Orang dengan HIV tidak selalu menularkan virus HIV-nya ke orang lain, termasuk penularan dari ibu dengan HIV ke anaknya. Lewat deteksi dini dan pengobatan ARV, risiko penularan bisa dicegah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Slamet, anak balita berusia dua tahun yang tertular virus HIV, disuapi makan siang oleh ibunya di ruang rawat inap Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, Rabu (13/1). Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak Indonesia, jumlah anak Indonesia di bawah usia 10 tahun yang tertular virus HIV tahun lalu berjumlah 72 kasus. Salah satu penyebab adalah faktor genetika.
JAKARTA, KOMPAS — Ibu dengan HIV tidak selalu menularkan virus HIV ke bayinya. Deteksi dini serta pengobatan rutin adalah langkah mencegah penularan HIV secara vertikal dari ibu ke anak. Semakin dini terdeteksi dan diobati, penularan semakin bisa dicegah.
”Seorang ibu yang tidak menjalani program pencegahan HIV dari ibu ke anak (PPIA), risiko penularannya bisa mencapai 30-40 persen. Namun, begitu program itu dilakukan dengan baik, risiko penularan bisa menjadi sangat kecil di bawah dua persen,” kata Ketua Satuan Tugas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi di Jakarta, Jumat (2/9/2022).
Ia menuturkan, program pencegahan penularan tersebut dimulai dari deteksi dini sebelum masa kehamilan. Jika dalam pemeriksaan terdeteksi positif HIV, ibu tersebut harus mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) secara rutin. Obat tetap dilanjutkan seumur hidup sekalipun virus sudah tidak terdeteksi. Dalam masa kehamilan, obat pun tetap dikonsumsi.
Selanjutnya, sebelum persalinan sebaiknya konsultasi ke dokter untuk memilih persalinan yang aman. Apabila virus sudah tidak terdeteksi, persalinan normal bisa dilakukan. Namun, jika masih terdeteksi virus disarankan melakukan persalinan sesar atau sectio caesarea untuk mencegah penularan lewat persalinan.
Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV juga harus mendapatkan obat ARV selama enam minggu sebagai pencegahan. Deteksi HIV dilakukan melalui pemeriksaan darah setidaknya dua kali pada saat bayi berusia enam minggu dan empat sampai enam bulan.
”Kalau dari dua kali pemeriksaan tersebut hasilnya negatif, kita sudah bisa men-declare (menyatakan) atau mengonfirmasi bahwa bayi ini tidak terinfeksi HIV. Banyak penularan HIV vertikal bisa dicegah jika program PPIA dilakukan sejak dini,” kata Endah.
Meski demikian, ia menyayangkan kasus penularan HIV secara vertikal di Indonesia masih sangat tinggi. Lebih dari 90 persen kasus HIV pada anak di Indonesia merupakan penularan vertikal yang terjadi saat kehamilan atau persalinan.
Seorang ibu yang tidak menjalani program pencegahan HIV dari ibu ke anak (PPIA), risiko penularan bisa mencapai 30-40 persen. Namun, begitu program itu dilakukan dengan baik, risiko penularan bisa menjadi sangat kecil di bawah dua persen. (Endah Citraresmi)
Kementerian Kesehatan mencatat hanya 30 persen ibu hamil yang diperiksa status HIV-nya. Dari 2,4 juta ibu hamil yang diperiksa, ditemukan 6.094 ibu yang positif HIV. Dari jumlah itu hanya sepertiganya yang mendapatkan pengobatan ARV sehingga risiko anak yang tertular HIV dari ibunya masih tinggi.
Untuk itu, Endah menuturkan, seluruh ibu hamil harus melakukan pemeriksaan HIV. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan terkait itu, tetapi pelaksanaannya belum maksimal. Stigma menjadi tantangan utama. Tidak sedikit dokter yang juga enggan meminta ibu hamil melakukan pemeriksaan HIV karena takut dianggap menuduh pasien.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) bermain di depan tempat tinggal mereka di Rumah Singgah Lentera, Solo, Jawa Tengah, Kamis (18/7/2019).
Deteksi anak
Endah menambahkan, banyaknya ibu yang tidak melakukan pemeriksaan HIV membuat anak dengan HIV pun banyak yang tidak teridentifikasi. Karena itu, kesadaran untuk melakukan pemeriksaan HIV diperlukan pada usia anak, terutama pada anak yang mengalami gejala mengalami HIV.
Gejala tersebut seperti mudah terserang penyakit, ketika mengalami diare biasanya berlangsung lama, serta sering muncul jamur di mulut ataupun sariawan. Anak dengan HIV juga biasanya mengalami pneumonia secara berulang, gizi kurang, atau bahkan gizi buruk.
”Anak dengan HIV biasanya juga terdeteksi dengan kondisi yang sudah berat. Itu terjadi karena sistem kekebalan tubuh anak belum terbentuk sempurna. Sementara virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika tidak segera mendapatkan pengobatan, kondisi yang lebih buruk hingga kematian bisa terjadi,” katanya.
Jika ditemui gejala tersebut, keluarga ataupun orang terdekat dari anak sebaiknya segera memeriksakan kondisi anak ke fasilitas kesehatan, termasuk untuk melakukan pemeriksaan HIV. Jika terdeteksi positif HIV, anggota keluarga, terutama ibu, diharapkan turut melakukan pemeriksaan HIV.
HIV pada remaja
Endah menyampaikan, kewaspadaan lain yang menjadi perhatian adalah penularan HIV pada usia remaja. Penularan HIV yang terjadi pada usia remaja umumnya terjadi akibat penggunaan narkoba suntik. Biasanya, alat suntik yang dipakai digunakan secara bersamaan.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Mural menghiasi dinding shelter Lentera tempat tinggal anak-anak pengidap HIV/AIDS di Solo, Jawa Tengah, Kamis (14/2/2019). Dinas Pendidikan Solo memastikan anak-anak pengidap HIV/AIDS dapat kembali bersekolah di sekolah dasar di Solo.
Hal inilah yang bisa menjadi pintu masuk penularan HIV. Ketika ada satu pengguna yang terkena HIV, semua yang menggunakan alat suntik tersebut akan tertular HIV. Selain itu, penularan HIV pada remaja bisa terjadi melalui seks bebas. Kasus HIV pada remaja banyak ditemukan dari hubungan seks, terutama hubungan seks pada sesama jenis.
”Semua harus bekerja sama dan terlibat untuk mencegah permasalahan pada remaja ini. Selain mencegah HIV, kita juga bisa harus sekaligus mencegah penyakit menular seksual lain. Tidak hanya sektor kesehatan yang terlibat, pendidikan, sosial, dan ekonomi juga berperan,” kata Endah.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Anak Indonesia (PB IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menambahkan, persoalan penularan HIV pada anak menjadi masalah bersama yang harus ditangani serius. Deteksi awal menjadi aspek penting untuk mengatasi penularan HIV pada anak sehingga penanganan tidak terlambat.
”Banyak negara sudah melaporkan tidak ada lagi kasus penularan HIV secara vertikal. Indonesia pun harus bisa memutus mata rantai penularan HIV dari ibu ke anak. Kerja sama lintas sektor diperlukan agar deteksi pada ibu hamil bisa lebih masif,” ujarnya.