Orang suku Namblong hidup dengan mencari sumber pangan dari berkebun, berburu, dan memancing ikan di hutan. Tradisi ini terancam ekspansi perkebunan sawit.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai cara dilakukan masyarakat adat demi menjaga masa depan kedaulatan pangan lokal dari gempuran kebijakan politik pangan pemerintah yang tidak sesuai dengan kultur setempat. Tak jarang mereka berhadapan dengan konflik agraria yang semakin meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Rosita Tecuari, perempuan adat suku Namblong yang hidup di lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura, Papua, mengatakan, mereka hidup dengan mencari sumber pangan dari berkebun, berburu, dan memancing ikan di hutan. Kalau hutan hilang, kemungkinan besar masyarakat harus membeli keperluan pangan yang seharusnya bisa diperoleh dari hutan dan sungai sekitar.
”Hutan ini tempat kami pergi mengambil bahan makanan, lauk-pauk, bahan dasar alat tradisional, noken (tas tradisional), serat kulit kayu. Itu semua dari hutan. Bagaimana kalau hutan kami hilang? Dan hari ini kami sudah kehilangan,” kata Rosita dalam diskusi Konferensi Tenurial 2023 di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Masalahnya bukan pada alamnya. Alam kita subur. Masalahnya di politik pangan kita.
Selain suku Namblong, setidaknya ada tujuh suku lain yang tinggal di lembah Grime Nawa. Mereka tinggal dan terpencar di lembah yang dialiri dua sungai besar, Grime dan Nawa di Distrik Yapsi dan Unurumguay. Mereka semua hidup dari hutan.
Sementara dalam beberapa tahun belakangan ini masyarakat dibayangi ketakutan wilayah mereka akan terdampak ekspansi perkebunan sawit. Mereka tak ingin kehidupan mereka tercerabut akibat kehadiran perkebunan monokultur ini.
Salah satu perusahaan sawit mendapat izin usaha perkebunan (IUP) seluas 30.920 hektar dari Gubernur Papua melalui Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Papua sejak 2014 di Distrik Unurum Guay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi. Perusahaan sawit itu sudah mulai masuk dan membuka lahan di hutan adat orang Tecuari sejak 2001.
Pada tahun yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) seluas 16.182,48 hektar dan sebagian izin berada di areal penggunaan lain (APL) seluas 15.817,52 hektar.
”Kami tidak menolak pembangunan. Namun, kalau mau membangun, duduk dan diskusi dengan kami masyarakat adat, minta kepada kami karena kami pemilik wilayah adat,” ucap Rosita.
Begitu pula dengan Dewi Kustina, perempuan dari Komunitas Adat Montong Baan, Lombok Timur, yang bersiasat melestarikan jamu tradisional khas masyarakat adat suku Sasak, Lombok. Dengan lahan seadanya, mereka menanam jahe merah, kunyit, temulawak, dan lain-lain untuk dijadikan minuman jamu.
Kebudayaan meramu jamu ini sudah turun-temurun di Montong Baan, bahkan sudah menjadi komoditas ke luar desa untuk memenuhi permintaan pasar di daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Barat dan Bali. Mereka meyakini jamu berbahan mentah yang segar dari alam berkhasiat menaikkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit.
Terlebih saat pandemi Covid-19, jamu mereka diburu oleh banyak orang karena saat itu empon-empon dianggap bisa melawan penyakit. Selain jamu, mereka juga berwirausaha menjual bumbu siap saji dan keripik singkong dari buah yang mereka tanam sendiri.
”Semua kedaulatan pangan ini kami olah agar bisa laku pesat di pasaran, karena sekarang bahan pokok seperti beras, minyak, gula itu (harganya) sudah naik. Perempuan adat harus pintar atur uang,” ujar Dewi.
Idham Arsyad dari Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, semua upaya ini dilakukan secara mandiri oleh masyarakat adat karena pemerintah tidak merawat kedaulatan pangan. Kebijakan pangan seperti lumbung pangan (food estate), bansos pangan murah, dan pemberian hak guna usaha yang berpihak kepada korporasi menjadi ancaman pada keberlanjutan pangan lokal.
”Masalahnya bukan pada alamnya. Alam kita subur. Masalahnya di politik pangan kita. Ini yang harus kita kembalikan menjadi konsolidasi kedaulatan pangan dengan kekayaannya. Jadi, berhentilah menghidupi negara ini dari eksploitasi sumber daya alam, tetapi perkuat SDM-nya dengan perkuat pertanian,” kata Idham.
Badan Pusat Statistik mencatat ketimpangan penguasaan tanah saat ini mencapai angka 0,68 pada 2013. Artinya terdapat 1 persen orang yang menguasai 68 persen tanah di Indonesia. Mereka adalah pengusaha dan badan usaha swasta ataupun negara.
Ketimpangan penguasaan tanah ini mengakibatkan konflik agraria. KPA mencatat, sepanjang 2015-2022 terjadi 2.710 konflik agraria di 5,88 juta hektar tanah masyarakat. Sebanyak 1.934 orang dikriminalisasi, 814 orang mengalami kekerasan, 78 orang tertembak, dan 69 jiwa meninggal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat pada 2017-2018 terjadi 301 konflik agraria di 8,5 juta hektar wilayah adat.
Rekomendasi agraria
Selama dua hari, 16-17 Oktober 2023, koalisi masyarakat sipil berkumpul dalam Konferensi Tenurial 2023 di Jakarta. Mereka akan mendiskusikan dan mendorong pemerintah melakukan reforma agraria sejati serta pengelolaan sumber daya alam yang beradab untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis.
Konferensi Tenurial pertama kali diselenggarakan tahun 2011 dan kembali diadakan pada 2017 sebagai ruang konsolidasi gerakan masyarakat lintas sektor. Namun, tahun ini berbeda dari sebelumnya, pemerintah tidak lagi terlibat dalam konferensi.
Hasil dan rekomendasi dari konferensi akan disampaikan kepada 11 kementerian dan semua tim sukses dari partai politik yang diundang pada hari kedua konferensi, Selasa (17/10/2023). Hal ini dilakukan sebagai dorongan dan pengingat bagi politisi agar memperjuangkan isu reformasi agraria jika terpilih dalam Pemilu 2024.
”Jadi, nanti pemerintah hanya mendengarkan apa evaluasi dari kami, dan untuk timses (tim sukses) yang diundang akan diberikan dorongan dan usulan solusi perubahan ke depan dalam mengurus urusan agraria dan sumber daya alam,” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika.