Perundungan bisa berdampak sangat serius dan berbahaya bagi korbannya. Karena itu, perundungan tak bisa ditoleransi.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Perundungan adalah penindasan atau kekerasan yang dilakukan untuk menyakiti atau membuat orang lain tidak nyaman, dan dilakukan secara berulang.
Dalam sejumlah studi disebutkan selalu ada relasi kuasa tak seimbang antara pelaku perundungan dan korbannya. Melalui perbuatannya, pelaku ingin mengontrol/mendominasi dalam relasi sosial. Ini bisa terjadi karena tak ada rasa tanggung jawab atas perbuatannya dan minus empati kepada orang lain.
Perundungan bisa berdampak sangat serius dan berbahaya bagi kesehatan fisik ataupun mental korbannya. Beberapa kali media memberitakan kasus siswa bunuh diri, diduga korban perundungan. Laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2020 juga menyebutkan, anak korban perundungan dua kali lebih besar kemungkinannya melakukan percobaan bunuh diri.
Baru-baru ini, korban perundungan di Kota Bekasi, Jawa Barat, mengalami robek otot ligamen. Korban perundungan di Kabupaten Bekasi harus diamputasi kakinya (Kompas, 3/11/2023). Banyak lagi perundungan yang berdampak sangat serius terhadap kesehatan korban yang menjadi pemberitaan di media massa, bahkan viral di media sosial.
Dengan banyaknya kasus perundungan, terutama di sekolah—Rapor Pendidikan 2022 menunjukkan sekitar 25 persen siswa di Indonesia mengalami perundungan—adalah indikator Indonesia darurat perundungan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebut perundungan sebagai salah satu dosa besar pendidikan. Perundungan tak bisa ditoleransi, dan harus dicegah.
Namun, perundungan terus terjadi, bahkan cenderung meningkat. Ini menunjukkan, upaya pencegahan masih jauh dari harapan. Salah satu kendalanya adalah kurangnya kesadaran tentang apa yang disebut perundungan berikut dampaknya. Anggapan kasus perundungan di Bekasi baru-baru ini, adalah candaan berbahaya anak-anak, merupakan satu bukti, secara umum masyarakat, bahkan pemangku kepentingan terkait, masih melihat perundungan sebagai hal biasa.
Hal itu bisa menjurus pada situasi pembiaran. Alih-alih melakukan upaya serius mencegah perundungan, yang terjadi justru langgengnya anggapan bahwa perundungan adalah perilaku yang bisa diterima secara sosial. Upaya meningkatkan kesadaran akan bahaya perundungan melalui Hari Internasional Menentang Kekerasan dan Perundungan di Sekolah, setiap hari Kamis pertama November, tahun ini jatuh pada 2 November, sepi perhatian. Peringatan itu dideklarasikan negara anggota UNESCO, termasuk Indonesia, pada 2019.
Membangun kesadaran akan bahaya perundungan menjadi kebutuhan utama untuk pencegahan. Langkah ini dimulai dari keluarga, melalui pola asuh yang baik agar terbangun tanggung jawab, empati, dan kontrol diri pada anak. Di sekolah melalui kebijakan antiperundungan dalam bentuk komunikasi nan efektif antara guru dan murid, diskusi, ceramah, atau suasana lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Anak-anak juga diajak mencegah perundungan di sekitar mereka.