Pencegahan Perundungan di Sekolah Belum Efektif
Pencegahan perundungan di sekolah harus diperkuat. Perundungan bisa berdampak buruk kepada anak. Pembuatan regulasi saja tidak cukup.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus perundungan siswa di satuan pendidikan terus berulang. Berbagai upaya pencegahan yang telah dilakukan dinilai belum efektif. Sekolah didorong membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan.
Perundungan atau bullying merupakan satu dari tiga ”dosa besar” pendidikan, selain intoleransi dan kekerasan seksual. Tak jarang perundungan menyebabkan dampak yang serius terhadap korban.
Di sekolah dasar negeri di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, pada Februari 2023, seorang siswa dijegal oleh temannya sehingga mengalami cedera dan luka dalam. Tindakan itu diduga membuat kaki korban harus diamputasi. Dalam kasus itu muncul juga informasi korban memiliki kanker tulang.
Sekolah belum sepenuhnya memberikan rasa aman secara fisik ataupun psikologis, seperti tidak adanya perundungan, hukuman fisik, kekerasan seksual, narkoba, merokok, dan minuman keras.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan mengatakan, kasus perundungan siswa di sekolah layaknya fenomena gunung es. Artinya, kasus yang muncul ke publik atau dilaporkan lebih sedikit daripada kasus yang sebenarnya terjadi.
”Upaya pencegahan perundungan di sekolah selama ini masih belum efektif. Terbukti sampai saat ini berita-berita terkait kasus perundungan di lingkungan pendidikan masih muncul di berbagai media,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (6/11/2023).
Belum efektifnya pencegahan perundungan di sekolah dapat dilihat dari sejumlah data. Hasil Program for International Student Assessment (PISA) dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) 2018, misalnya, menunjukkan 41,1 persen siswa di Indonesia mengaku pernah menjadi korban perundungan. Hasil itu menempatkan Indonesia di posisi kelima tertinggi dari 78 negara.
Baca Juga: Dulu Dirundung, Sekarang Membendung
Berdasarkan Rapor Pendidikan 2023 yang memuat hasil Asesmen Nasional 2022, iklim keamanan sekolah pada jenjang SMP sederajat turun 2,96 poin dari tahun sebelumnya. Sementara pada jenjang SMA sederajat turun 5,09 poin.
”Hasil tersebut menunjukkan jika sekolah belum sepenuhnya memberikan rasa aman secara fisik ataupun psikologis, seperti tidak adanya perundungan, hukuman fisik, kekerasan seksual, narkoba, merokok, dan minuman keras,” ucapnya.
Sekolah yang marak kasus kekerasan akan mengganggu dan menghambat proses pembelajaran.
Pencegahan perundungan di sekolah harus diperkuat. Sebab, hal ini bisa berdampak buruk terhadap pertumbuhan anak, mulai dari menurunnya kepercayaan diri, susah berkonsentrasi dalam belajar, sulit bergaul, penuh kecemasan, depresi, hingga menyebabkan bunuh diri.
Perundungan juga mengancam masa depan kualitas dan moralitas pendidikan. Sekolah yang marak kasus kekerasan akan mengganggu dan menghambat proses pembelajaran.
”Moralitas pendidikan pun akan tercoreng dan terdegradasi. Pendidikan yang semestinya menumbuhkan karakter, nilai, dan moral justru tercoreng oleh perilaku-perilaku tidak terpuji seperti perundungan,” tuturnya.
Regulasi tidak cukup
Indonesia telah memiliki Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Cecep mengatakan, peraturan itu harus diapresiasi sebagai upaya penguatan regulasi.
Akan tetapi, instrumen hukum saja tidak cukup. Perlu dilihat sejauh mana efektivitas penerapan regulasi tersebut, termasuk penegakan hukumnya. Jangan sampai peraturan itu hanya menjadi dokumen di atas kertas.
”Bahkan, penting bagi Kemendikbudristek untuk membuat grand design pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Apalagi, Kemendikbudristek sendiri telah berkomitmen untuk memberantas tiga dosa besar pendidikan yang di dalamnya termasuk perundungan,” ujarnya.
Sejak diluncurkan pada Agustus lalu, Permendikbudristek PPKSP telah mendorong sekolah-sekolah di Indonesia untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Semua sekolah ditargetkan sudah membentuk TPPK pada Februari 2024, tepat enam bulan setelah regulasi itu diluncurkan.
Praktik baik
Dalam International Symposium on ”Violence in Schools: Knowledge, Policies, and Practices” yang diselenggarakan oleh Conseil Superieur de I’Education, de la Formation et de la Recherche Scientifique (CSEFRS) di Maroko, 1–2 November 2023, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami membagikan praktik baik yang dilakukan Indonesia terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Baca Juga: Perundungan Tak Bisa Ditoleransi
”Kami berkomitmen untuk mengurangi segala bentuk kekerasan, meliputi upaya mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak,” ujarnya melalui siaran pers Kemendikbudristek.
Salah satu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah adalah melalui program Roots. Program ini bekerja sama dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) untuk mencegah perundungan di sekolah lewat pembentukan agen-agen perubahan yang kini berjumlah 66.901 siswa agen perubahan.
“Selain program Roots, kami juga melakukan kampanye secara masif melalui berbagai platform media sosial, seperti Youtube, Instagram, Facebook, TikTok, dan podcast. Tak dimungkiri, di era digitalisasi seperti sekarang, hal itu sangat efektif kita lakukan untuk bisa menyebarluaskan pesan-pesan antikekerasan, termasuk di lingkungan sekolah ataupun dunia pendidikan,” katanya.