Pemerintah perlu memperkuat nilai kearifan lokal sebagai alat mitigasi perubahan iklim, sekaligus mengimplementasikan praktik-praktik lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Oleh
DEDDY FEBRIANTO HOLO
·3 menit baca
Efek yang dirasakan dari perubahan iklim dalam jangka pendek melalui bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, serta badai dan dalam jangka panjang berupa degradasi lingkungan yang terjadi secara bertahap. Dampak perubahan iklim sudah kita rasakan saat ini di berbagai bidang, antara lain pertanian, ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan ekosistem.
Perubahan iklim dan pemanasan global saat ini terjadi menjadi isu yang terus dibicarakan oleh pegiat lingkungan di dunia, kondisi bumi yang tidak lagi bersahabat terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya memicu kesenjangan antara manusia dengan alamnya. Sejauh ini konsep keadilan iklim terus disuarakan oleh anak muda yang menuntut bahwa negara harus memberikan rasa keadilan akan rasa nyaman atas lingkungan yang sehat dan baik sesuai dengan mandat konstitusi negara.
Praktik eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh negara-negara maju telah mendorong terjadinya kerusakan lingkungan, para pemerhati lingkungan pun menuntut pemerintah menjalankan praktik keadilan iklim lewat perbaikan kebijakan di berbagai bidang pembangunan.
Proses industri dan aktivitas ekonomi negara maju telah dan terus mengeluarkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang sangat besar. Peningkatan jumlah gas rumah kaca di udara ini terbukti secara ilmiah menjadi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Oleh karena itu, negara maju memiliki tanggung jawab sejarah (historical responsibility) terhadap bencana akibat pemanasan global dan perubahan iklim di negara-negara berkembang dan miskin. Negara-negara berkembang dan miskin, selain menjadi korban peningkatan emisi, juga telah menjadi korban kolonialisme dalam berbagai bentuk dari sejumlah negara maju.
Pada dasarnya, konsep keadilan iklim mengandung prinsip bahwa orang-orang yang tidak memicu perubahan iklim justru mengalami dampak terburuk perubahan iklim. Di sisi lain, keadilan iklim juga membahas berbagai isu, seperti kesetaraan, hak asasi manusia, hak kolektif, dan tanggung jawab sejarah terkait perubahan iklim.
Jika dilihat lebih jauh, bencana yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia merupakan akumulasi dari bentuk penjarahan sumber daya alam yang tidak ramah terhadap keseimbangan lingkungan. Semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan pembangunan, maka secara sadar kita telah masuk pada fase di mana alam menjadi obyek eksploitasi manusia. Ini lahir dari pemikiran manusia akan konsep pembangunan.
Kearifan lokal jadi tameng
Salah satu catatan penting yang sering ditemui dalam berbagai diskusi perubahan iklim, krisis lingkungan adalah kearifan lokal yang sampai saat ini masih menjadi tameng bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Hal yang menarik adalah masih ada praktik lokal yang dilakukan masyarakat adat dalam mengendalikan laju perubahan iklim dan upaya pemulihan lingkungan.
Ada nilai lokal yang sampai saat ini terus dilestarikan, salah satunya ritual adat ”wullu poddu” yang secara harfiah berarti ”bulan pahit”. Ritual adat ini mengandung makna penting dalam kehidupan masyarakat Sumba Barat yang artinya menjaga keharmonisan manusia, leluhur, dan lingkungan.
Dalam konteks ekologi, ritual adat ini sering dilakukan untuk mengingatkan manusia menjaga relasinya dengan alam. Filosofi yang dibangun oleh masyarakat Sumba Barat (suku Loli) merupakan bentuk atau tindakan serta pemikiran mereka memperlakukan alam dengan bijaksana di tengah krisis iklim.
Dahulu masyarakat adat dapat memprediksi musim tanam, musim hujan, musim kemarau (kalender musim) dengan melihat tanda-tanda alam.
Praktik mitigasi ini dilakukan dengan pendekatan budaya masyarakat setempat, salah satunya melakukan konservasi di wilayah-wilayah sumber mata air, kemudian dalam ekologi budaya masyarakat suku Loli mereka melakukan ritual mengeramatkan air, hutan, dan padang sehingga tidak dirusak karena ada konsekuensi hukum adat yang berlaku.
Kemarau panjang, krisis air, gagal panen, hama penyakit, banjir, tanah longsor, dan kekeringan telah menciptakan kondisi masyarakat yang semakin rentan terhadap berbagai sakit penyakit dan kelaparan, serta adanya perubahan perilaku dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kita saat ini. Hal yang menyebabkan semua ini terjadi adalah perubahan iklim.
Dahulu masyarakat adat dapat memprediksi musim tanam, musim hujan, musim kemarau (kalender musim) dengan melihat tanda-tanda alam yang dapat dipercayai memberikan pedoman dalam bertani. Namun, sejak perubahan iklim memasuki fase krisis, tanda atau petunjuk tersebut tidak lagi dapat diprediksi. Akankah kearifan lokal tergerus di tengah lajunya perubahan iklim?
Banyaknya kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam urusan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan justru menemui jalan terjal, pasalnya kebijakan pembangunan justru melegalkan deforestasi, alih fungsi lahan, privatisasi air, sementara di sisi lain upaya regulasi tentang perlindungan, pengakuan masyarakat adat menemui jalan panjang yang tak kunjung dieksekusi oleh negara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menggelar diplomasi perubahan iklim dengan memuat unsur budaya (local wisdom) sebagai rujukan dalam tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan. Namun, ada sisi gelap dalam implementasinya di mana tidak semua konsep keadilan iklim dijalankan.
Kepentingan industri pembangunan sering sekali meminggirkan kelompok atau komunitas masyarakat adat dari ruang-ruang penghidupannya bahkan sering pula terjadi tindakan represif dari penegak hukum jika masyarakat adat berjuang mempertahankan warisan budayanya dalam menjaga lingkungan. Inilah mengapa komitmen pemerintah dipertanyakan kembali sejauh mana mewujudkan keadilan iklim di tengah arus pembangunan global.
Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT), di mana ada kegiatan industri skala besar yang dilakukan oleh negara dan korporasi pasti akan memicu konflik kepentingan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah seperti yang terjadi saat ini di Pulau Komodo, Pulau Sumba, dan Timor. Jika menelaah lebih jauh, peran negara justru lebih melindungi kepentingan korporasi dari pada masyarakat adat yang sudah ratusan tahun melakukan praktik baik dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu kembali memperkuat nilai kearifan lokal sebagai alat mitigasi perubahan iklim sekaligus mengimplementasikan praktik-praktik lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungan dalam kerangka kebijakan perubahan iklim. Sudah saatnya kekuatan lokal didukung penuh sebagai upaya mencegah perubahan iklim.