetahuan tradisional atau kisah-kisah pada masa lampau.
Akan tetapi, jejak mentereng literasi tersebut perlahan terkikis akibat berbagai persoalan. Salah satu yang paling mendasar adalah minimnya ketersediaan buku atau sumber bacaan.
Standar Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan, setiap orang minimal membaca tiga buku setiap tahunnya. Namun, di Indonesia, rasio koleksi perpustakaan daerah dengan jumlah penduduk sebesar 1 : 90. Artinya, satu buku ditunggu oleh 90 orang.
Baca juga: Berkolaborasi Menularkan Gerakan Literasi
Selain itu, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Berarti, cuma 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Menurut Maman, gerakan literasi tidak cuma bertumpu pada pemerintah melalui sekolah atau instansi pendidikan lainnya. Gerakan literasi masyarakat juga punya peran sentral untuk mendekatkan akses warga ke sumber bacaan.
Oleh karena itu, upaya meningkatkan literasi tidak boleh egosentris, tetapi lebih mengedepankan kolaborasi. Gerakan literasi warga masih sering dianggap sebelah mata karena skalanya kecil dan tersebar hingga pelosok desa.
Akan tetapi, keberadaannya membangun kedekatan dengan masyarakat. Hal inilah yang bisa menumbuhkan ketertarikan warga dengan buku dan memperkuat budaya literasi.
”Literasi warga itu jangan diabaikan. Justru harus diberdayakan dan dijadikan satu kekuatan. Bermitra saja dengan perpustakaan daerah. Bekerja samalah dengan mereka,” ucapnya.
Akan tetapi, jejak mentereng literasi tersebut perlahan terkikis akibat berbagai persoalan. Salah satu yang paling mendasar adalah minimnya ketersediaan buku atau sumber bacaan.
Kolaborasi tak bisa ditawar mengingat jumlah perpustakaan di Indonesia relatif minim. Jumlah perpustakaan desa sekitar 33.000 unit. Padahal, Indonesia mempunyai sekitar 84.000 desa/kelurahan.
Maman menambahkan, perpustakaan perlu mengubah paradigma pelayanannya. Sebab, kehidupan masyarakat juga telah berkembang sehingga menuntut berbagi kebutuhan yang mesti disediakan oleh perpustakaan.
”Perpustakaan bukan hanya ruang hening. Era perpustakaan sebagai ruang sunyi sudah lewat. Justru harus ada aktivitas untuk memantik dialog dan menghasilkan pengetahuan,” ujarnya.
Gerakan akar rumput
Literasi di Indonesia tidak melulu menampilkan wajah suram. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan literasi di akar rumput mulai menggeliat untuk membudayakan membaca buku.
Selain perpustakaan, warga dapat mengakses buku melalui taman bacaan masyarakat (TBM). Lokasinya yang tersebar hingga pelosok desa diharapkan memudahkan warga untuk membaca buku. Saat ini, terdapat lebih dari 3.000 TBM di seluruh Indonesia.
Selain itu, semakin banyak taman kota yang menyediakan lemari buku. Tak menyediakan buku untuk dibaca, lemari itu juga menampung sumbangan buku dari pengunjung sehingga dapat dibaca oleh pengunjung lainnya.
Di sejumlah kota, kafe-kafe menyediakan rak buku atau sudut baca. Bahkan, terdapat rak buku yang ditempatkan di halte dan stasiun sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengguna transportasi umum.
Komunitas membaca buku bersama juga bermunculan di sejumlah daerah. Biasanya mereka berkumpul di lokasi tertentu sambil membawa buku masing-masing. Setelah itu, saling bertukar buku dan mendiskusikan isinya.
Akan tetapi, upaya menggalakkan budaya membaca bukannya tanpa tantangan. Dalam beberapa kasus, buku-buku di lemari dan rak di ruang publik ludes digondol maling.
Baca juga: Derai Air Mata Perbukuan Tanah Air
Ketua Umum Gerakan Pembudayaan Minat Baca (GPMB) Herlina Mustikasari mengatakan, menumbuhkan minat baca tidak bisa dilakukan secara instan. Literasi merupakan tahapan yang berkelanjutan sehingga harus digiatkan terus-menerus.
”Kita perlu memperkuat kolaborasi. Perpustakaan, TBM, rumah baca, merupakan outlet literasi yang memberikan akses kepada masyarakat. Agar menarik minat warga, outlet-outlet itu jangan sekadar jadi pajangan buku, tetapi harus memahami kebutuhan masyarakat sekitarnya,” ujarnya.
Akan tetapi, langkah memperkuat literasi sering tersandung sejumlah masalah. Pendirian TBM, misalnya, dibelit oleh berbagai persoalan administrasi yang membutuhkan biaya. Sementara lapak-lapak buku tidak jarang dibubarkan aparat dengan berbagai alasan.
Konsistensi
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, seperti kebanyakan negara-negara lain, skor PISA Indonesia turun dibandingkan dengan tahun 2018. Meskipun skor turun, peringkat PISA Indonesia pada tahun 2022 naik 5-6 posisi dari tahun 2018.
”Ini kabar menggembirakan karena dampak pandemi dan learning loss di Indonesia pemulihannya jauh lebih cepat daripada rata-rata dunia. Ini menunjukkan ketangguhan sistem pendidikan dan berbagai aktivitas mengejar ketertinggalan ternyata efektif,” ucap Nadiem (Kompas, 6/12/2023).
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan mengatakan, pemerintah tidak perlu reaksioner menyikapi hasil PISA. Sebab, yang lebih penting adalah membenahi sejumlah indikator dalam pendidikan, salah satunya kualitas guru.
Srihani (41) bersalaman dengan sejumlah siswa di salah satu sekolah dasar negeri di Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). Srihani merupakan guru honorer yang lulus seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK tahun 2021. Namun, ia belum mendapatkan formasi penempatan.
”Terlepas dari turun atau naiknya peringkat dan poin PISA, kita sebaiknya konsisten saja untuk meningkatkan kualitas guru. Untuk apa kita memikirkan PISA, tapi masalah fundamentalnya tidak diperbaiki,” katanya.
Baca juga: Bangun Fondasi Pembelajaran Siswa dengan Literasi
Cecep mencontohkan, proses perekrutan guru aparatur sipil negara (ASN) berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) masih menimbulkan persoalan di sejumlah daerah. Nasib mereka terombang-ambing. Sebab, meski sudah dinyatakan lulus ambang batas atau passing grade, masih banyak guru yang belum terserap karena kurangnya formasi guru yang diajukan pemerintah daerah.
”Guru punya kontribusi besar untuk meningkatkan literasi siswa. Namun, jika masa depannya tidak jelas, bagaimana mereka bisa fokus menjalankan tugasnya? Mereka perlu segera dicarikan solusi,” ucapnya.
Meskipun dibelit berbagai persoalan, langkah-langkah kecil gerakan literasi di akar rumput menumbuhkan harapan untuk menggairahkan budaya membaca. Tanpa kolaborasi lintas sektor, krisis literasi di Tanah Air akan semakin berlarut-larut.