Minim, Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Kebijakan Iklim
Dampak perubahan iklim semakin nyata dialami masyarakat adat. Sebagai kelompok rentan, masyarakat adat justru kurang dilibatkan dalam keputusan terkait penanganan krisis iklim.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat adat merupakan kelompok rentan yang akan terdampak perubahan iklim. Namun, keterlibatan masyarakat adat justru masih minim dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan sering tidak menjadi solusi dari krisis iklim yang terjadi.
Petani perempuan muda dari Flores Timur yang juga anggota Koalisi Pangan Baik, Shindy Soge, menuturkan, konsep perubahan iklim memang belum dipahami dengan benar oleh masyarakat adat. Namun, dampak dari perubahan iklim tersebut secara nyata sudah dirasakan.
”Di desa kami, dampak yang paling terasa adalah berkurangnya jumlah mata air. Ada dua mata air yang sekarang benar-benar kering. Mata air lain ada juga yang ditemukan sudah berkurang debit airnya. Jelas ini sangat berdampak bagi masyarakat dalam budidaya tanaman pangan,” ujarnya dalam diskusi media yang diselenggarakan Voices for Just Climate Action (VCA) di Jakarta, Selasa (21/11/2023).
VCA merupakan program yang diinisiasi koalisi organisasi masyarakat sipil yang meliputi SSN-C4Ledger, Yayasan Humanis, Slum Dwellers International-SPEAK Indonesia, dan WWF di Nusa Tenggara Timur, Jakarta, Yogyakarta, dan Tanah Papua. Program ini dijalankan untuk mendorong keadilan iklim dan menggerakkan perubahan masyarakat untuk mengatasi krisis iklim.
Shindy menyampaikan, dampak perubahan iklim terjadi dengan berlangsungnya kemarau yang berkepanjangan. Selain mata air menjadi kering, kondisi itu juga menyebabkan produktivitas pertanian menjadi menurun. Serangan hama juga semakin meningkat ketika kemarau.
Dampak perubahan iklim terjadi dengan berlangsungnya kemarau yang berkepanjangan. Selain mata air menjadi kering, kondisi itu juga menyebabkan produktivitas pertanian menjadi menurun.
Pada kondisi itu, masyarakat berupaya mengembangkan pangan alternatif yang lebih tangguh di tengah situasi kemarau. ”Pangan alternatif yang kami gunakan ada jagung, sorgum, jewawut, juga jali-jali. Itu yang akhirnya menyelamatkan masyarakat,” katanya.
Dampak perubahan iklim dirasakan pula oleh masyarakat di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Pimpinan Women Federation Penjaringan Refiana mengatakan, air bersih sangat sulit didapatkan oleh masyarakat di Penjaringan. Sering kali air dari PDAM tidak mengalir selama dua sampai tiga minggu.
Pada saat itu, masyarakat terpaksa membeli air yang dijual dalam jeriken secara berkeliling. Masyarakat juga membangun inisiatif mandiri dengan mengumpulkan tabungan bergulir yang digunakan untuk membeli air ketika air bersih sulit didapatkan.
Dampak lain yang sering terjadi adalah adanya banjir rob. Sekalipun pemerintah sudah membangun dinding penahan banjir, hal itu dinilai tidak dapat menjadi solusi jangka panjang. Ancaman banjir rob masih mengintai masyarakat di Penjaringan.
”Untuk menanggulangi masalah iklim, kami tidak mampu sendirian dan sangat bersedia berkolaborasi dengan pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat sipil lainnya sebagai solusi iklim. Namun, kami tidak bisa melakukan hal tersebut jika pengetahuan dan pengalaman kami tidak dianggap setara dan penting,” tutur Refiana.
Pendamping komunitas masyarakat adat di Kampung Resye dan Womom, Distrik Tobouw Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, Renny I Suruan ,menambahkan, inisiatif dari masyarakat adat telah muncul untuk melawan dampak perubahan iklim di Kampung Resye dan Womom. Melalui kearifan dan budaya lokal, masyarakat adat berupaya menjalankan strategi dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Pengelolaan sumber daya alam dengan mengolah produk dari diversifikasi pangan dan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya menjadi alternatif solusi iklim yang telah dijalankan. Perlindungan wilayah dan ruang kelola masyarakat adat pun telah dilakukan secara inklusif. Namun, sering kali upaya ini tidak didukung penuh oleh pemerintah. Hak-hak dari masyarakat adat justru ditekan.
”Kami harap program yang direncanakan oleh pemerintah daerah bisa mengadopsi yang sudah dilakukan masyarakat. Subyek dari pembangunan adalah manusia, jadi kesejahteraan masyarakat harus yang diutamakan,” kata Renny.
Keterlibatan
Country Engagement Manager Yayasan Humanis Arti Indallah mengatakan, keterlibatan masyarakat adat sebagai bagian dari kelompok rentan harus ditingkatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dampak perubahan iklim. Hal itu diperlukan, baik pada skala lokal, nasional, maupun global.
”Tidak ada kebijakan iklim yang berkeadilan jika partisipasi masyarakat tidak dibuka secara luas. Selama ini masyarakat lokal menjadi kelompok yang sering terabaikan. Apabila komunitas lokal tidak dilibatkan, solusi yang dihasilkan pun tidak akan sesuai dengan konteks lokal. Padahal, komunitas lokal sudah melakukan pemetaan atas persoalan yang dialami,” ujarnya.