Intervensi Penanganan HIV Kurang Menyentuh Perempuan dan Anak
Intervensi HIV selama ini masih fokus pada kelompok populasi kunci sehingga intervensi pada perempuan dan anak menjadi tidak optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Intervensi pengendalian HIV selama ini lebih banyak berfokus pada kelompok populasi kunci. Hal itu membuat intervensi pada kelompok lain, khususnya perempuan dan anak, menjadi tidak optimal. Padahal, perempuan dan anak memiliki kerentanan yang tinggi ketika tertular HIV.
Ketua Divisi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Hartini menuturkan, kelompok populasi kunci masih menjadi fokus utama dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. Hal itu terjadi karena tren penularan HIV terpusat pada kelompok tersebut dalam waktu yang lama. Namun, kondisi itu membuat kelompok masyarakat lain kurang mendapat perhatian, terutama perempuan dan anak.
”Penjangkauan lapangan serta pemeriksaan untuk skrining masih berfokus pada populasi kunci. Sementara perempuan dan anak tidak menjadi target sehingga upaya penjangkauan dan skrining menjadi tidak optimal,” ujarnya dalam konferensi pers menjelang pelaksanaan Simposium EMCTC (eliminasi penularan ibu ke anak) di Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Simposium EMCTC, menurut rencanan, akan dilaksanakan pada Senin-Selasa, 27-28 November 2023, di Jakarta. Simposium tersebut bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan komitmen dari berbagai pihak kepentingan dalam mendukung upaya eliminasi HIV, sifilis, dan hepatitis B di Indonesia.
Penjangkauan lapangan serta pemeriksaan untuk skrining masih berfokus pada populasi kunci. Sementara perempuan dan anak tidak menjadi target sehingga upaya penjangkauan dan skrining menjadi tidak optimal.
Hartini mengungkapkan, jumlah ibu hamil dengan HIV yang menerima obat antiretroviral (ARV) sangat rendah. Padahal, obat tersebut dibutuhkan sebagai terapi untuk menekan jumlah virus pada tubuh ibu sehingga penularan HIV ke bayi bisa dicegah.
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa melalui plasenta saat hamil, waktu persalinan, serta pascamelahirkan lewat air susu ibu. Risiko penularan tersebut dapat ditekan melalui pemberian terapi ARV kepada ibu.
Ibu hamil dengan HIV yang tidak menjalani terapi secara teratur dan penanganan tepat berisiko menularkan HIV kepada bayi 20-50 persen. Sementara pada ibu yang diobati, risiko penularan menurun hingga kurang dari 2 persen.
Merujuk pada Laporan Eksekutif Perkembangan HIV, AIDS, dan Penyakit Infeksi Menular Seksual Triwulan I Tahun 2023 Kementerian Kesehatan, dari estimasi jumlah ibu hamil pada periode Januari-Maret 2023 sebanyak 4.7 juta orang, terdapat 2.133 orang yang terdeteksi HIV. Dari jumlah itu, hanya 356 orang yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV).
Pada periode yang sama dilaporkan, setidaknya ada 134 bayi yang lahir dari ibu dengan positif HIV. Sementara tercatat ada 28 bayi usia kurang dari 18 bulan yang terdeteksi positif HIV.
Pemeriksaan
Menurut Hartini, upaya pemerintah yang mewajibkan adanya pemeriksaan penyakit infeksi menular seksual pada ibu hamil sudah sangat baik. Pemeriksaan tersebut dapat meningkatkan deteksi infeksi menular seksual, termasuk HIV. Namun, ia menyayangkan upaya tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pemeriksaan hingga memastikan semua ibu hamil yang positif HIV mendapatkan akses obat dengan baik.
”Layanan kesehatan sudah fokus pada pemeriksaan HIV pada ibu hamil. Akan tetapi, bagaimana dengan pengobatannya? Belum ada mekanisme yang kuat untuk memastikan ibu yang terdeteksi HIV juga mendapatkan pengobatan,” ujarnya.
Pendekatan yang khusus diperlukan untuk memastikan pengobatan pada ibu hamil dengan positif HIV dapat berjalan dengan baik. Seorang ibu yang terdeteksi HIV memerlukan pendampingan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.
Stigma dan diskriminasi yang masih tinggi di masyarakat membuat banyak ibu hamil yang tidak dapat menerima status HIV yang dimiliki. Hal itu membuat ibu hamil tersebut akhirnya enggan untuk kembali ke fasilitas kesehatan serta enggan untuk mendapatkan pengobatan.
Karena itu, Koordinator Nasional IPPI Ayu Oktariani menyampaikan, upaya pencegahan dan pengendalian HIV perlu dilakukan secara holistik dengan menyasar kelompok rentan lain, seperti perempuan anak-anak. Perempuan dengan HIV tidak hanya membutuhkan dukungan pengobatan, tetapi juga dukungan kesehatan reproduksi serta dukungan psikososial.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga mempunyai risiko kesehatan yang besar. Ibu hamil dengan HIV berisiko mengalami komplikasi berupa infeksi penyerta, seperti TBC, pneumonia, dan meningitis akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah.
”Peran kader kesehatan di masyarakat bisa diperkuat untuk juga menyentuh ibu-ibu hamil dengan HIV. Layanan jemput bola juga bisa dilakukan untuk memastikan pengobatan serta dukungan lainnya diberikan. Harapannya, tidak ada lagi penularan HIV secara vertikal dari ibu ke anak,” katanya.