Defisit Guru Pendamping Khusus Hambat Pendidikan Inklusi
Jumlah guru pendamping khusus di Indonesia hanya 4.695 orang, sementara murid disabilitas 135.874 orang. Jumlah ini tidak mencukupi.
JAKARTA, KOMPAS — Defisit guru pendamping khusus menjadi masalah besar dalam mewujudkan pendidikan inklusif. Masalah ini tidak hanya terjadi pada sekolah inklusi saja, tetapi juga di sekolah luar biasa. Upaya pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas menjadi terhambat.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan per Mei 2023, jumlah guru pendamping khusus di Tanah Air 4.695 orang dan 10.244 guru reguler yang dilatih mendampingi penyandang disabilitas. Sementara Indonesia memiliki 40.165 sekolah inklusi di tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan total murid penyandang disabilitas mencapai 135.874 orang. Di sekolah luar biasa ada 2.326 sekolah yang melayani 152.756 murid.
Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif mewajibkan setiap sekolah memiliki minimal satu guru pembimbing khusus. Keterbatasan ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan sekolah inklusi.
Baca juga: Sekolah Inklusi, Menyemai Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas
Pengajar dan pelatih guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Rawinala, Mazmur Sihite, mengatakan, pengarusutamaan isu disabilitas di masyarakat perlu diperkuat agar generasi muda mau menjadi guru pendamping khusus. Caranya dengan meningkatkan kesejahteraan guru agar menarik minat orang menjadi guru, terlebih guru pendamping khusus.
”Banyak guru kami yang berpindah menjadi PNS (pegawai negeri sipil), sementara kami sudah melatihnya lama. Dia tidak salah, tetapi pemerintah harus memperhatikan penyelenggara pendidikan khusus yang swasta, bagaimana pemerintah mendukung sumber daya manusianya,” kata Mazmur saat ditemui di SLB Rawinala, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (8/11/2023).
SLB Rawinala adalah penyelenggara SLB tipe G atau khusus bagi anak-anak tunaganda berdiri tahun 1973 dan menjadi SLB-G pertama di Indonesia. Rawinala berarti cahaya hati dalam bahasa Jawa Kuno. Namun, kini pemerintah kurang perhatian kepada mereka.
Kalau dia diangkat jadi PNS, ya, tolong ditempatkan ke sini lagi, itu, kan, bentuk perhatian pemerintah kepada swasta juga, tetapi kenyataanya tidak.
Kepala SLB Rawinala Budi Prasojo meminta pemerintah menempatkan guru mereka yang diterima menjadi PNS untuk ditempatkan kembali ke Rawinala. Sebab, kemampuan mereka dalam pendidikan khusus akan disayangkan jika mengajar siswa biasa.
”Kalau dia diangkat jadi PNS, ya, tolong ditempatkan kesini lagi, itu, kan, bentuk perhatian pemerintah kepada swasta juga, tetapi kenyataanya tidak,” ujar Budi.
Direktur Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala Dwihardjo Sutarto menjelaskan, guru pendamping khusus tidak bisa diampu oleh sembarang orang. Dia harus menguasai kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, juga harus menguasai kompetensi dasar. Selain itu, yang terpenting memiliki hati dan kesabaran yang tak terhingga.
”Bagi kami, paradigma mengasihani murid itu sudah tidak ada lagi. Anak disabilitas itu jangan dipandang remeh, mereka akan bisa kalau kita ajarin dan mereka tidak perlu dikasihani,” kata Dwihardjo.
Baca juga: Gelang Pintar untuk Cegah Kekerasan pada Difabel
Setiap calon murid yang akan mendaftar ke Rawinala harus melalui proses penilaian. Proses ini dilakukan untuk mengetahui level kemampuan kognitif anak dan kebutuhan yang ia perlukan selama sekolah. Dari situ, mereka akan menentukan pola belajar yang akan diberikan kepada setiap anak. Maka, di Rawinala, satu guru maksimal mengajar lima siswa saja.
Untuk hak kesehatan, Rawinala bekerja sama dengan sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan memastikan setiap anak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Bahkan, untuk pencatatan kependudukan, para murid yang sudah berusia 17 tahun lebih dibantu untuk mendapatkan KTP.
”Gurunya dari setiap jenjang pendidikan akan berganti. Hasil asesmen dari setiap anak akan berlanjut terus, jadi potensi anak yang dibaca dari guru sebelumnya akan berkelanjutan,” kata Mazmur.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komnas Disabilitas Eka Prastama Widiyanta mengatakan, masalah defisit guru pendamping khusus ini juga disebabkan oleh nomenklatur guru pendamping khusus di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) yang belum tuntas diakui secara profesi. Ini secara langsung berhubungan dengan upaya Kemendikbudristek untuk menuntaskan.
Sekolah umum selama ini menolak menjadi sekolah inklusi dengan alasan tidak tersedia guru pendamping khusus. Sementara saat ini semua sekolah umum wajib menerima anak disabilitas. Guru pendamping khusus sekarang status dan remunerasinya masih bergantung pada kebijakan dan anggaran daerah.
