Perjalanan Dua Hari Demi Menjelajahi Lima Tahun Perang Jawa
Perang Diponegoro sering dijadikan gurauan. Perang itu diplesetkan sebagai perang tersingkat selama lima menit. Mengapa? Karena mengacu periode perang yakni antara tahun 1825 – 1830 yang dipelesetkan menjadi pukul 18.25 hingga pukul 18.30.
Namun, dalam napak tilas selama dua hari, Sabtu – Minggu (10/11/2018 hingga 11/11/2018), pandangan tersebut berubah 180 derajat. Perang Diponegoro bukan perang yang sederhana, bukan perang yang "singkat".
Perang di pedalaman Jawa bagian tengah di wilayah yang kini menjadi bagian Daerah Istimewa Jogjakarta dan Kota Magelang, Jawa Tengah tersebut adalah, perang yang serius.
“Perang Jawa nyaris melumpuhkan pemerintah kolonial dan sendi kehidupan di Jawa yang ketika itu penduduknya 4,2 juta jiwa,”’ kata Ki Roni Sudewo, keturunan ke-6 Pangeran Diponegoro yang ikut menjadi nara sumber Tapak Tilas Pangeran Diponegoro.
Tapak Tilas Pangeran Diponegoro itu diselenggarakan Komunitas Jelajah Budaya (KJB) bekerjasama dengan Penerbit Buku Kompas (PBK).
Rombongan pertama kali diajak ke kediaman Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo, yang diserang Belanda pada hari Rabu, 20 Juli 1825. Serangan itu yang mengakibatkan perang pecah selama lima tahun.
Profesor Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford yang meneliti Diponegoro sejak tahun 1971 menerangkan berbagai aspek kehidupan Diponegoro di Tegal Rejo, di sisi barat Kota Jogjakarta.
“Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya meloloskan diri dari pintu belakang yang dijebol. Itu ketika pihak Belanda berusaha mengepung mereka dari depan komplek kediaman Diponegoro,” kata Peter Carey.
Bagian pintu belakang yang dijebol telah diabadikan dan diberi batu penanda. Selanjutnya, Peter Carey dan Ki Roni Sudewo mengajak rombongan peserta tapak tilas ke bekas masjid yang dibangun Pangeran Diponegoro.
Sayangnya, bekas umpak dan reruntuhan masjid bersejarah tersebut telah habis diplester oleh pengelola komplek bersejarah yang kini sering digunakan untuk acara perhelatan perkawinan.
Di dalam komplek rumah Diponegoro, terdapat bangunan yang menampilkan berbagai artefak seperti mainan, keris, tombak dan sisa-sisa pohon Manggis asli peninggalan zaman Diponegoro.
“Sayangnya, pohon tersebut sudah mati. Waktu tahun 1970-an masih ada. Kebiasaan pengunjung datang mengambil potongan kulit pohon sebagai kenang-kenangan. Akhirnya pohon Manggis tersebut mati,” kata Ki Roni Sudewo,, yang juga menggubah lakon Wayang Diponegoro.
Kubu Belanda
Menjelang tengah hari, perjalanan dilanjutkan ke Benteng Vredeburg yang mulai dibangun tahun 1765 dan mulai sepenuhnya dikuasai Belanda tahun 1799 seiring bangkrutnya VOC dan muncul pemerintahan Republik Bataaf. Benteng tersebut kemudian silih berganti dikuasai Belanda, Inggris, dan Jepang.
“Pada zaman Raffles ini, Panglima Keraton KRT Sumadiningrat dibantai pasukan Eropa dan Mangkunegaran saat perang tahun 1812. Diponegoro muda memendam ketidaksukaan karena marwah keraton diinjak-injak," ujar Peter Carey.
"Selanjutnya, Diponegoro yang bermarkas di Selarong, menempati bekas tanah lenggah yang diberikan Keraton kepada Sumadiningrat,” kata Peter Carey, yang berdarah Irlandia, namun kelahiran Myanmar itu.
Serangan Pasukan Inggris yang dimotori pasukan India asal Benggali tersebut dicatat dalam Babad sebagai Geger Sepahi.
Selanjutnya, pada tahun 1815, para pimpinan serdadu India tersebut sempat berencana bekerjasama dengan para Raja-Raja Mataram di Jogjakarta dan Surakarta untuk melawan Inggris.
Sayangnya, rencana tersebut bocor. Para perencana pemberontakan tersebut dibawah Inggris ke Benteng Ungaran lalu dihukum mati dengan cara diikat pada mulut meriam lalu ditembakan!
Menurut Peter Carey, ada seorang mantan serdadu India asal Bengali yang kemudian menjadi dokter militer Pangeran Diponegoro semasa gerilya.
Perjalanan diteruskan menjelang tengah hari ke Gua Selarong, Bantul, yang menjadi markas perlawanan Diponegoro.
Ikhwan seorang keturunan pengikut Diponegoro yang aktif mengelola situs itu menceritakan tempat berbukit terjal dengan ketinggian sekitar 50 meter tersebut, dikelilingi mata air dan terdapat banyak gua-gua dan tempat persembunyian.
Dapat dibayangkan, pada tahun 1825 – 1830 daerah sekitar Selarong kiranya masih berupa hutan belantara. Menuju Selarong saat itu pasti belum terdapat infrastruktur jalan yang memadai.
Diponegoro mendapat simpati luas ketika Perang Jawa pecah.
