Belanda mengembalikan keris milik Pangeran Diponegoro sebagai bagian dari diplomasi budaya untuk mempererat hubungan kedua negara. Namun, keris itu diduga bukan keris Ki Nogo Siluman seperti yang disebutkan oleh peneliti
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Sepekan sebelum kunjungan kenegaraan Raja Willem Alexander dan Putri Maxima dari Kerajaan Belanda ke Indonesia, Senin (9 Maret 2020), sebilah keris pusaka milik Pangeran Diponegoro dipulangkan dari Belanda ke Indonesia. Keris tersebut turut dipamerkan di Istana Bogor dalam acara pertemuan Raja Willem Alexander dan Presiden Joko Widodo, Selasa (10 Maret 2020).
Keris yang disebut sebagai Kyai Nogo Siluman tersebut dikatakan sebagai salah satu pusaka Pangeran Diponegoro yang dibawa ke Belanda menyusul penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelan tahun 1830. Pengamat keris Jimmy S Harianto yang dihubungi mengatakan, ada delapan tombak dan enam bilah keris pusaka Pangeran Diponegoro yang dibawa ke Belanda.
“Kalau melihat candra sengkala (waktu pembuatan) keris yang dikembalikan tersebut, dibuat pada jaman Sultan Agung – sekitar tahun 1600-an. Sekarang ramai diperdebatkan di komunitas pemerhati keris apakah betul keris tersebut Kyai Nogo Siluman karena dapurnya keris tidak terdapat ornamen Nogo Siluman,” kata Jimmy.
Dihubungi terpisah, Ketua Paguyuban Keluarga Besar Pangeran Diponegoro, Ki Roni Sudewo menjelaskan, pusaka utama Pangeran Diponegoro adalah keris Kyai Bondo Yudho. Kyai Bondo Yudho dibuat dari cundrik isteri kesayangan RA Maduretno dan dua pusaka lain termasuk sebuah tombak pusaka. Diduga keris tersebut turut dimakamkan bersama dengan Sang Pangeran.
Mengenai pemulangan keris pusaka dari Belanda, menurut Ki Roni adalah suatu langkah positif dari pihak Belanda. Adapun mengenai Keris Ki Nogo Siluman, Ki Roni mengutip penjelasan sejarawan Universitas Oxford Peter Carey yang mencatat kesaksian Sentot Alibasah, salah satu panglima pasukan yang dipimpin Pangeran Diponegoro, yang menyatakan Pangeran Diponegoro menyerahkan Keris Kyai Nogo Siluman kepada Kolonel Cleerens seorang perwira Belanda.
Sebutan Alibasah pada sosok Sentot salah satu Panglima Perang adalah bukti kemampuan Diponegoro mengadopsi gagasan perang modern. Ali Basah adalah adopsi kepangkatan militer Turki Usmani yakni Ali Pasha. Semasa itu, Pangeran Diponegoro menggabungkan gagasan militer klasik Jawa dan Turki Usmani. Salah satu pasukan khusus Diponegoro dinamakan Pasukan Turkiyo.
“Kabarnya itu terjadi saat perjalanan Pangeran Diponegoro tahun 1830 menjelang akhir perang dari Kebumen menuju Menoreh. Saat itu, Cleerens memberikan 100 kuda bagi pengikut Pangeran Diponegoro dan memberikan kuda khusus bagi Pangeran Diponegoro. Bisa jadi pemberian keris itu sebagai tanda terima kasih dan saling percaya. Akan tetapi dalam Babad Diponegoro tidak ada catatan khusus tentang Kyai Nogo Siluman,” kata Ki Roni.
Kesaksian Sentot Alibasah tersebut, kemudian diperkuat oleh pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman – keluarga Bupati Semarang – yang lama bermukim di Eropa. Menurut Ki Roni Sudewo, Raden Saleh turut membubuhkan keterangan tertulis di atas kertas yang ditulis oleh Sentot Alibasah soal keris Ki Nogo Siluman diberikan kepada Kolonel Cleerens oleh Pangeran Diponegoro.
