Status Jamu sebagai Warisan Budaya Dunia Harus Berdampak
Jamu harus dilestarikan dan dikembangkan menjadi suatu minuman gaya hidup sehari-hari, seperti kopi dan teh.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan Budaya Sehat Jamu sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa atau UNESCO pada 6 Desember 2023 harus berdampak bagi semua pihak. Penyusunan peta jalan jamu akan semakin digalakkan agar budaya sehat ini tetap lestari menyehatkan bangsa Indonesia.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Putri Kus Wisnu Wardani, menyatakan, pemerintah telah berkomitmen pada pelestarian jamu melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu yang diterbitkan pada September 2023. Berdasarkan peraturan presiden ini, pemerintah pusat dan daerah, walaupun akan berganti pemerintahan, tetap berkewajiban mengerahkan segala upaya melestarian jamu.
Dia mencontohkan, pemerintah bisa membuat gerakan yang lebih masif untuk memasyarakatkan dan menjaga regenerasi peracik jamu. Selain itu, jamu juga bisa digunakan sebagai alat diplomasi untuk mengenalkan jamu kepada dunia atau mewajibkan jamu ada dalam setiap kegiatan masyarakat, mengajarkan Budaya Sehat Jamu kepada anak-anak di sekolah, serta merayakan Hari Jamu Nasional setiap tanggal 27 Mei dengan lebih bermakna.
”Sudah ada peraturan presidennya sehingga itu harus dilaksanakan pusat dan daerah, ada juga Undang-Undang Kesehatan yang mengakomodasi pengobatan tradisional. Ini tugas negara membuat sehat masyarakatnya dengan mengajarkan pemeliharaan kesehatan yang benar,” kata Putri dalam jumpa pers di Kedai Jamu Acaraki, Mall Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Dia berharap budaya sehat dengan jamu atau cara lainnya bisa semakin membudaya di masyarakat Indonesia. Sebab, paparan minuman berpemanis di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Dengan kepedulian generasi milenial dan Z yang tinggi terhadap kesehatan dan lingkungan, seharusnya gaya hidup masyarakat Indonesia bisa lebih sehat, salah satunya dengan jamu.
Data Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan, dalam dua dekade terakhir, konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia meningkat signifikan dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter di 2015. Akibatnya, Indonesia menempati posisi ketiga dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.
Mengapa tidak kita menjadikan jamu sebagai suatu minuman gaya hidup, seperti kopi ataupun teh?
Penggagas rencana pengajuan jamu ke UNESCO, Jaya Suprana, menegaskan bahwa jamu bukan sekadar produk olahan, melainkan bentuk peradaban manusia Indonesia. Jamu yang diyakini tumbuh di Tanah Air sejak abad ke-8 Masehi ini harus semakin dikembangkan dan berjaya di Tanah Air sendiri.
”Leluhur kita melakukan percobaan jamu melalui proses amat berat dan lama. Jadi, jamu lebih dari kebudayaan, tetapi ia bagian peradaban. Jadi, sekarang tanggung jawab kita semakin besar, harus ada simposium jamu setelah penetapan UNESCO ini untuk membuat peta jalan jamu kita ke depan,” kata Jaya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Dwi Ranny Pertiwi Zarman mengatakan bahwa semua pengusaha jamu menyambut gembira penetapan UNESCO ini. Mereka berkomitmen terus membuat inovasi jamu dalam bentuk yang lebih praktis tanpa mengurangi khasiatnya agar bisa bersaing dengan minuman berpemanis dalam kemasan di pasaran.
”Industri jamu akan terus mengembangkan dan melestarikan agar lebih luas lagi karena itu juga menjadi tugas kami untuk menjaga pelestarian pengembangan jamu yang harus dilaporkan ke UNESCO,” kata Dwi.
UNESCO menetapkan jamu sebagai warisan budaya tak benda dalam sesi sidang ke-18 Komite Antar-Pemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda di Kasane, Botswana, Selasa (6/12/2023). UNESCO menilai Budaya Sehat Jamu adalah salah satu sarana ekspresi budaya yang membangun koneksi antara manusia dan semesta.
UNESCO juga mengakui bahwa budaya jamu ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), antara lain untuk kesehatan dan kesejahteraan, kesetaraan jender, produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, dan kehidupan di darat.
Budaya Sehat Jamu yang diakui UNESCO meliputi keterampilan tradisional dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan obat-obatan alami tradisional yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah serta metode pengobatan tradisional. Pembuatan jamu ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan dengan meningkatkan kekebalan tubuh.
Selain menjadi kekayaan budaya dan alam Indonesia, jamu juga memiliki nilai strategis dari sisi ekonomi. Produksi jamu melibatkan banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari petani yang menanam bahan baku jamu, pekerja yang memprosesnya, hingga tenaga penjualan dan pemasaran. Jamu juga menjadi penggerak ekonomi di tingkat lokal dan beberapa produk jamu telah meraih popularitas di pasar global.
Budaya jamu sendiri dipercaya telah hidup sejak abad ke-8 Masehi, terbukti dari relief di Candi Borobudur dan manuskrip kuno, seperti Kakawin Ramayana dan Serat Centhini. Dengan penetapan oleh UNESCO ini, Budaya Sehat Jamu menyusul 12 warisan budaya dunia tak benda Indonesia sebelumnya, yakni Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Pendidikan dan Pelatihan Membatik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), Tiga Genre Tari Bali (2015), Pinisi (2017), Tradisi Pencak Silat (2019), Pantun (2020), dan Gamelan (2021).
Jony Yuwono, Ketua Tim Riset GP Jamu, menambahkan, penetapan Budaya Sehat Jamu sebagai warisan budaya dunia ini akan mengangkat taraf ekonomi para peracik jamu sebagai garda terdepan pelestarian dan pewarisan jamu secara berkelanjutan.
”Jamu sering kali diartikan sebagai jampi lan usodho, yang berarti doa dan kesehatan. Maka, mengapa tidak kita menjadikan jamu sebagai suatu minuman gaya hidup, seperti kopi ataupun teh?” kata Jony menambahkan.