Ki Roni menunjukan tempat Pangeran Diponegoro sering tirakat dan shalat di Selarong. “Beliau tidak hanya pemimpin perang tetapi juga dalam keseharian memimpin masyarakat bertani, budidaya ikan, hingga shalat jamaah dengan rakyat biasa sehingga beliau mendapat simpati luas ketika Perang Jawa pecah,” kata Ki Roni Sudewo.
Pada zaman itu, tidak lazim seorang bangsawan yang masuk dalam garis pengganti Sultan, bercengkerama dan beribadah bersama rakyat jelata. Itulah sosok Diponegoro yang membumi.
Bahkan, ketika Diponegoro berada di Selarong, rakyat setempat membuka pasar rakyat yang ramai sehingga perekonomian berkembang di daerah yang terpencil itu.
Diponegoro menangis
Selepas siang, hujan deras. Namun, perjalanan tetap dilanjutkan menuju pedalaman Kulon Progo di wilayah Sengir yang berdekatan dengan perbatasan Jawa Tengah.
Minibus pun hanya dapat berjalan perlahan di jalan perbukitan yang sempit, licin, dan terjal. Apalagi, hujan gerimis terus mengguyur.
Menjelang pukul 16.30, kami tiba di makam Ngabehi Joyokusumo di puncak sebuah bukit. Menuju puncak itu, enam tahun lalu, dibuat tangga semen dengan tinggi mencapai 20 meter. Sebuah pos dibangun oleh TNI dengan tulisan TMMD berada di kaki bukit tempat makam itu berada.
“Pangeran Joyokusumo adalah paman yang mengasuh Diponegoro waktu kecil. Beliau seorang bangsawan Mataram dengan ibu seorang Peranakan Tionghoa dari pesisir utara Jawa," ujar Peter.
Kata Peter, "beliau dipenggal pasukan Minahasa yang menyergapnya lalu menyerahkan kepalanya kepada Jenderal de Kock di Magelang yang kemudian menyerahkan kepada pihak Keraton Jogja".
Warga setempat menguburkan jenazah Joyokusumo, tanpa kepala, yang ditinggalkan di sebuah jurang. Bukit dengan makam itu pun dijaga warga secara turun-temurun.
Pangeran Diponegoro pun menangisi pihak lawan dari Keraton yang terbunuh dalam pertempuran.
“Pangeran Diponegoro pun menangisi pihak lawan dari Keraton yang terbunuh dalam pertempuran karena mereka semua masih bersaudara dan satu darah. Itulah kejamnya perang. Kita harus belajar dari kejadian di masa lalu itu,” kata Ki Roni Sudewo, yang juga bercerita dengan lirih dan sambil menangis.
Selepas ziarah, peserta pun jeda untuk shalat magrib. Tiba-tiba hujan deras menerpa dan satu dari dua bus, mogok sekitar 100 meter dari lokasi makam. Bus tersebut, tepatnya, mogok di sebelah rumah kuncen makam Pangeran Joyokusumo.
Setelah menunggu sekitar 2,5 jam, mesin bus dapat hidup dan rombongan berangkat menuju Magelang. Acara kunjungan ke gua Sriti, salah satu tempat persembunyian Diponegoro dan pasukan terpaksa dibatalkan karena sudah terlalu malam.
Menjelang tengah malam, rombongan baru tiba di Hotel Sriti di Kota Magelang. Hotel ini tidak jauh dari Gedung Karesidenan Kedu tempat Diponegoro dijebak pada tanggal 28 Maret 1830 menjelang akhir Bulan Ramadhan. Saat itu, Pangeran Diponegoro diajak berunding dan bersilaturahim oleh Belanda.
Gedung Karesidenan Kedu, disambangi keesokan paginya. Ada sebuah kamar yang diabadikan sebagai kamar dimana Diponegoro ditawan. Terdapat pula beberapa perlengkapan pribadi seperti jubah dan kursi dari reruntuhan kediaman di Tegal Rejo.
Pada siang harinya, rombongan beranjak ke Matesih, sebuah pulau kecil di tengah Kali Progo yang kini rusak karena abrasi sungai akibat pengalihan aliran sungai oleh bangunan tanggul penahan air yang dibangun seorang mantan gubernur. “Pulau di Matesih ini semula digunakan Diponegoro dan 800 orang pengikutnya sebagai salah satu tempat persembunyian,” kata Peter Carey
Karena derasnya arus kali Progo, tidak seorang pun berani menyeberang. Tempat itu memang lokasi persembunyian ideal bagi pasukan gerilya pada tahun 1800-an.
Hanya disayangkan, batu besar tempat Pangeran Diponegoro shalat dan tinggal pun terancam tergerus aliran sungai akibat perubahan arus tersebut. Tak jauh dari sana terdapat penanda prasasti asal mula Kota Magelang di Mantiasih yang konon berasal dari jaman Syailendra atau 700 Masehi.
Selepas tengah hari, rombongan melanjutkan perjalanan ke Benteng Ungaran dimana Diponegoro melepaskan petang pertama sebagai tawanan Belanda.
Menjelang petang, kami tiba di Benteng Ungaran, sekitar 25 kilometer di selatan Semarang. Peter Carey memperlihatkan ruangan di belakang benteng dimana bagian atapnya sempat digunakan Pangeran Diponegoro untuk pertama kali shalat magrib sebagai seorang tawanan.
Menurut Peter Carey, kisah Diponegoro adalah kisah semangat perlawanan dan keteguhan hati seorang manusia Jawa maupun orang Indonesia. Kisah itu pun tetap relevan dengan kondisi hari ini di tengah zaman yang berubah cepat.