Pedang Pangeran Diponegoro Ditemukan di Belanda
Pedang pribadi milik Pangeran Diponegoro selama ini dikuasai keluarga Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang menangkap Diponegoro.
ARNHEM, JUMAT — Pedang milik Pangeran Diponegoro yang hilang dari publik ditemukan kembali dan kini sedang dipamerkan di Museum KNIL di Bronbeek, dekat kota Arnhem, Belanda. Direktur Museum KNIL Bronbeek Pauljac Verhoeven yang dihubungi pada Kamis (30/11/2023) malam mengatakan, pedang tersebut sempat hilang dari perhatian publik.
”Setelah saya menelusuri arsip dan mencocokkan berbagai data, berhasil dibuktikan bahwa pedang warisan keluarga Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang menangkap Pangeran Diponegoro adalah pedang pribadi milik Diponegoro. Pedang itu adalah war trophy atau simbol kemenangan dalam perang bagi De Kock,” kata Verhoeven.
Pedang tersebut disimpan di Paleis Het Lo di Apeldoorn, salah satu istana milik Kerajaan Belanda. Istana tersebut menjadi hunian keluarga Kerajaan Belanda hingga masa Ratu Wilhelmina di tahun 1962. Kemudian Istana Het Lo menjadi museum untuk umum sejak tahun 1984.
Baca juga: Rumah Pangeran Diponegoro Kini Menjadi Ruko
Verhoeven menjelaskan, sarung pedang tersebut sudah diganti dan gagang pegangan pedang juga mengikuti gaya Angkatan Laut Belanda (Koninlijk Marine/KM). Pedang tersebut dimiliki keluarga Jenderal de Kock selama empat generasi.
Keturunan De Kock adalah perwira–perwira KM dan pedang tersebut digunakan sebagai pedang upacara kebanggaan keluarga mereka.
Baca juga: Kontroversi Pemulangan Keris Pangeran Diponegoro
”Di tahun 1956, pedang ditawarkan untuk dijual ke Museum KNIL Bronbeek. Ketika itu Museum KNIL Bronbeek tidak memiliki dana untuk akuisisi pedang bersejarah tersebut,” kata Verhoeven.
Sejak tahun 1980-an, pedang tersebut menjadi aset Kementerian Kebudayaan Belanda dan disimpan di Paleis Het Lo, menjadi bagian dari berbagai artefak milik keluarga Nassau Oranye dan Kerajaan Belanda.
Berhasil dibuktikan bahwa pedang warisan keluarga Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang menangkap Pangeran Diponegoro adalah pedang pribadi milik Diponegoro.
Menurut Verhoeven, pedang milik Pangeran Diponegoro tersebut dipamerkan di Museum KNIL Bronbeek sejak Desember 2022. Saat ini, pedang itu dipamerkan di lantai dasar bersebelahan dengan lukisan potret Jenderal Hendrik de Kock di Museum KNIL Bronbeek.
Dihubungi terpisah, Kepala Bagian Penerangan dan Sosial Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag FX Widiarso mengatakan, KBRI sudah mendapat informasi mengenai temuan tersebut. ”Kami sudah melaporkan ke Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Kami menunggu kabar lebih lanjut. Upaya komunikasi dengan Paleis Het Lo juga sudah dilakukan oleh KBRI di Den Haag," kata Widiarso.
Menurut dia, pedang Pangeran Diponegoro belum masuk dalam agenda repatriasi atau pemulangan benda-benda pusaka.
Sementara Verhoeven menjelaskan, status pedang tersebut merupakan kewenangan otoritas Paleis Het Lo dan Pemerintah Indonesia.
Baca juga: Tiga Abad di Belanda, Empat Arca Dikembalikan ke Indonesia
Dalam kerja sama Indonesia-Belanda, Museum KNIL Bronbeek sudah mengembalikan sadel, tombak, dan payung milik Pangeran Diponegoro yang kini disimpan dan dipamerkan di Museum Nasional di Jakarta.
Museum KNIL Bronbeek memamerkan berbagai benda sejarah militer kolonial di Hindia Belanda dan Indonesia hingga masa konfrontasi Irian Barat. Terdapat Restoran Koempoelan dengan menu Indonesia, Monumen Romusha, asrama pensiunan KNIL dan militer Belanda yang berdinas di Indonesia hingga masa perebutan Irian Barat tahun 1960-an.
Lokasi museum tersebut tidak jauh dari situs sejarah Perang Dunia II, pertempuran Operasi Market Garden merebut jembatan-jembatan strategis di Arnhem dan Nijmegen oleh pasukan Inggris dan Kanada.
Tanam paksa
Nama Jenderal Baron Merkus de Kock diabadikan di Sumatera Barat sebagai nama Benteng Fort de Kock yang menjadi basis operasi militer Belanda melawan kaum padri dalam Perang Padri melawan Imam Bonjol.
Penaklukan Jawa usai Perang Diponegoro (1825–1830) berdampak besar bagi Belanda dan Indonesia. Krisis ekonomi terjadi akibat besarnya biaya perang ditambah berpisahnya Belgia dari Belanda di tahun 1830, diakhiri dengan Perjanjian London 1839 yang mengakui kemerdekaan Belgia.
Baca juga: Perjalanan Dua Hari demi Menjelajahi Lima Tahun Perang Jawa
Untuk menutup defisit, diperkenalkan sistem tanam paksa yang akhirnya membuat Belanda menjadi pusat keuangan dunia di paruh kedua 1850–1900 melalui perdagangan kopi, teh, dan gula. Elite lokal Nusantara juga menjadi kaya dalam sistem tanam paksa pasca-Perang Diponegoro.
Namun, rakyat di Jawa menderita dan hidup miskin serta mati melarat. Diponegoro dan De Kock menjadi penanda zaman dan bangkitnya Belanda menjadi pusat ekonomi dunia dari kekayaan Nusantara.