”Komnas Disabilitas meminta agar Kemendikbudristek dan Kemenpan RB segera menuntaskan permasalahan guru pendamping khusus sehingga layanan pendidikan inklusif di daerah bisa berjalan optimal,” kata Eka.
Baca juga: Pemerintah Jajaki Amerika Serikat untuk Mengembangkan Sekolah Inklusi
Untuk solusi pintas mengatasi masalah ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengusulkan agar Kementerian Sosial berkolaborasi dengan Kemendikbudristek untuk mengatasi keterbatasan guru pendamping khusus ini. Sebab, Kemensos memiliki sejumlah pekerja sosial yang terbiasa mengurus penyandang disabilitas. Namun, rencana ini belum terealisasi.
Ide ini bertujuan memasukkan kurikulum yang mengajarkan dan mendampingi murid penyandang disabilitas untuk lebih mandiri dan berdaya ketika lulus pendidikan. Dia mengakui, pihaknya tidak bisa masuk sampai ke ranah pendidikan umum, tetapi Kemensos bisa membantu mendampingi anak sesuai dengan kebutuhan disabilitasnya.
”Untuk mewujudkan no one left behind (tidak ada satu pun yang tertinggal), maka yang kita bisa lakukan mungkin sekolahnya bisa dibuat jarak jauh atau kami berikan alat bantu. Ini polanya sedang kami matangkan supaya kami bisa berkoordinasi (dengan Kemendikbudristek dan Kemenag),” kata Risma di kantor Kemensos, Jakarta, Senin (18/9/2023). (Kompas.id, 18/9/2023)
Pada kesempatan terpisah, Ketua Tim Inovasi dan Transformasi Pembelajaran, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbudristek Meike Anastasia mengatakan, setiap anak memiliki hak yang sangat mendasar untuk memperoleh pendidikan. Untuk memenuhinya, setiap anak berhak untuk belajar bersama dengan teman sebayanya di sekolah yang sama, di kelas yang sama, dan dekat dengan tempat tinggal.
Berdasarkan data di Kemendikbudristek hingga Oktober 2023, ada 306.980 siswa disabilitas yang ada di sekolah. Merek belajar di SLB hingga sekolah inklusi PAUD, SMP, SMA/SMK, ataupun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
Meike mengakui, perkembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak mudah. Perlu proses perubahan paradigma berpikir dan cara pandang semua pelaku pendidikan hingga pemahaman terhadap konsep pendidikan inklusif.
Baca juga: Sekolah Inklusi Masih Tergantung Mandat
Menurut Meike, pendidikan inklusif menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Transformasi pendidikan inklusif saat ini ialah mendorong pemerintah daerah berkomitmen terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif dan memfasilitasi pembentukan unit layanan disabilitas bidang pendidikan.
Selanjutnya, memasukkan iklim inklusivitas sebagai salah satu indikator rapor pendidikan bagi pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Pemerintah daerah harus memfasilitasi satuan pendidikan, terutama satuan pendidikan yang sudah menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Fasilitasi dimaksud meliputi pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kompetensi pendidikan khusus. Selain itu, menyediakan sarana dan prasarana yang aksesibel untuk semua anak.
”Guna mendukung guru-guru di sekolah inklusi, disediakan platform Merdeka Mengajar bagi semua guru untuk belajar tentang bagaimana cara memberikan layanan pendidikan yang tepat bagi peserta didik berkebutuhan khusus,” ujar Meike.
Sementara itu, di Kota Semarang, Jawa Tengah, semua sekolah negeri diminta bersiap sebagai sekolah inklusi. Salah satu sekolah yang selama belasan tahun terakhir menerima siswa berkebutuhan khusus dan siswa reguler adalah SD Negeri Barusari 01 di Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang. Kini, ada 17 anak berkebutuhan khusus dari 235 total siswa di sekolah itu.
Baca juga: Pendidikan Inklusif Menjadi Kebutuhan Daerah dan Penyandang Disabilitas
Nicki Yuta, guru inklusi di SD Negeri Barusari 01, mengatakan, ada tiga metode khusus yang disiapkan untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Pertama, shadow teacher atau guru bayangan atau guru inklusi. Siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan siswa reguler dan guru reguler, tetapi diawasi oleh guru bayangan. Guru inklusi ini yang akan membantu guru reguler memberi pemahaman kepada siswa berkebutuhan khusus.
”Kedua, siswa dibiarkan mengikuti materi pembelajaran reguler tanpa ada guru inklusi yang mengawasi. Ini hanya bisa dilakukan pada materi pembelajaran yang sekiranya tidak sulit untuk siswa berkebutuhan khusus,” kata Nicki, Selasa (7/11/2023).
Metode ketiga ialah pull out atau menarik siswa berkebutuhan khusus ke ruangan khusus untuk belajar hanya dengan guru inklusi. Metode ini biasanya untuk pembelajaran yang dinilai sulit diterima siswa berkebutuhan khusus.