Perempuan dengan HIV Butuh Lebih dari Sekadar Obat
Perempuan dengan HIV membutuhkan dukungan dan pendampingan yang maksimal dan menyeluruh. Mereka mengalami masalah psikososial dan stigma.
Isak tangis Dyah Arvianti (37) terdengar dari sambungan telepon ketika ia menceritakan masa lalunya saat ia pertama kali terdiagnosis positif HIV sekitar Desember 2006. Pengetahuan yang masih kurang, serta besarnya stigma pada orang dengan HIV, membuat Dyah merasa bahwa status HIV-nya saat itu turut mengakhiri hidupnya.
Stigma yang paling besar justru muncul pada dirinya sendiri. Ia bahkan sempat berkeinginan untuk bunuh diri. ”Waktu itu saya berpikir kenapa harus saya yang terkena HIV, padahal saya tidak melakukan perilaku berisiko, saya hanya melakukan hubungan seks dengan suami. HIV, kan, penyakit yang biasanya terjadi pada pekerja seks. Saya sempat malah menyalahkan masa lalu juga, saya berpikir kenapa harus menikah dengan almarhum suami saya,” katanya.
Kekhawatiran itu semakin memperburuk kondisi Dyah. Banyak pertanyaan muncul pada dirinya. Apakah lingkungannya mau menerimanya. Apakah nanti masih ada laki-laki yang mau menerima dia kembali. Belum lagi, stigma yang nyata dirasakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Masih banyak warga masyarakat yang menganggap perempuan dengan HIV berkaitan erat dengan perilaku amoral.
Baca juga : Cegah Penularan Vertikal HIV dari Ibu ke Anak
Dyah pertama kali mengetahui status HIV-nya saat ia melakukan pemeriksaan HIV sehari setelah suami pertamanya, yang sekarang sudah meninggal, memberitahukan bahwa dirinya menderita AIDS. Ketika itu, suami pertamanya tengah dirawat di rumah sakit karena tuberkulosis parah.
Di hari yang sama saat hasil pemeriksaan HIV Dyah keluar, suami pertamanya meninggal. Sebelum Dyah mengetahui suaminya mengidap AIDS, ia sudah tahu bahwa suaminya sempat menggunakan narkoba suntik. Penularan HIV diperkirakan terjadi akibat perilaku tersebut.
Depresi yang dirasakan Dyah pada awal terdiagnosis HIV membuat dirinya tidak mau mengonsumsi obat antiretroviral. Informasi yang amat minim membuat pengetahuannya mengenai pengobatan HIV sangat kurang. Karena tahu antiretroviral (ARV) harus diminum seumur hidup, ia jadi lebih takut efek pada ginjal dan hatinya karena mengonsumsi obat setiap hari dibandingkan penularan HIV itu sendiri.
Selama dua tahun awal, ia hanya mau mendapatkan pengobatan alternatif. Mandi kembang dan mencari tujuh sumber mata air pun dia jalankan, asal tidak mengonsumsi ARV. Kondisinya semakin memburuk setelah itu.
”Pikiran saya waktu itu hanya pada anak pertama saya. Anak saya sudah menjadi yatim, jangan sampai menjadi yatim piatu. Baru saat itu saya mulai bangkit dan mau menjalani pengobatan ARV secara rutin,” tuturnya.
Dukungan komunitas
Secara bersamaan, dukungan didapatkan Dyah dari komunitas perempuan dengan HIV di daerah tempat tinggalnya di DI Yogyakarta. Sebelumnya, ia tidak tahu bahwa ada komunitas yang bisa mendukungnya. Setelah bergabung dengan komunitas, banyak informasi dan pengetahuan ia dapatkan mengenai HIV. Kekhawatirannya akhirnya kian menghilang.
Sejak saat itu, ia tidak pernah absen mengonsumsi obat. Pemeriksaan viral load (jumlah virus) juga dilakukan secara rutin. Sampai akhirnya jumlah virus dalam tubuhnya tidak lagi terdeteksi. Ia pun sekarang sudah menikah kembali dan bisa diterima oleh pasangan dan keluarga pasangannya. Anak keduanya lahir dengan status negatif HIV.
Dukungan dari komunitas yang sangat berharga juga dirasakan oleh Tia (34), warga Jakarta. Diagnosis HIV didapatkannya ketika melakukan pemeriksaan HIV sebagai bagian dari program tiga eliminasi (eliminasi HIV, sifilis, dan hepatitis B) dari ibu hamil ke anak saat ia sedang hamil usia lima bulan.
Awalnya, ia tidak tahu dengan jelas apa itu penyakit HIV. Namun, setelah dokter menjelaskan lebih lengkap mengenai penularan HIV yang bisa terjadi dari hubungan berisiko serta penggunaan jarum suntik yang bergantian, ia langsung diliputi rasa takut. Pikiran negatif yang melingkupinya membuat ia juga takut memberitahukan kondisinya kepada pasangan.
Baru setelah satu bulan kemudian, Tia memberanikan diri untuk menyampaikan status HIV-nya kepada pasangan. Bukan dukungan yang didapatkan, penolakan dan kekerasan yang justru ia dapatkan. Pasangannya yang merupakan pengguna narkoba suntik tidak mau disalahkan akan status HIV-ya.
