Misteri Penyebab Tewasnya Siswa SDN 06 Petukangan Utara
”Bullying” atau perundungan membuat sedih berkelanjutan, depresi, dan merasa tidak pantas hidup lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Kematian SR (13), siswi Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, menyisakan sederet tanya. Salah satunya dugaan keluarga bahwa SR menjadi korban bullying atau perundungan.
Selasa (26/9/2023) pagi, menjadi hari pilu bagi keluarga dan warga Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. SR, siswi kelas 6, kehilangan nyawa setelah jatuh dari lantai empat sekolahnya.
Sepekan setelah insiden itu, Polres Jakarta Selatan yang menangani kasus ini memeriksa 12 saksi. Mereka meliputi 6 siswa dan 3 pegawai SD Negeri 6 Petukangan Utara, serta 3 siswa SD Negeri 7 Petukangan Utara.
Wakil Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Henrikus Yossi menyebut, motif kematian SR masih ditelusuri. Dalam waktu dekat penyidik akan meminta keterangan keluarga korban.
”Keluarga korban meminta waktu, tetapi secepatnya akan diperiksa untuk mendapatkan informasi yang cukup signifikan. Informasi yang banyak membantu dalam proses penyidikan perkara ini,” katanya, Selasa (3/10/2023).
SR jatuh dari lantai empat sekolahnya pukul 07.45. Pada hari itu, berdasarkan jadwal kegiatan sekolah, tengah berlangsung kegiatan pembiasaan untuk penampilan drama atau teatrikal. Kegiatan pembiasaan dimulai pukul 06.30. Masing-masing siswa berbaris sesuai dengan kelasnya. Begitu juga dengan SR dan teman sekelasnya.
Baca juga: Kisah Tragis Anak Periang di SDN 06 Petukangan yang Diduga Bunuh Diri
Yossi menuturkan sempat terjadi dorong-mendorong di antara teman sekelas saat berbaris. Kejadian itu dilaporkan kepada wali kelas sehingga SR dan salah satu temannya dinasehati.
”Mereka bersalaman. SR lalu ke kamar mandi dan tidak kembali ke kelas. Setelah itu dapat kabar dari guru di kelas sebelah bahwa SR ditemukan sudah berada di lantai dasar,” tuturnya.
Penyidik masih menelusuri informasi ini. Dari hasil pemeriksaan sementara, diketahui dorong-dorongan terjadi secara spontan, tidak selalu atau tidak sering terjadi di antara teman sekelas.
Bahaya perundungan
Anna Surti Ariani, psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, melihat fenomena kasus bunuh diri anak dan remaja sejatinya lumayan banyak. Akan tetapi, di Indonesia agak sulit dipelajari karena biasanya data ditutupi.
Perundungan bisa memicu bunuh diri pada anak dan remaja. Hal itu bisa terjadi karena korban perundungan mengalami kondisi psikis yang buruk, seperti sedih berkelanjutan, depresi, merasa dirinya buruk, ingin menjauh dari teman atau merasa tidak ada yang mau berteman dengannya, dan merasa tidak pantas hidup lagi.
Hal tersebut berbeda dengan di Amerika yang dipelajari betul. Tujuannya untuk dapat mencegah kasus berikutnya terjadi.
”Ada kondisi yang disebut faktor risiko, yaitu hal yang membuat anak lebih berisiko bunuh diri. Faktor risiko terbesar adalah kondisi kejiwaan anak, terutama apabila anak mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) dan pengabaian atau kekerasan saat diasuh orangtuanya,” tuturnya.
ADHD membuat anak cenderung lebih impulsif dan tak berpikir panjang. Sama halnya jika anak mengalami depresi. Sementara faktor risiko lainnya adalah perceraian orangtua, perebutan hak asuh, dan orangtua mengalami penyalahgunaan obat. Faktor lain, ada kejadian serupa keluarga bunuh diri atau mengalami gangguan jiwa berat, terutama jika anak mengalami beberapa faktor risiko sekaligus.
Perundungan, menurut Anna, bisa memicu bunuh diri pada anak dan remaja. Hal itu bisa terjadi karena korban perundungan mengalami kondisi psikis yang buruk, seperti sedih berkelanjutan, depresi, merasa dirinya buruk, ingin menjauh dari teman atau merasa tidak ada yang mau berteman dengannya, dan merasa tidak pantas hidup lagi.
Baca juga: Pemulihan Trauma Dimulai, Dugaan Perundungan SR di SDN 06 Petukangan Ditelusuri
Seharusnya menurut Anna, sekolah dan orangtua punya mekanisme mitigasi, mulai dari mengidentifikasi risiko bunuh diri sampai langkah pencegahan. Jika sampai ada kejadian, perlu ada prosedur standar operasional untuk penanganan awal.
”Namun, memang kasus bunuh diri masih ditutupi, dianggap aib, sehingga orang tak mau membicarakannya. Akhirnya, banyak orang tak paham bagaimana cara mengidentifikasi risikonya, dan tentunya jadi tak melakukan langkah pencegahan apa pun,” katanya.
Sementara untuk perundungan, Anna meminta perlu ditingkatkan pengawasan sekolah dan orangtua, serta kerja sama antarsiswa agar risiko bisa lebih ditekan. Mengapa? Anak juga perlu diberdayakan agar tidak menjadi penonton karena penonton perundungan juga mengalami risiko besar. Sebaliknya diberdayakan bisa membuat bersama-sama jadi penyelamat bagi korban.
Anna mencontohkan langkah pencegahan bunuh diri yang sebetulnya harus dilakukan oleh sekolah. Salah satunya dengan adanya penutup yang cukup tinggi, pinggiran tangga lebih tinggi atau ada terali agar jendela dan area pinggiran, seperti balkon atau lorong, tidak terbuka bebas.
Jika tidak ada penutup, di bagian bawahnya perlu dipasang jaring atau bantal sehingga kalau ada yang terjatuh atau menjatuhkan diri akan tetap aman. Bentuk seperti ini ada di Blok M Square.
Selain itu, sejak dini harus menciptakan lingkungan yang saling menghormati satu sama lain. Jadi anak terbiasa menghormati dan dihormati oleh orang lain.
Anak juga perlu memahami apa itu perundungan, seperti apa perilaku yang disebut perundungan, dan perundungan itu tidak boleh dilakukan. Jadi anak akan lebih sensitif pada perilaku semacam itu dan bisa menghindarinya.
”Anak juga perlu diajari cara menyetop perilaku perundungan, misalnya dengan berkata setop secara tegas, atau melaporkan kepada orang dewasa yang berwenang,” ujarnya.
Untuk mewujudkannya perlu banyak kegiatan kerja sama antaranak. Bisa dalam bentuk kerja kelompok di sekolah, main bersama, dan lainnya. Semua kegiatan tersebut diusahakan menyenangkan bagi anak.