Dulu Dirundung, Sekarang Membendung
Sering kali kasus perundungan bermula dari candaan. Namun, candaan itu berubah menjadi olok-olokan dan tak jarang berakhir dengan kekerasan.
Meski perang terhadap perundungan terus digaungkan, korban perundungan di institusi pendidikan masih terus berjatuhan. Alarm maraknya kasus kekerasan di sekolah pun berdering kencang. Tak ingin hanya mengutuk keadaan, sejumlah siswa yang dulu menjadi korban kini bergerak membendung perundungan.
Bel yang menandakan jam istirahat sekolah baru saja berbunyi di SD Negeri Tenggulunan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (4/10/2023). Para siswa berhamburan ke luar kelas untuk bermain bersama.
Enam siswa yang mengenakan rompi berwarna hijau gelap menyebar ke sejumlah lokasi untuk mengamati aktivitas siswa. Keenam siswa itu adalah Muhammad Reza (12), Nadia Aira (11), Dzakwan Ahmad (12), Farhan Wijaya (12), Adelia Nur Rahma (12), dan Nabila (12). Peserta didik kelas enam tersebut tergabung dalam Tim Satgas Antibullying SDN Tenggulunan yang bertugas mendeteksi tindakan perundungan di sekolah, seperti mengolok, mengejek nama orangtua dengan kata-kata kasar, dan mengancam.
Sudah hampir setahun mereka bertugas. Berbagai praktik perundungan pernah mereka temukan, mulai dari mengolok pekerjaan orangtua dengan kata-kata kasar, mencemooh, hingga tindakan kekerasan fisik.
”Biasanya kami akan mencatat nama siswa yang melakukan perundungan. Setelah itu, menegurnya agar tidak mem-bully lagi. Tapi, kalau dia melawan, kami lapor kepada guru koordinator satgas,” ujar Reza.
Reza mengatakan, sering kali kasus perundungan bermula dari candaan. Namun, candaan itu berubah menjadi olok-olokan dan tak jarang berakhir dengan kekerasan.
Dalam beberapa kasus, siswa tidak berani melaporkan perundungan kepada guru. Sebab, mereka diancam oleh pelaku akan mendapat tindakan kekerasan di luar sekolah.
Reza juga pernah menjadi korban perundungan. Saat masih duduk di kelas V, ia disuruh oleh kakak kelasnya untuk membelikan jajan. Namun, karena tidak mau menurutinya, ia diancam akan dipukul.
Baca juga: Libatkan Siswa untuk Cegah Perundungan di Sekolah
”Waktu itu saya memilih lari. Soalnya, kakak kelas yang menyuruh saya tersebut berbadan besar. Jadi, saya tidak berani melawan,” katanya.
Salah satu perundungan yang sering terjadi adalah mengejek nama atau pekerjaan orangtua dengan kata-kata kasar. Reza pun pernah mengalami perundungan itu.
Beberapa kakak kelasnya mengejek pekerjaan orangtuanya sebagai tukang las. ”Saya bilang kepada mereka untuk berhenti, tetapi mereka terus mengejeknya. Saya mau menangis waktu itu,” ucapnya.
Sudah hampir setahun mereka bertugas. Berbagai praktik perundungan pernah mereka temukan, mulai dari mengolok pekerjaan orangtua dengan kata-kata kasar, mencemooh, hingga tindakan kekerasan fisik.
Pengalaman pahit itu masih membekas dalam ingatannya. Reza tak ingin kejadian serupa menimpa siswa-siswa lainnya. Oleh karena itu, ia sangat antusias bergabung dengan tim satgas antibullying.
”Saya tahu sakitnya di-bully. Jadi, saya enggak mau ini terus terjadi. Tapi, terkadang ada siswa yang tidak terima ditegur dan mengajak berantem,” ucapnya.
Pengalaman buruk menjadi korban perundungan juga dialami Nadia. Bahkan, saat di kelas V, ia menangis karena beberapa temannya mengejek nama orangtuanya.
Ia menangis karena tidak tahu harus berbuat apa. ”Kalau sekarang, siswa bisa melapor ke satgas antibullying. Kalau dibiarkan, nanti semakin banyak siswa yang jadi korban,” ujarnya.
Guru SDN Tenggulunan yang juga Koordinator Satgas Antibullying di sekolah itu, Fidi Handoko, menuturkan, satgas tersebut dibentuk pada Februari 2023. Sekolah memutuskan membentuk satgas karena mendengar sejumlah siswa sering mengejek siswa lainnya. Selain itu, beberapa orangtua melaporkan kasus perundungan yang dialami anaknya.
”Dengan membentuk satgas, bibit-bibit perundungan bisa dideteksi lebih awal. Jadi, bisa dicegah agar tidak sampai menjadi tindakan kekerasan,” ucapnya.
Pendidikan karakter
SDN Tenggulunan menjadi salah satu sekolah di Sidoarjo yang bermitra dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi), termasuk dalam memperkuat pendidikan karakter. Inovasi merupakan program kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Utara.
Berjarak sekitar 2,5 kilometer dari SDN Tenggulunan, Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) KH Mukmin, Sidoarjo, juga gencar mengampanyekan antiperundungan. Sejumlah poster berisi pesan mencegah perundungan dipasang di beberapa titik.
Salah satu poster bertuliskan ”Jika aku diejek, hatiku terasa sakit. Jadi, aku tidak mengejek orang lain”. Ada juga poster berbunyi ”Mari berteman dengan asyik tanpa mengusik”.
Tak hanya lewat poster, nilai-nilai antiperundungan pun ditanamkan kepada siswa dalam pembelajaran. Di kelas VI MINU KH Mukmin, misalnya, peserta didik diingatkan untuk tidak menertawakan siswa yang melakukan kesalahan atau tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru.
”Kami mendidik siswa untuk menghargai teman. Tidak perlu menertawakan, apalagi mengejek temannya yang tidak bisa menjawab pertanyaan,” ujar Lizamatul Fitriyah, guru kelas VI.
Baca juga: Jangan Abaikan Pendidikan Karakter
Mendeteksi bibit-bibit perundungan menjadi krusial karena bisa berujung pada tindak kekerasan fisik dan psikologis. Oleh karena itu, hal ini tidak boleh diabaikan. Apalagi perundungan merupakan satu dari tiga ”dosa besar” pendidikan, selain intoleransi dan kekerasan seksual.
Selama Januari-September 2023, berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi 10 kasus bunuh diri anak, meningkat 10 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (Kompas.id, 28/9/2023). Lebih memprihatinkan, 60 persen merupakan korban perundungan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo Tirto Adi (kiri) bersama Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo mengunjungi Sekolah Dasar Negeri Tenggulunan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (4/10/2023).
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo mengatakan, perundungan di sekolah harus dicegah. Komitmen sekolah untuk membudayakan antiperundungan dan antikekerasan sangat penting demi meningkatkan iklim keamanan sekolah.
”Kalau sekolahnya enggak aman, anak-anak merasa terancam di sekolah, bagaimana siswa bisa belajar dengan nyaman?” katanya.
Menurut Anindito, dengan keterlibatan siswa dalam satgas, nilai-nilai antiperundungan menjadi lebih mudah terinternalisasi. Sebab, siswa mengalaminya secara langsung sehingga diharapkan membentuk karakter antikekerasan.
Mencuatnya kasus perundungan siswa dalam beberapa waktu terakhir mengingatkan betapa rentannya keamanan sekolah. Tanpa komitmen kuat dan langkah konkret untuk mencegahnya, perundungan di sekolah akan menjadi bola salju yang terus bergulir dan membesar sehingga berpotensi menelan lebih banyak korban.