Baca juga : Kesenjangan Layanan Hambat Penanganan HIV pada Ibu dan Anak
Meski sudah terkonfirmasi juga positif HIV, suaminya tidak mau mengonsumsi obat. Pada awalnya, obat yang harus dikonsumsi Tia dibuang oleh suaminya. ”Saya benar-benar merasa sendiri. Sementara saya masih dalam kondisi mengandung. Beruntung ketika saya membuka Facebook, saya menemukan komunitas sebaya yang juga perempuan dengan HIV,” ucapnya.
Saya benar-benar merasa sendiri. Sementara saya masih dalam kondisi mengandung.
Sama dengan Dyah, setelah bergabung dengan komunitas, banyak informasi yang Tia dapatkan. Kepercayaan dirinya semakin baik untuk akhirnya berdamai dengan kondisi HIV yang ada pada tubuhnya. Tiada hari tanpa minum obat sering kali membuatnya jenuh. Namun, dukungan serta pendampingan dari komunitas membuat ia tetap berkomitmen untuk mau minum obat setiap hari.
”Dukungan dari komunitas ini yang menguatkan saya, juga perempuan lain dengan HIV, untuk bisa berdamai dengan HIV. Dukungan psikososial ini sangat berarti dari sekadar obat. Hal ini yang sampai saat ini belum bisa didapatkan di fasilitas pelayanan kesehatan,” tutur Tia.
Pendampingan
Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani saat dihubungi di Jakarta, Jumat (1/12/2023), mengatakan, kurangnya pengetahuan masyarakat membuat penanganan HIV di masyarakat menjadi tidak optimal. Kondisi itu juga yang turut menghambat upaya untuk memutus penularan HIV dari ibu ke anak. Padahal, penularan HIV secara vertikal dari ibu ke anak bisa dicegah.
Menurut dia, upaya pemerintah melalui program tiga eliminasi (triple elimination) dengan mewajibkan pemeriksaan HIV, sifilis, dan hepatitis B pada ibu hamil sudah sangat baik sebagai langkah deteksi dini. Namun, upaya yang dilakukan tidak bisa berhenti sebatas pemeriksaan serta penyediaan obat. Dukungan dan pendampingan yang maksimal dan menyeluruh amat dibutuhkan bagi perempuan dengan HIV, termasuk perempuan dengan HIV yang sedang hamil.
”Negara perlu melihat perempuan secara lebih holistik. Jika bicara perempuan dengan HIV, jangan hanya melihat HIV-nya saja. Jangan hanya menjalankan kewajiban memberikan ARV tanpa memikirkan hal lain yang lebih luas. Ada masalah psikososial yang bahkan perempuan saja tidak mampu mengatakan status HIV-nya,” tutur Ayu.
Karena itu, kehadiran komunitas menjadi sangat penting untuk mendampingi perempuan dengan HIV, sekaligus sebagai intervensi lanjutan ketika ditemukan ibu hamil yang positif HIV. Selama ini, banyak komunitas yang sudah bergerak melakukan pendampingan. Akan tetapi, gerakan itu masih berjalan secara sporadis.
Jangkauan pada masyarakat menjadi terbatas. Sementara populasi ibu hamil yang ditemukan positif HIV tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Kondisi itu mengakibatkan adanya ketimpangan yang cukup besar antara jumlah ibu yang diperiksa, kemudian terdeteksi positif HIV, dan jumlah ibu yang mendapatkan pengobatan.
Data Kementerian Kesehatan 2022 menunjukkan, dari sekitar 5 juta ibu hamil, hanya 58 persen yang mendapatkan pemeriksaan deteksi HIV dan ditemukan 0,3 persen atau sekitar 7.100 ibu hamil positif HIV. Sementara itu, dari sekitar 7.100 ibu hamil dengan HIV, hanya 24 persen atau 1.700 orang yang mendapatkan pengobatan antiretroviral.
Pengobatan antiretroviral berperan penting untuk memutus penularan HIV dari ibu ke anak. Ibu hamil yang mendapatkan terapi ARV sejak dini dapat mengurangi risiko penularan pada bayi yang dikandungnya secara signifikan menjadi kurang dari 2 persen, sedangkan yang tidak menjalani terapi bisa berisiko menularkan kepada bayi sebesar 20-50 persen.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi dalam konferensi pers terkait Hari AIDS Sedunia 2023 di Jakarta, Kamis (30/11/2023), mengatakan, sejumlah penguatan akan dilakukan dalam penanggulangan HIV pada ibu dan anak. Akses untuk pemeriksaan akan dipermudah. Selain itu, pendampingan juga dilakukan agar ibu hamil yang terdeteksi HIV bisa segera memulai terapi ARV.
Baca juga : Intervensi Penanganan HIV Kurang Menyentuh Perempuan dan Anak
”Tantangan sekarang itu hampir 70 persen ibu hamil melakukan pemeriksaan ANC (pemeriksaan kehamilan) di bidan praktik mandiri, bukan di puskesmas. Sementara layanan pemeriksaan masih lebih banyak tersedia di puskesmas. Karena itu, kita perlu perluas akses pemeriksaan di bidan praktik mandiri dan klinik swasta,” katanya.