Sejarawan Bonnie Triyana yang terlibat memfasilitasi upaya pengembalian pusaka Pangeran Diponegoro dari Belanda, memberikan penulis salinan dokumen yang ditandatangani Doktor Jani Kuhnt – Saptodewo tertulis di Wina, Austria tanggal 3 Januari 2020 sebagai peneliti independen dan mantan Kepala Koleksi Asia Tenggara Museum Wina yang mengkaji koleksi Museum Peradaban Dunia di Leiden, Belanda bernomor RV 360-8084.
Dalam keterangan tertulis Jani Kuhnt – Saptodewo, upaya pencaran keris Pangeran Diponegoro dimulai sejak tahun 1984. Ada tiga keris yang diteliti periset Pieter Pott (nomor RV 360 – 5821), Susan Legene (nomor RV 360 – 5819), dan Johana Leijfeldt (nomor RV 360 – 8084). Peneliti Tom Quist dan Johanna Leijdefeldt menyampaikan laporan yang menyatakan keris yang dapat dianggap sebagai keris milik Pangeran Diponegoro adalah keris dengan nomor koleksi RV 360 – 8084.
Namun Jani Kuhnt – Saptodewo mengingatkan adanya mata rantai yang hilang untuk mengkonfirmasi bagaimana Kolonel Cleerens menerima keris tersebut dari Pangeran Diponegoro, lalu membawanya kembali ke Belanda.
Meski demikian, kesimpulan diambil peneliti Museum Peradaban Dunia di Leiden, Tom Quist yang menganalisa arsip di Arsip Nasional (Rijk Archief), Rijk Museum van Oudheden, arsip Kementerian Wilayah Jajahan, koran-koran lama, dan berbagai sumber sejarah lainnya. Tom Quist dan Johanna Lijfeldt mempelajari berbagai keris yang disimpan Museum Volkenkunde.
Menurut Jani Kuhnt – Saptodewo, bukti utama yang dijadikan acuan soal keris tersebut adalah surat Sentot (Alibasah) tanggal 27 Mei 1830 tentang keris yang dimiliki Kolonel Cleerens adalah Keris Ki Nogo Siluman dari Pangeran Diponegoro.
Selain ada catatan tambahan dari Pelukis Raden Saleh tanggal 17 Januari 1831 yang membenarkan keterangan Sentot. Raden Saleh menjelaskan adanya Naga yang menjalar dari dapur ke ujung keris yang semula tertutup emas murni.
Surat tersebut ditutup dengan keterangan, dari penelitian Tom Quist dan Johanna Leijfeldt diduga kuat koleksi RV 360 – 8084 sebagai keris milik Pangeran Diponegoro.
Jimmy S Harianto menambahkan, keris tersebut memang diduga kuat sebagai keris milik Pangeran Diponegoro. Namun, apakah keris tersebut adalah Kyai Nogo Siluman, itu masih menjadi pertanyaan karena Ki Nogo Siluman memiliki 13 luk (lengkung) dan keris yang dipulangkan dari Belanda tersebut hanya memiliki 11 Luk.
Jimmy S Harianto meyakini keris tersebut memang milik Pangeran Diponegoro karena pernah dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat tahun 1800-an akhir, tetapi bukan keris Ki Nogo Siluman. Dia menduga, keris yang dipamerkan di Bogor tersebut adalah Kyai Wreso Gemilar yang merupakan pusaka milik Sultan Hamengkubuwono III, ayah Pangeran Diponegoro, yang pernah diberikan kepada Pangeran Diponegoro.
“Disebutkan Keris Kiai Wreso Gemilar diserahkan HB III kepada Kolonel Cleerens untuk diberikan kepada Raja Belanda, setelah Pangeran Diponegoro tertangkap,” kata Jimmy S Harianto yang pernah menerbitkan buku dan sering mengadakan pameran-pameran tentang Keris.
Terlepas dari kontroversi yang ada, semangat mengembalikan benda-benda pusaka dari Belanda ke Indonesia adalah niat baik untuk mendekatkan kembali tali batin kedua negara. Wij nu zijn wapenbroeders... Indonesia – Belanda kini adalah saudara seperjuangan.