Deteksi dini penularan HIV perlu dilakukan untuk setiap ibu hamil. Melalui deteksi, perawatan dan pengobatan bisa segera diberikan sehingga risiko penularan pada bayi yang dikandung bisa dicegah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penularan HIV bisa terjadi dari ibu ke anak selama masa kehamilan dan persalinan. Risiko penularan itu bisa dicegah apabila ibu mendapat layanan terapi yang tepat dan teratur. Namun, pengobatan itu belum maksimal karena banyak ibu belum tahu status HIV-nya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Senin (29/11/2021), mengatakan, baru 30 persen ibu hamil menjalani tes HIV (human immunodeficiency virus) lalu memulai pengobatan ARV (Antiretroviral). Sementara, setiap tahun ada sekitar lima juta kelahiran di Indonesia.
”Diperkirakan dari data yang ada kurang lebih dua persen bayi tertular dari ibu dengan HIV positif. Karena itu, deteksi dini HIV pada ibu hamil perlu terus ditingkatkan,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan mencatat, 6.439 ibu hamil terdeteksi positif HIV dari 2,3 juta ibu hamil yang menjalani tes HIV pada 2019. Pada 2020, dari 2,4 juta ibu hamil yang diperiksa, sebanyak 6.094 orang positif HIV. Dari jumlah itu diketahui prevalensi ibu hamil yang tertular HIV di Indonesia 0,25 persen.
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak menjalani terapi secara teratur dan penanganan tepat berisiko menularkan HIV ke bayinya 20-50 persen. Sementara pada ibu yang mendapat pengobatan dan perawatan, risiko penularan bisa ditekan hingga kurang dari 2 persen.
Nadia mengatakan, dengan pengobatan ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIV. Karena itu, deteksi dini jadi penting agar penanganan dan pengobatan bisa segera diberikan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan Ibu ke Anak atau PPIA dan Peraturan Menteri Kesehatan No 21/2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dalam pelayanan antenatal wajib menjalani tes HIV yang inklusif dalam pemeriksaan laboratorium rutin. Sementara di daerah epidemi rendah, tes HIV diprioritaskan untuk ibu hamil yang terinfeksi menular seksual (IMS) dan tuberkulosis.
Dengan pengobatan ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIV. Karena itu, deteksi dini menjadi penting agar penanganan dan pengobatan bisa segera diberikan.
Aturan itu juga menyebutkan semua ibu hamil dengan HIV harus diberi pengobatan ARV segera tanpa memperhitungkan jumlah CD4 (bagian dari sel darah putih yang terkait dengan kekebalan tubuh). Pengobatan juga dilakukan tanpa melihat umur kehamilan dan diberikan seumur hidup.
Ketua Kelompok Staf Medis Alergi Imunologi RS Kanker Dharmais yang juga Kepala Program Nasional RS Kanker Dharmais Haridiana Indah menambahkan, upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak akan lebih efektif jika sudah dilakukan sejak rencana kehamilan dimulai. Pengobatan ARV bisa dilakukan sebelum rencana kehamilan.
”Jadi, pasangan harus tahu status HIV-nya terlebih dahulu. Dengan pengobatan rutin, jumlah virus dalam tubuh bisa tak terdeteksi. Ketika viral load (jumlah virus) tidak terdeteksi, pasangan bisa berhubungan seksual pada masa subur sehingga saat hamil, risiko penularan pada bayi bisa ditekan,” tuturnya.
HIV dan Covid-19
Haridiana mengatakan, orang dengan HIV termasuk pada kelompok rentan terinfeksi Covid-19. Risiko perburukan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak tertular HIV karena pengidap HIV memiliki sistem daya tahan tubuh lemah.
Risiko penularan semakin besar apabila orang dengan HIV tak mengonsumsi ARV secara teratur. Biasanya, jumlah CD4 pada orang dengan HIV akan menurun jika tidak mengonsumsi ARV. Infeksi oportunistik atau infeksi akibat penurunan sistem kekebalan tubuh juga bisa terjadi.
”Karena itu, orang dengan HIV harus tetap mengontrol kesehatannya. Layanan telemedicine bisa dimanfaatkan dan pastikan minum obat ARV tepat waktu. Komorbid yang dimiliki juga perlu dikontrol,” tuturnya.
Selain itu, Haridiana juga mengimbau agar orang dengan HIV harus disiplin menjalankan protokol kesehatan. Jika kondisi kesehatan terkontrol, vaksinasi Covid-19 pun bisa diberikan.
Nadia mengatakan, pemerintah berkomitmen menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia. Layanan HIV/AIDS masuk sebagai standar minimal pelayanan kesehatan kabupaten atau kota sejak 2018. Fasilitas pelayanan HIV/AIDS juga diperluas. Pada 2011, ada 500 fasilitas testing HIV dan naik menjadi 10.000 tempat pada 2021.
Jumlah orang yang diperiksa pun meningkat dari 378.000 pada 2011 menjadi 4 juta orang pada 2021.
Jumlah fasilitas perawatan dan pengobatan ARV meningkat pula dari 303 menjadi 1.913 tempat dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan orang dengan HIV yang menerima pengobatan ARV terjadi dari sebelumnya hanya 24.410 orang menjadi 149.614 orang.
”Komitmen semua pemangku kepentingan di semua tingkatan harus diperkuat. Hal itu terutama dalam upaya perluasan akses pencegahan, layanan diagnosis HIV, pengobatan, dan infeksi oportunistik, serta mitigasi dampak HIV,” kata Nadia.