Perguruan Tinggi Diajak Peduli Akan Kesehatan Mental Mahasiswanya
Deteksi dini hingga penyediaan layanan kesehatan mental mulai berkembang di perguruan tinggi di dunia.
Semakin banyaknya mahasiswa yang menghadapi masalah kesehatan mental perlu menjadi perhatian serius. Di Indonesia, kasus bunuh diri mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan swasta terus terjadi.
Dari berbagai laporan yang ditulis di laman timeshighereducation.com yang diakses Jumat (1/12/2023), banyak perguruan tinggi di sejumlah negara yang mulai menaruh perhatian serius pada fenomena isu kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Pada September lalu diungkapkan berdasarkan analisis terbaru, mahasiswa perempuan di universitas-universitas di Inggris dua kali lebih mungkin terkena dampak kesehatan mental yang buruk dibandingkan mahasiswa laki-laki dalam beberapa tahun terakhir.
Laporan yang dibuat Pusat Transformasi Akses dan Hasil Mahasiswa di Pendidikan Tinggi King’s College London menemukan antara tahun akademik 2016-2017 dan 2022-2023, jumlah mahasiswa sarjana di universitas-universitas di Inggris yang mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan kesehatan mental meningkat hampir tiga kali lipat dari 6 persen menjadi 16 persen.
Baca juga: Kesehatan Mental Generasi Muda Mengkhawatirkan
Profesor kebijakan publik di King’s Policy Institute, Michael Sanders, yang juga penulis studi tersebut, mengatakan, pengalaman penyakit mental di kalangan mahasiswa sangat tidak setara dan terjadi hampir sama dengan yang terjadi di masyarakat pada umumnya. Mereka yang berasal dari latar belakang yang paling tidak beruntung atau yang sering menghadapi diskriminasi kemungkinan besar secara umum melaporkan kesulitan dengan kesehatan mental mereka.
Dalam hal identitas jender, orang transjender (30 persen) dua kali lebih mungkin mengalami kesulitan kesehatan mental selama masa studi mereka dibandingkan mereka yang mengidentifikasi diri mereka berdasarkan jender saat lahir (12 persen). Pelajar kulit putih dan ras campuran (12 persen) memiliki kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan rekan-rekan mereka dari etnis lain. Mahasiswa tingkat sarjana yang bersekolah di sekolah negeri (15 persen) rata-rata memiliki kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan rekan-rekan mereka yang bersekolah di sekolah swasta (11 persen).
Deteksi dini
Di Indonesia, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi (PKJN RSJMM) Nova Riyanti Yusuf ingin mendorong kolaborasi dengan perguruan tinggi meningkatkan deteksi dini masalah kesehatan mental para mahasiswa. Di akhir November lalu, PKJN RSJMM menandatangani kerja sama dengan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University. PKJN RSJMM dan Fema IPB University juga menggelar diskusi tentang upaya pencegahan bunuh diri bertema ”Seberapa Tinggi Kadar Bapermu”.
Deteksi dini tersebut dilakukan dengan melakukan pemindaian QR Code yang terhubung dengan instrumen pencegahan bunuh diri yang disediakan oleh PKJN RSJMM. Di sejumlah fasilitas publik di Fema IPB dilakukan penempelan QR Code yang berisi instrumen pencegahan dan upaya penanganan masalah kesehatan mental.
Dekan I FEMA IPB University Megawati Simanjuntak menyambut baik kerja sama untuk kegiatan-kegiatan promotif demi memperkuat kesehatan mental di kalangan mahasiswa. ”Kami berharap, psikolog dan psikiater dari PKJN RSJMM dapat hadir dan memberikan layanan konseling pada mahasiswa. Hal ini penting karena berdasarkan data, satu dari 20 remaja mengalami masalah kesehatan mental,” ujar Megawati.
Nova mengatakan, fenomena bunuh diri di kalangan remaja awal usia 20 tahun saat ini marak. Tidak diketahui penyebabnya, tahu-tahu anak muda itu ditemukan bunuh diri. Orang sekitar atau keluarga baru mengetahui penyebab orang terdekatnya bunuh diri setelah membuka catatan harian, curhatnya di media sosial dan lainnya.
