UU Progresif, tapi Penanganan Kasus Belum Berubah Signifikan
Pemahaman aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih dikeluhkan masyarakat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2023 kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus mencuat ke publik, bahkan dalam setahun terakhir kasus kekerasan seksual semakin banyak dilaporkan masyarakat. Namun, di lapangan situasi penanganan kasus kekerasan seksual masih belum banyak mengalami perubahan siginifikan menyusul rendahnya pemahaman aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan aturan perundang-undangan.
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir di tingkat nasional, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terus menerbitkan sejumlah aturan perundang-undang yang progresif, antara lain Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Kejaksaan, Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI (Polri), dan sejumlah pedoman.
Rendahnya implementasi tergambar dari penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masuk di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Pada tahun 2023, jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak yang diadukan masyarakat kepada LBH APIK Jakarta sebanyak 1.141 kasus. Dari jumlah tersebut, terdapat 497 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, dan hanya 79 kasus yang ditangani secara litigasi.
Pengaduan kasus kekerasan seksual meningkat signifikan—semenjak UU TPKS disahkan dan terbitnya Peraturan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan—terjadi perubahan pengaduan yang signifikan.
”Sebelumnya dalam lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual berada di urutan kelima. Tapi, tahun ini kasus kekerasan seksual paling banyak pengaduannya. Itu juga termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik,” ujar Tuani Marpaung dari Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta pada peluncuran ”Laporan Tahunan LBH APIK Jakarta 2023: Implementasi Penanganan Kasus Perempuan Belum Komprehensif di Tengah Aturan Hukum yang Progresif”, Jumat (8/12/2023), di Jakarta.
Meski demikian, penanganan kasus masih belum komprehensif. Implementasi kebijakan tidak didukung oleh aparat penegak hukum (APH) yang memiliki perspektif terhadap korban. ”Padahal, secara substansi sudah ada aturan dan UU yang seharusnya bisa menjadi pegangan aparat penegak hukum untuk mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban,” kata Tuani.
Sebelumnya, dalam lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual berada di urutan kelima. Tapi, tahun ini kasus kekerasan seksual paling banyak pengaduannya.
Presentasi Laporan Akhir Tahun LBH APIK Jakarta tersebut disampaikan Tuani bersama Dian Novita dari Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta. Tuani menyampaikan tentang situasi penanganan kasus, sedangkan Dian Novita menyampaikan situasi advokasi kebijakan di DKI Jakarta dan nasional.
Direktur LBH Apik Uli Pangaribuan menyatakan, Laporan Tahun LBH APIK sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban kepada publik, sekaligus menyampaikan situasi advokasi kasus dan kebijakan terkait perempuan korban kekerasan, termasuk rekomendasi terkait pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban pada lembaga terkait.
”Kegiatan ini juga merupakan bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan tahun 2023,” kata Uli.
Hadir memberikan tanggapan atas laporan tersebut Ajun Komisaris Besar Ema Rahmawati (Kepala Unit PPA Bareskrim Polri), Theresia Sri Endras Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan), Livia Istania DF Iskandar (Wakil Ketua Lembaga Pelayanan Saksi dan Korban), dan Asfinawati (advokat dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera).
Menurut Tuani, pengaduan kasus yang masuk di LBH APIK Jakarta terdiri dari kekerasan terhadap perempuan dan non-kekerasan terhadap perempuan. Mayoritas pengaduan adalah kekerasan terhadap perempuan sebagak 901 pengaduan (79 persen), yang terdiri dari kekerasan seksual, kekerasan berbasis jender daring, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan dalam pacaran.
Dian Novita mengungkapkan sejumlah kendala dalam pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan, antara lain APH cenderung hanya melihat peristiwa pidana terakhir, sedangkan riwayat kekerasan yang dialami korban telah berulang.
”Pada saat proses pelaporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, korban diminta untuk menghadirkan dua alat bukti, jika tidak dipenuhi, maka laporan korban tidak diterima,” kata Dian.
Selain itu, proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan juga cenderung didorong melalui mediasi atau keadilan restoratif, dan kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik yang menggunakan UU TPKS masih ditangani unit kriminal khusus di kepolisian.
Ema Rahmawati mengakui polisi masih banyak kekurangan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pihaknya menerima berbagai kritik terhadap polisi. ”Kami memang mengakui bahwa belum memahaminya kasus KDRT. Banyak faktor kenapa kasus KDRT belum banyak dipahami polisi,” papar Ema.
Terkait penanganan kasus kekerasan seksual, Ema juga mengakui belum semua polisi memahami soal tersebut. Ada banyak faktor yang memengaruhi, misalnya polisi yang sudah mendapat pelatihan tiba-tiba dipindah tugasnya, sedangkan polisi yang menggantikannya belum paham.