Penanganan anak dengan HIV membutuhkan komprehensif. Selain peningkatan akses layanan kesehatan, anak-anak yang terinfeksi butuh perlindungan agar tak mengalami stigma dan diskriminasi.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ribuan anak di sejumlah daerah di Indonesia terinfeksi HIV. Hal ini mencerminkan lemahnya deteksi dini virus tersebut pada perempuan sehingga terjadi penularan dari ibu hamil ke bayinya. Untuk itu, penyusunan regulasi penanganan HIV-AIDS pada anak mesti dipercepat.
Kepala Biro Informasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Nadia Biro menyampaikan hal itu saat dihubungi pada Jumat (2/12/2022). Sebelumnya, kementerian kesehatan sudah menyampaikan hal itu dalam jumpa pers secara daring.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), secara kumulatif, tercatat 12.553 anak berusia di bawah 14 tahun terinfeksi HIV. Dari jumlah total tersebut, 4.764 anak di antaranya berusia di bawah 4 tahun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi mengatakan, data tersebut terkumpul pada 2020 hingga September 2022.
”Kalau dilihat jumlahnya, usia kurang dari empat tahun itu lebih dominan pada anak dengan HIV. Total ada sekitar 12.533 anak berusia 14 tahun ke bawah yang diketahui status HIV-nya,” kata Imran.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Irma Suryani Chaniago, pada diskusi memperingati Hari AIDS Sedunia 2022 bertajuk ”Rock the Ribbon: Global Solidarity, Shared Responsibility”, Kamis (1/12/2022), menyatakan, tingginya kasus itu membutuhkan penanganan yang serius.
Total ada sekitar 12.533 anak berusia 14 tahun ke bawah yang diketahui status HIV-nya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan, pihaknya mendorong percepatan penanggulangan HIV-AIDS. ”Kementerian Kesehatan menggelontorkan dana Rp 18 miliar untuk penanganan melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Kami meminta Kemenkes juga menyiapkan dana khusus untuk sosialisasi karena pengobatan saja tidak cukup,” ujarnya.
Stigma
Namun, diakui, saat ini penanganan HIV-AIDS masih terbentur stigma akibat misinformasi di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, ada kasus seorang anak dengan HIV dijauhi temannya di sekolah. Hal ini disebabkan guru dan murid di sekolah menganggap HIV menular dengan cepat seperti tertular Covid-19.
Selain edukasi, kampanye masif seperti yang dilakukan pada Covid-19 perlu dilakukan. Kampanye untuk mengetahui status HIV melalui tes ataupun pengobatan antiretroviral atau ARV juga bisa diwajibkan, seperti vaksinasi Covid-19.
”Selain itu, kami mendorong adanya pemeriksaan dini dengan ibu hamil. Karena 90 persen penularan yang terjadi pada anak melalui ibu. Namun, tidak semua ibu dengan HIV akan melahirkan anak dengan HIV juga,” ujar Irma.
Aktivis dan spesialis jender, Nukila Evanty, menjelaskan, akar persoalan belum optimalnya penanganan HIV-AIDS terkait dengan kesetaraan jender. Perempuan terkurung stigma dalam deteksi dini dan menentukan nasibnya. ”Jika perempuan banyak yang bersekolah tinggi, pernikahan dini dapat dicegah. Pernikahan dini juga meningkatkan risiko terinfeksi HIV,” ujarnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penanganan HIV AIDS seharusnya bisa lebih cepat dan baik daripada penanganan Covid-19. Hal itu karena penularannya yang khusus secara tidak langsung.
”Covid-19 cepat menular karena melalui droplet, maka kita harus pakai masker. Itu di luar kendali kita. Kalau HIV dan AIDS tidak secepat itu. Selama bisa kontrol penyebabnya, penangan bisa lebih mudah,” kata Budi pada diskusi peringatan Hari AIDS Sedunia 2022, Kamis (1/12/2022).
Dia juga menekankan pada pentingnya pencegahan. Sebab, biaya pencegahan akan lebih murah daripada pengobatan. Budi mengibaratkan, jika Covid-19 terdapat vaksin, mungkin suatu saat nanti vaksin HIV juga akan ditemukan.