Sekolah inklusi belum diutamakan dalam sistem pendidikan nasional. Masih ada segregasi sekolah sehingga tanggung jawab pendidikan inklusif belum merata.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pendidikan nasional seharusnya diarahkan menuju pendidikan yang terintegrasi daripada segregasi. Namun, kenyataannya pendidikan inklusif sebagai wujud pendidikan terintegrasi yang menerima keragaman siswa dengan menerapkan pembelajaran terdiferensiasi dan terpersonalisasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan.
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema, di Jakarta, Senin (5/12/2022), mengatakan, sistem pendidikan nasional masih segregasi dengan adanya sekolah reguler, sekolah khusus, dan sekolah inklusi. ”Padahal di dunia, penyandang disabilitas sudah masuk reguler. Artinya, sekolah secara sadar telah menjalankan pendidikan inklusif,” kata Doni.
Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberi kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan, potensi kecerdasan, dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pembelajaran bersama dengan peserta didik umumnya. Sebab, tiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan oleh negara.
Di dunia, penyandang disabilitas sudah masuk reguler. Artinya, sekolah secara sadar telah menjalankan pendidikan inklusif.
Namun, di Indonesia sekolah inklusi wajib dan ditunjuk pemerintah daerah sehingga terpaksa menerima siswa penyandang disabilitas. Adapun sekolah reguler lainnya karena tidak ditunjuk sebagai sekolah inklusi menjadi tidak bertanggung jawab untuk menjadi inklusif. ”Sayangnya, masyarakat menganggap ini benar,” tuturnya.
Menurut Doni, sekolah inklusi masih terbatas hanya untuk yang diberi mandat. Akibatnya, sekolah lain tak membuka diri untuk penyandang disabilitas di sekitar lingkungan sekolah karena tidak mendapat mandat. Padahal, dorongan untuk menuju sekolah inklusi secara masif dan menjadi kesadaran sekolah bisa dilakukan dengan memasukkan poin akreditasi.
Dengan demikian, sekolah menjadi terbuka untuk menjadi sekolah inklusi sehingga pendidikan lebih manusiawi. ”Separasi dan segregasi bagi penyandang disabilitas dalam layanan pendidikan adalah pilihan terakhir dan ini butuh lembaga asesmen,” kata Doni.
Dari data pokok pendidikan (dapodik) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2021, terdata baru sekitar 12 persen sekolah inklusi. Di jenjang sekolah dasar (SD), ada 17.134 sekolah dengan jumlah 57.155 siswa. Sejauh ini sekolah inklusi baru dilaksanakan di 511 kabupaten/kota.
Ragam disabilitas siswa terdiri dari penglihatan, pendengaran, motorik halus, motorik kasar, berbicara, intelektual, kesulitan belajar spesifik, perhatian atau perilaku, dan emosi. Pertumbuhan partisipasi siswa penyandang disabilitas di sekolah tahun 2024 ditargetkan mencapai 49 persen.
Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan serta satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.
Berdasarkan ”Catatan Kebijakan Pendidikan Inklusif-Ringkasan Temuan Awal dari Bank Dunia” yang ditulis Sony Herdiana, Anna Hata, Joko Yuwono Ruwiyati Purwana, dan Shinsaku Nomura, hampir 30 persen anak dengan disabilitas tidak memiliki akses pendidikan.
Di antara mereka yang mengakses pendidikan, proporsi anak perempuan disabilitas lebih rendah daripada anak laki-laki, yaitu 39 persen dari semua anak-anak disabilitas mengenyam pendidikan di sekolah. Korelasi negatif antara peserta didik disabilitas dan tingkat kehadiran di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kondisi disabilitas mengurangi tingkat kehadiran di sekolah sebesar 61 persen untuk anak laki-laki dan 59 persen untuk anak perempuan. Rata-rata lama sekolah di kalangan anak-anak disabilitas hanya 4,7 tahun, sedangkan rata-rata nasional 8,8 tahun.
Tingkat penyelesaian sekolah dasar adalah 54 persen untuk anak-anak disabilitas, dibandingkan dengan 95 persen untuk anak-anak disabilitas berkebutuhan khusus. Kesenjangan ini lebih besar di tingkat sekolah menengah, menunjukkan anak-anak disabilitas menghadapi banyak hambatan saat tingkat pendidikannya semakin tinggi.
Belum diutamakan
Bank Dunia menemukan, meski Indonesia membuat kemajuan dalam membangun kerangka kebijakan pendidikan inklusif, implementasi kebijakan jadi tantangan berat karena menghadapi berbagai masalah. Pendidikan inklusif belum diutamakan dalam sistem pendidikan karena tanggung jawab tak selaras dalam penyampaian layanan, penganggaran, dan kapasitas administratif terbatas untuk menerapkan kebijakan.
Pendidikan inklusif membutuhkan banyak sumber daya untuk menyediakan pelatihan guru dan staf tambahan, peningkatan kapasitas administrasi, peningkatan anggaran, dan data berkualitas tentang anak berkebutuhan khusus. Koordinasi lintas sektor yang lebih baik juga penting untuk mengatasi masalah ini.
Kesenjangan implementasi muncul dari pembagian kerja. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan kebijakan dan peraturan, sedangkan pelaksanaannya jadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda). Pemerintah daerah bertanggung jawab membuat peraturan daerah, menetapkan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, menyelenggarakan pelatihan bagi guru di sekolah, membangun infrastruktur, dan membiayai program pendidikan inklusif.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif terkonsentrasi di pemerintah daerah yang memiliki kapasitas pelaksanaan dan pendanaan relatif kuat dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Di banyak pemda, tidak ada jaminan bahwa kabupaten/kota memiliki satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Berdasarkan data Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek, ada 60 kabupaten/kota tidak memiliki sekolah luar biasa. Hal ini akan memengaruhi akses pendidikan dan jaminan kualitas pengajaran dan pembelajaran anak berkebutuhan khusus.
Pengembangan guru, kurikulum, dan pedagogi belum dikembangkan sesuai kebijakan pendidikan inklusif. Kurikulum tidak cukup mengakomodasi berbagai keperluan anak berkebutuhan khusus. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang apa yang diharapkan dan kepercayaan diri guru telah menyebabkan keengganan mereka mengajar di kelas inklusif.
Suasana kelas IX di sekolah inklusi SMP Negeri 259 Jakarta Timur, Senin (3/12/2018).
Jumlah total sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak mencukupi dan tidak merata di setiap pemda meski ada aturan mewajibkan setidaknya satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk tiap tingkat di setiap yurisdiksi. Banyak sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang tak memiliki fasilitas untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Kurangnya pelatihan bagi guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dari segi kuantitas maupun kualitas, menjadi tantangan utama. Kualitas pelatihan juga penting lantaran banyak guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak percaya diri untuk mengajar anak berkebutuhan khusus, bahkan setelah menerima pelatihan.