Para calon pemilih, terutama anak muda, dituntut memilih pemimpin yang memiliki keberpihakan nyata terhadap lingkungan hidup.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Tanpa mengurangi emisi karbon dioksida dengan segera, dunia hanya memiliki peluang 50 persen untuk menahan peningkatan suhu 1,5 derajat celsius sebelum tahun 2030 dan itu berarti dampak krisis iklim semakin sulit diatasi. Dengan kekacauan iklim yang menghebat, impian Indonesia Emas 2045 bakal sulit diwujudkan.
Studi terbaru yang dipublikasikan di Nature Climate Change pada Senin (30/10/2023) menyimpulkan, jendela waktu untuk menahan peningkatan suhu 1,5 derajat celsius menyempit. Kesimpulan tersebut disampaikan Robin D Lamboll dari Imperial College London yang memimpin analisis mengenai anggaran karbon global (global carbon budget).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggaran karbon adalah perkiraan jumlah emisi yang dapat dikeluarkan sekaligus menjaga pemanasan global di bawah batas suhu tertentu. Perjanjian Paris bertujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri dan berupaya membatasi hingga 1,5 derajat celsius.
Studi baru ini memperkirakan bahwa dengan peluang 50 persen untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celsius, terdapat kurang dari 250 metrik gigaton karbon dioksida yang tersisa dalam anggaran karbon global. Ini berarti, jika emisi karbon dioksida tetap pada tingkat di tahun 2022, yaitu sekitar 40 metrik gigaton per tahun, anggaran karbon akan habis pada sekitar tahun 2029. Pada tahun itu, dunia diprediksi bakal mengalami pemanasan sebesar 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
Saat ini, dengan penambahan suhu mencapai 1,2 derajat celsius dibandingkan dengan pra-industri, kita sudah mengalami pendidihan global yang memicu kematian hingga krisis pangan. Sejumlah wilayah dilanda gelombang panas. Sebagian lainnya terdampak banjir atau mengalami kedua kondisi ekstrem tersebut secara berturut-turut.
Indonesia ke depan membutuhkan pemimpin yang harus menjadikan isu lingkungan sebagai fokus utama.
Tim ilmuwan, dipimpin ahli biologi William J Ripple dari Oregon State University dalam laporan kondisi iklim terbaru menyimpulkan, ”Dunia telah memasuki zona yang belum dipetakan.” Laporan yang diterbitkan di jurnal BioScience pada 24 Oktober 2023 ini memperingatkan, kehidupan di planet telah berada dalam bahaya karena dari 35 ”tanda-tanda vital” planet, 20 di antaranya berada pada rekor ekstrem tahun ini.
Studi Ripple ini menggarisbawahi cuaca ekstrem saat ini bukanlah peristiwa lingkungan yang terisolasi, tetapi telah menjadi ancaman sistemik. Kondisi lebih panas dan iklim lebih ekstrem bakal menanti pada tahun-tahun mendatang.
Peran politisi
Berbagai laporan terbaru ini menggarisbawahi bahwa menunda tindakan untuk mengerem laju emisi jelas hanya akan meningkatkan biaya dan menambah bencana. Namun, fakta menunjukkan, dunia tidak menunjukkan kemajuan berarti dalam menekan laju emisi sehingga memicu ketidakpastian iklim.
Studi Joeri Rogelj dan tim di jurnal Nature (2013) menyebutkan, politik menjadi faktor terbesar dari empat penyebab ketidakpastian iklim. Empat sumber ketidakpastian utama dalam membatasi kenaikan suhu rata-rata global ialah ketidakpastian politik mengenai kapan kebijakan iklim global yang terkoordinasi dapat dicapai; ketidakpastian ilmiah mengenai seberapa besar pemanasan Bumi akibat emisi; ketidakpastian sosial mengenai permintaan energi di masa depan; dan ketidakpastian teknologi terkait ketersediaan teknologi pengurangan emisi. ”Tindakan cepat yang dilakukan para pemimpin politik menjadi faktor terpenting dalam membatasi pemanasan global itu,” kata Rogelj.
Sebagai salah satu pengemisi utama sekaligus memiliki banyak populasi yang rentan terdampak krisis iklim, Indonesia ke depan membutuhkan pemimpin yang harus menjadikan isu lingkungan sebagai fokus utama. Kegagalan mengatasi persoalan lingkungan dan iklim ini bakal menggagalkan upaya memenuhi target pembangunan berkelanjutan dan berkadilan apalagi mencapai Indonesia Emas 2045.
Laporan Timothy M Lenton dari Global Systems Institute, University of Exeter, Inggris, dan tim di jurnal Nature Sustainability pada Senin (22/5/2023) menyebutkan, Indonesia menjadi negara peringkat ketiga di dunia yang jumlah populasinya paling banyak berpotensi terdampak kenaikan suhu. Lebih dari 100 juta penduduk di Indonesia berisiko tinggi jika kenaikan suhu mencapai 2,7 derajat celsius di akhir abad ini.
Meski demikian, tim Data & Democracy Research Hub Monash University Indonesia, yang menganalisis visi dan misi pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024 menemukan minimnya perspektif lingkungan dari para kandidat. Dengan menggunakan empat kata kunci ”lingkungan”, ”iklim”, ”ekologi”, dan ”energi”, dokumen visi-misi ketiga pasang capres hanya memuat sekitar 1 persen kata-kata yang terafiliasi dengan kebijakan perubahan iklim dan lingkungan.
Mengingat tantangan iklim ke depan yang lebih berat, kita tentu berharap para kandidat lebih progresif lagi dibandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya yang cenderung meminggirkan aspek lingkungan dan keadilan sosial ketimbang investasi. Padahal, salah dua dari delapan misi Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin adalah ”mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan” serta ”perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga”.
Ironisnya, sebagian investasi itu mengatasnamakan pembangunan hijau, seperti penambangan dan hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik, yang memicu banyak masalah lingkungan dan sosial di pulau-pulau kecil Wallacea. Terbaru, sengketa juga terjadi dalam pembangunan Rempang Eco City. Proyek Strategis Nasional (PSN) bakal dibangun di lahan seluas 7.572 hektar atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang dengan menggusur ribuan warga lokal.
Jika dibaca dengan kritis berdasarkan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2022 tentang adaptasi iklim, hal ini merupakan contoh maladaptation, yaitu ”tindakan yang menyebabkan peningkatan risiko yang merugikan terkait iklim, termasuk melalui peningkatan emisi gas rumah kaca, peningkatan kerentanan terhadap perubahan iklim, atau penurunan kesejahteraan masyarakat, saat ini atau di masa depan.”
Sekalipun tidak mudah, para calon pemilih, terutama anak muda yang bakal menanggung dampak terbesar dari krisis iklim, dituntut memilih pemimpin yang memiliki keberpihakan nyata terhadap lingkungan hidup. Lebih dari itu, setelah memilih, kita harus kembali menjadi pengawal yang kritis terhadap siapa pun yang nanti terpilih, bukan menjadi pemandu sorak dan taklid buta kepada para pemimpin yang bisa jadi hanya populis.