Dunia Pendidikan Kian Mengakrabi Teknologi Digital
Manusia kian akrab dengan teknologi digital. Dunia pendidikan perlu meresponsnya dengan mengakrabi digitalisasi pendidikan secara seimbang.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi digital dalam dunia pendidikan perlu terus diakrabi sebagai alat bantu untuk mendukung sistem administrasi dan pembelajaran serta mengakselerasi implementasi kebijakan pendidikan ke berbagai daerah. Pemanfaatan teknologi digital dalam pendidikan juga harus dibarengi dengan membangun kesadaran bahaya yang mengancam di dunia digital sejak dini dari siswa, pendidik, hingga orangtua.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi, Selasa (12/12/2023) di Jakarta, mengatakan, para pendidik harus mengakrabi teknologi. Transformasi teknologi digital saat ini bukan hanya menyiapkan perangkatnya, melainkan juga mentransformasi sumber daya manusia (SDM).
”Sebagai pendidik, kita tidak bisa digantikan teknologi. Tapi kalau tidak mengakrabi teknologi, guru akan mudah tergantikan. Sebab, hasrat anak-anak zaman kini sudah mengakrabi teknologi dan menganggapnya penting. Pendidik perlu mengakrabi teknologi sebagai alat untuk pembelajaran sehingga menarik dan relate atau nyambung dengan anak-anak kita,” kata Unifah dalam kegiatan Education Outlook 2024: Keberlanjutan Transformasi Digital pada Lanskap Pendidikan Indonesia yang digelar Acer Indonesia di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Iwan Syahril mengatakan, teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk mengeskalasi ekosistem pendidikan yang mendukung guru untuk mengatasi krisis belajar yang sudah lama terjadi dan diperparah pandemi Covid-19. Kondisi kehilangan pembelajaran (learning loss) di Indonesia selama pandemi menyebabkan siswa kehilangan hasil belajar selama enam bulan di literasi dan lima bulan untuk numerasi.
”Lewat transformasi pendidikan Merdeka Belajar, intinya menitikberatkan partisipasi semua pihak dan akar rumput untuk melakukan perubahan substansial dari sistem pendidikan yang berfokus pada kompetensi, literasi, dan numerasi, serta karakter. Kami menghadirkan beragam produk teknologi yang dibutuhkan ekosistem pendidikan, termasuk guru,” kata Iwan
Kurang dari dua tahun, kata Iwan, Platform Merdeka Mengajar (PMM) telah memiliki 3,3 juta pengguna aktif. Platform berbasis komunitas belajar dan berbagi ini telah memiliki sekitar 453.000 konten yang dibuat guru. Ada juga Rapor Pendidikan yang menunjukkan hasil Asesmen Nasional yang memudahkan kepala sekolah dan guru dapat melihat apa yang terpenting untuk kemajuan sekolah dan siswa dalam literasi dan numerasi serta iklim keamanan sekolah (perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi).
Ada juga platform ARKAS untuk membantu perencanaan dan pelaporan anggaran sekolah. Hal ini untuk membantu kepala sekolah memiliki waktu untuk mendukung guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran daripada terjebak urusan administrasi yang bisa diatasi dengan teknologi.
Chief Operating Officer Acer Indonesia Leny Ng mengatakan, transformasi digital masih menghadapi tantangan dari regulasi, teknologi, dan SDM. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi pemerintah, swasta, dan dunia pendidikan untuk memastikan keberlangsungan transformasi digital pendidikan di Indonesia.
”Kami mendukung keterampilan praktis pada praktisi pendidikan dan pengambilan keputusan untuk memahami tolok ukur dan tantangan pendidikan digital, hingga masalah keamanan di dunia maya atau cyber security. Kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan dengan mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran dan menyiapkan generasi menghadapi tantangan global dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mewujudkan pendidikan berkualitas di Indonesia,” kata Leny Ng.
Juara kehidupan
Sementara itu, Guru Besar Universitas Indonesia dan pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, mengatakan, perubahan dunia yang terjadi semakin membingungkan, terutama bagi para guru dan orangtua. Sebaliknya bagi siswa, perubahan itu menyenangkan karena dunia jadi dekat dengan mereka.
Para guru ketika didukung untuk menghadirkan pembelajaran yang merdeka merasa butuh membuat banyak konten dan alat peraga yang banyak. Adapun orangtua berpikir teknologi segala-galanya dan sejak dini memberikan gawai pada anak tanpa pendampingan. Akibatnya, banyak kasus anak yang mengalami terlambat bicara atau speech delay.
Dengan memakai AI, ada potensi bias dalam algoritma. Karena itu, guru perlu membantu siswa untuk memiliki perspektif lain.
”Banyak orangtua kebingungan karena tidak mengerti dunia cyber. Orangtua yang merasa aman anaknya di kamar, tapi tidak menyadari anak-anak mereka menjadi target sasaran dunia siber. Karena itu, keamanan di dunia siber penting untuk dipahami,” kata Rhenald.
Meskipun di kamar, ujar Rhenald, anak-anak sedang menjelajahi dunia yang penuh tantangan. Ada fetish (keterangsangan), perdagangan orang, dan kejahatan cyber lainnya. Ada kemungkinan terjadi perkenalan atau pertemuan dengan identitas yang dimanipulasi. Karena itu, anak-anak harus dilindungi dengan memberikan pemahaman pada risiko kehidupan, termasuk di dunia maya.
Perkembangan teknologi digital, misalnya, sudah menjerat para guru yang berdasarkan data menjadi korban pinjaman online illegal terbanyak, Anak-anak menghadapi kehidupan yang berpindah ke dunia buatan. Yang penting anak-anak memahami apa yang terjadi jika dilakukan bahwa ketika membuka aplikasi, diminta menyerahkan data pribadi, nomor telepon, dan galeri, sebagai data pribadi yang berharga. Hal ini harus diajarkan kepada anak-anak.
”Pendidikan saat ini tidak lagi fokus untuk membuat anak-anak menjadi juara kelas, tetapi menjadi juara kehidupan. Risiko online dari sejak dini ditanamkan sehingga mereka mengerti risiko dalam kehidupan,” kata Rhenald.
Menurutnya, pendidikan harus tetap relevan dengan membantu para siswa aktif berpikir. Salah satunya dengan terus mendorong anak berimanjinasi dan memiliki rasa ingin tahu.
Guru Besar Universitas Terbuka, Tian Belawati, mengatakan, kini semakin bermunculan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Mengintegrasikan AI dalam pembelajaran tetap bisa dilakukan, tetapi tetap dengan dipandu guru. Banyak potensi positif AI yang dapat dimanfaatkan guru untuk pengembangan profesional hingga menghadirkan pembelajaran kreatif,
Namun, dalam pemanfaatan AI, ada isu etika yang juga harus diperhatikan. Para guru harus tetap mengutamakan privasi data para siswa dan membuat panduan etika terkait penggunaan AI. ”Dengan memakai AI, ada potensi bias dalam algoritma. Karena itu, guru perlu membantu siswa untuk memiliki perspektif lain. Selain itu, tetap perlu menjaga keseimbangan pembelajaran berbasis AI dengan metode pengajaran tradisional,” kata Tian.