Upaya awal yang telah dilakukan di Indonesia yaitu dengan pengembangan instrumen untuk mengukur risiko bunuh diri pada orang dewasa. ”Di era digital seperti sekarang, instrumen ini dalam bentuk barcode berisi kuesioner yang dapat mengindikasikan seseorang berisiko mengalami gangguan kesehatan mental,” kata Nova.
Pada fase risk taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik.
Berdasarkan data WHO Global Estimates 2017, kematian global akibat bunuh diri yang tertinggi berada pada usia 20 tahun, terutama pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2016, WHO mencatat bahwa kematian pada remaja laki-laki usia 15–19 tahun disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan interpersonal, dan menyakiti diri sendiri.
Nova menyatakan, ide bunuh diri, ancaman, dan percobaan bunuh diri merupakan hal serius yang harus segera ditangani. Untuk itu, dibutuhkan langkah preventif untuk menurunkan angka kejadiannya.
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga, yaitu early adolescence (11–13 tahun), middle adolescence (14–18 tahun), dan late adolescence (19–24 tahun). Fase middle adolescence menjadi fase yang sangat rentan karena remaja berpikir secara abstrak tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku mengambil risiko (risk-taking).
”Pada fase risk taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik, seperti penggunaan tembakau dan alkohol, bereksperimen dengan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Kemudian aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, dan kenakalan remaja,” ujar Nova.
Perilaku risk taking akan berdampak terhadap morbiditas, fungsi, dan kualitas hidupnya pada saat dewasa. Tentunya jika remaja tersebut tidak berakhir pada mortalitas (kematian prematur) akibat perilaku risk taking tersebut. Beban morbiditas dan mortalitas akibat non-communicable disease telah meningkat di seluruh dunia dan sangat cepat perkembangannya di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah.
Baca juga: Jaga Kesehatan Mental untuk Tetap Produktif
Sementara beban akibat penyakit menular mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan urgensi untuk dilakukan langkah preventif deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri di remaja.
Wajib membantu
Presiden Montclair State University, Amerika Serikat, Jonathan Koppell mengemukakan, menurut Journal of Affective Disorders, lebih dari 60 persen mahasiswa memenuhi kriteria untuk setidaknya satu masalah kesehatan mental selama tahun ajaran 2020-2021. Sejak semester ini dimulai Agustus 2023, pihaknya telah melihat rekor jumlah panggilan ke bagian keamanan universitas dan korps ambulans yang dikelola mahasiswa terkait dengan masalah kesehatan mental.
Para ahli menghubungkan hal ini dengan berbagai faktor. Pandemi jelas berdampak besar pada mahasiswa; dan keterasingan yang dirasakan banyak orang, terutama mereka yang berada di masa remaja, memengaruhi perkembangan emosi mereka.
Selain itu, mahasiswa yang menjalani aktivitas sehari-hari juga berjuang untuk menyeimbangkan antara tugas kuliah, pekerjaan, dan keluarga yang intens, di tengah lingkungan sosial yang ditandai dengan meningkatnya kekerasan massal, perselisihan sosial, dan ketidakpastian iklim sehingga mengalami tingkat stres yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Berkurangnya stigma mengenai meminta bantuan telah mendorong mahasiswa untuk merasa lebih nyaman melaporkan masalahnya. Secara moral, kita berkewajiban untuk membantu mahasiswa melalui apa pun yang mereka alami, seperti depresi, kecemasan, dan berbagai kondisi lainnya, untuk mendorong kesuksesan mereka,” kata Jonathan.
Menurut Jonathan, untungnya sumber daya kini semakin tersedia untuk melengkapi investasi universitas yang signifikan dalam layanan kesehatan mental. Universitas Montclair mendapat hibah sebesar 850.000 dollar AS untuk membantu memperluas sumber daya kesehatan mental bagi siswa, seperti akses langsung ke konseling.