Kesenjangan Layanan Hambat Penanganan HIV pada Ibu dan Anak
Kesenjangan layanan HIV pada ibu dan anak di Indonesia cukup besar, terutama pada deteksi dan pengobatan.
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan dalam layanan HIV pada ibu dan anak di Indonesia sangat besar. Temuan kasus HIV pada ibu hamil masih rendah sehingga penularan pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV masih terjadi. Perlu upaya komprehensif pengendalian HIV yang memprioritaskan penanganan pada ibu dan anak.
Data Kementerian Kesehatan 2022 menunjukkan besarnya kesenjangan tersebut. Dari perkiraan 5 juta ibu hamil, hanya 58 persen yang mendapatkan deteksi HIV. Dari jumlah itu, ditemukan 0,3 persen atau sekitar 7.100 ibu hamil yang positif HIV.
Kesenjangan berikutnya ditemukan pada jumlah ibu hamil dengan HIV yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV). Dari sekitar 7.100 ibu hamil dengan HIV, hanya 24 persen atau 1.700 ibu yang mendapatkan pengobatan ARV. Kondisi serupa juga ditemukan pada layanan pada bayi baru lahir dengan HIV. Akibat penanganan yang tidak optimal pada ibu hamil, penularan pada bayi masih terjadi. Padahal, jika mendapatkan terapi ARV yang optimal, penularan bisa dicegah.
Baca juga: Intervensi Penanganan HIV Kurang Menyentuh Perempuan dan Anak
Kepala Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Hartini dalam Simposium EMTCT (Eliminasi Penularan Ibu ke Anak) di Jakarta, Senin (27/11/2023), mengatakan, penanganan perempuan dengan HIV selama ini hanya dipandang sebagai persoalan HIV semata. Akibatnya, intervensi yang diberikan tidak spesifik memberikan layanan yang utuh untuk kebutuhan perempuan dengan HIV.
”Dukungan yang ada pada isu HIV sebagian besar juga hanya berfokus pada kelompok populasi kunci. Kebutuhan perempuan terkadang menjadi tidak diperhatikan secara penuh,” tuturnya.
Hartini mengatakan, perempuan dengan HIV memiliki kebutuhan yang spesifik, seperti akses pada layanan HIV dan ARV, perencanaan dan pencegahan kehamilan ketika tingkat tingkat viral load (jumlah virus dalam tubuh) masih tinggi, serta kesehatan mental dari psikolog dan psikiater. Pengaduan dan penanganan kekerasan berbasis jender juga dibutuhkan. Tidak sedikit perempuan hamil yang terdeteksi positif HIV mengalami kekerasan dari pasangannya, baik kekerasan fisik, psiks, maupun penelantaraan ekonomi.
Dukungan yang ada pada isu HIV sebagian besar juga hanya berfokus pada kelompok populasi kunci. Kebutuhan perempuan terkadang menjadi tidak diperhatikan secara penuh.
Ia menambahkan, dukungan mental juga perlu diprioritaskan dalam penanganan HIV pada ibu hamil. Stigma dan diskriminasi pada pasien HIV yang masih tinggi sering membuat ibu hamil yang pertama kali terdiagnosis HIV tidak mau membuka statusnya. Akibatnya, ia tidak mendapatkan pengobatan yang optimal. Dukungan dari pasangan, keluarga, masyarakat, dan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhannya selama masa kehamilan serta bayinya kelak tidak bisa diberikan.
Kondisi tersebut akhirnya membuat tujuan dari upaya deteksi yang sudah dilakukan tidak tercapai. Deteksi HIV pada ibu hamil amat penting agar kasus HIV pada ibu hamil bisa ditemukan sejak dini. Setelah terdeteksi diharapkan pengobatan bisa segera diberikan dengan baik. Ibu hamil yang mendapatkan terapi ARV sejak dini dapat mengurangi risiko penularan pada bayi yang dikandungnya hingga kurang dari 2 persen, sedangkan yang tidak menjalani terapi bisa berisiko menularkan pada bayinya 20-50 persen.
