Kaum muda berperan mengoptimalkan bonus demografi. Kondisi kesehatan mental pemuda harus menjadi perhatian bersama.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk memberi perhatian khusus kepada generasi muda di seluruh penjuru Tanah Air. Sebab, pemuda menjadi tumpuan dan kekuatan sumber daya manusia yang dibutuhkan Indonesia untuk mengoptimalkan bonus demografi dan mencapai Indonesia Emas 2045.
Namun, hal itu tak mudah diwujudkan. Kendati meraih sejumlah prestasi, para pemuda saat ini menghadapi berbagai tantangan dalam keluarga dan masyarakat. Bahkan, sejumlah pemuda berusia sangat belia saat ini berada dalam kondisi kesehatan mental yang mengkhawatirkan, terjerumus dan menjadi korban kejahatan serius, narkotika, serta kejahatan dalam jaringan (daring).
Pemuda, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009, merupakan warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun. Jumlah pemuda Indonesia, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, diperkirakan sebanyak 65,82 juta jiwa atau 24 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Pada 2021, total populasi pemuda Indonesia mencapai 64,9 juta jiwa dengan komposisi laki-laki pemuda sebanyak 32,8 juta jiwa dan perempuan pemuda sebanyak 31,1 juta jiwa.
Dengan jumlah yang hampir mencapai seperempat dari total populasi penduduk Indonesia, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengingatkan pentingnya pembangunan mental emosional generasi muda.
”Pemerintah, masyarakat, dan lingkungan sekolah sampai perguruan tinggi harus meningkatkan perhatian dan programnya guna mencegah dan mengatasi gangguan mental emosional maupun gangguan jiwa berat,” tutur Hasto saat membawakan orasi ”Meningkatkan Kualitas Penduduk Menuju Indonesia Emas 2045” saat Wisuda Universitas Respati Indonesia (Urindo), Kamis (26/10/2023).
Menurut Hasto, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan angka prevalensi gangguan mental emosional mencapai 9,8 persen, atau meningkat jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013 sebesar 6,0 persen. ”Diperkirakan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi,” tuturnya.
Seiring dengan meningkatnya gangguan tersebut, data ini juga menunjukkan meningkatnya penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) mencapai 5,1 persen, dan orang dengan gangguan jiwa berat sebesar 7,1 per mil. Depresi yang tidak teratasi mengakibatkan meningkatnya kejadian bunuh diri.
Berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada 2016, diperoleh data bunuh diri per tahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang bunuh diri. Sebanyak 47,7 persen korban bunuh diri berusia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Kelompok usia 15-24 tahun memiliki persentase depresi 6,2 persen. Depresi pada remaja bisa diakibatkan beberapa hal, seperti tekanan dalam bidang akademik, perundungan, faktor keluarga, dan persoalan ekonomi.
Psikolog keluarga, Alissa Wahid, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, mengungkapkan, kesehatan mental merupakan kapasitas mental individu agar ia mampu hidup secara optimal dan mengintegrasikan aspek-aspek diri. Kesehatan mental juga dipandang sebagai bentuk mengaktualisasikan potensi dan membangun kehidupan sosial.
Diperkirakan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Tidak ada orang yang hidup seperti pulau atau terpisah dengan daratan yang lain. Oleh karena itu, bagaimana orang mengelola kehidupan sosialnya menjadi aspek yang sangat penting bagi kesehatan mental.
Aset berharga
Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Menpora) Dito Ariotedjo pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) ke-95, di Halaman Monumen Nasional (Monas), Sabtu (28/10/2023) malam, menegaskan, pemuda-pemudi merupakan aset berharga dalam membangun masa depan bangsa.
Oleh karena itu, tindakan berani dan langkah nyata untuk mendorong peningkatan partisipasi juga representasi generasi muda dalam program prioritas nasional perlu dihidupkan, termasuk dalam pembangunan daerah.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum, beberapa waktu lalu, menegaskan, berbagai upaya dilakukan untuk mendorong partisipasi pemuda dalam pembangunan. Contohnya, komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap pentingnya keterlibatan pemuda sebagai mitra setara.
Selain itu, pemerintah membuka akses, kesempatan, dan kapasitas pemuda dengan sejumlah program, yakni meningkatkan akses pemuda ke pelatihan serta pendampingan dari pemerintah dalam kegiatan kepemudaan; mengubah stigma dari pemerintah terhadap ”pemaknaan” partisipasi pemuda.
Selain itu, perlu memberi ruang kepada pemuda untuk berinovasi dan mengembangkan diri, termasuk bantuan fasilitasi peningkatan kapasitas diri dan kepemimpinan kaum muda. ”Pemerintah mendorong partisipasi aman, setara, dan bermakna dalam pembangunan dengan memastikan tiap pemuda dari berbagai ras, agama, budaya, kelompok disabilitas, dan jender memiliki hak dan kesempatan,” ujarnya.
Upaya pembangunan pemuda terus dipercepat pemerintah. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 43/2022 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan, dan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pelayanan Kepemudaan. Semua kementerian atau lembaga diminta memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) Pelayanan Kepemudaan.
RAN Pelayanan Kepemudaan itu mencakup pembangunan pemuda, yaitu domain pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, jender, serta diskriminasi.
Implementasi berbagai kebijakan pemerintah menjadi penting, termasuk kehadiran negara untuk melindungi pemuda dari berbagai kekerasan. Sejumlah fakta mengungkap banyak perempuan pemuda menjadi korban kekerasan fisik, psikis, ataupun seksual hingga kehilangan nyawanya atau menjadi disabilitas. Tak hanya itu, sejumlah pemuda mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.