Direktur UNAIDS untuk Indonesia Krittayawan Boonto menyampaikan, kesenjangan akses layanan HIV terjadi pula secara geografis. Banyak daerah yang bahkan capaian penapisan HIV pada ibu hamilnya masih di bawah cakupan nasional.
Baca juga: Lindungi Anak dengan HIV
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dibandingkan cakupan penapisan HIV pada ibu hamil nasional yang sebesar 58 persen, penapisan di NTT hanya 19 persen. Jumlah itu merupakan yang terendah di Indonesia. Adapun di Bangka Belitung cakupan mencapai 88 persen yang merupakan tertinggi di tingkat nasional.
Kesenjangan secara geografis itu juga tampak dari capaian ibu hamil dengan HIV yang memulai terapi. Secara nasional, cakupan pemberian terapi pada ibu hamil dengan HIV sebesar 24 persen, sedangkan di Gorontalo kurang dari 1 persen dan Bangka Belitung hampir 100 persen.
Komunitas
Menurut Boonto, komunitas sangat dibutuhkan untuk mendukung peningkatan layanan pada ibu hamil dengan HIV. Pelayanan berbasis masyarakat lebih efektif untuk merangkul ibu dengan HIV agar bisa mengakses pengobatan dengan baik.
”Komunitas menjadi garda terdepan dalam merespons HIV. Pendampingan ibu hamil dengan HIV oleh komunitas perlu lebih masif dikembangkan agar penanganan HIV bisa lebih baik,” tuturnya.
Pembelajaran dari negara lain, tambah Boonto, juga bisa diterapkan di Indonesia untuk perbaikan layanan HIV pada ibu hamil. Di Malaysia, misalnya, layanan HIV pada ibu hamil diberikan terintegrasi. Layanan untuk kehamilan dan HIV diberikan di lokasi yang sama sehingga stigma dan diskriminasi bisa diatasi. Selain itu, layanan yang terintegrasi di tempat yang sama juga mengurangi beban biaya transportasi serta waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan oleh ibu hamil.
Program nasional
Ketua Tim Kerja Kesehatan Maternal Neonatal Kementerian Kesehatan Laila Mahmudah menyampaikan, pemerintah telah menetapkan peta jalan penanganan HIV, terutama untuk memutus penularan HIV dari ibu ke anak. Sebelumnya, eliminasi penularan dari ibu ke anak pada tiga penyakit menular, yakni HIV, sifilis, dan hepatitis B, ditargetkan tercapai pada 2022. Namun, target tersebut belum bisa terpenuhi sehingga target eliminasi ditetapkan ulang agar bisa dicapai pada 2030.
Sejumlah program nasional sudah disiapkan agar target tersebut tercapai. Misalnya, mewajibkan seluruh ibu hamil mendapatkan pemeriksaan HIV, sifilis, dan hepatitis B pada kunjungan pertama pemeriksaan kehamilan. Apabila terdeteksi positif, ibu hamil tersebut akan melanjutkan perawatan dengan menjalani terapi dan konseling dari petugas kesehatan. Konseling juga akan dilakukan untuk pasangan dan keluarga.
Baca juga: HIV dan Beban Ganda Pandemi
Namun, sejumlah tantangan masih dijumpai. Kebutuhan dasar seperti layanan kesehatan, termasuk jumlah dan kualitas logistik masih terbatas. Sumber daya kesehatan dan upaya perluasan cakupan layanan juga masih belum menyeluruh. Pendanaan di tingkat daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/ kota terbatas. Tantangan itu semakin berat dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pencegahan dan penularan dari HIV, sifilis, dan hepatitis B.
”Namun, upaya meningkatkan cakupan dan kualitas skrining untuk HIV, sifilis, dan hepatitis B pada ibu hamil diharapkan bisa mempercepat capaian eliminasi penyakit tersebut. Kami berupaya agar kolaborasi dan kerja sama lintas program dan sektor bisa berjalan lebih baik juga bisa meningkatkan partisipasi dari publik. Harapannya pada 2030, target eliminasi bisa dicapai,” tutur Laila.