Pasangan Capres-Cawapres Didesak Deklarasikan Komitmen Kuat Penanganan Krisis Iklim
Generasi muda dapat mendesak pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk segera mendeklarasikan komitmen yang kuat dalam menangani krisis iklim apabila terpilih menjadi pemimpin Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda menjadi salah satu kelompok dengan ceruk suara terbesar dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Generasi muda dapat mendesak pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk segera mendeklarasikan komitmen yang kuat dalam menangani krisis iklim apabila terpilih menjadi pemimpin Indonesia.
Pengampanye krisis iklim dari 350.org, Ginanjar Aryasuta, menyampaikan, perubahan iklim telah menyebabkan krisis multidimensi mulai dari sektor lingkungan, kesehatan, hingga ekonomi. Krisis iklim ini salah satunya disebabkan pelepasan emisi dari bahan bakar fosil dan kegiatan industri ekstraktif atau eksploitatif lainnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Namun, perusahaan batubara di Indonesia setiap tahun mencetak rekor laba dari kegiatan eksploitatif mereka. Padahal, Indonesia sudah memiliki solusi dari energi terbarukan dengan potensi mencapai 3.600 gigawatt,” ujarnya dalam diskusi media terkait gerakan orang muda menagih komitmen calon presiden di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Saat ini generasi muda sedang memegang kekuatan demokrasi sehingga kitalah yang harus menyetir narasi.
Salah satu inisiasi yang dilakukan oleh generasi muda untuk mengatasi krisis iklim dan mempercepat transisi energi ialah melalui gerakan Power Up. Gerakan revolusi energi terbarukan global ini mengajak semua orang di seluruh dunia untuk bersama-sama menyampaikan kemarahannya atas dampak yang ditimbulkan perusahaan energi fosil.
Upaya lain yang bisa dilakukan generasi muda adalah memanfaatkan populasinya dalam kontestasi Pemilu 2024. Dalam Pemilu 2024, tercatat 56 persen pemilih berasal dari generasi Z dan milenal. Di sisi lain, banyak studi menyebut 76 persen dari generasi Z dan milenial merasa terancam masa depannya akibat krisis iklim.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada Juni 2022, enam dari sepuluh anak muda (berusia maksimal 39 tahun) sangat khawatir terhadap perubahan iklim. Kemudian, 77,3 persen responden kelompok usia muda juga meyakini dan percaya telah terjadi krisis iklim.
”Saat ini generasi muda sedang memegang kekuatan demokrasi sehingga kitalah yang harus menyetir narasi. Calon presiden harus melihat perspektif atau kepentingan anak muda yang rentan terhadap dampak krisis iklim sampai ke cucunya,” tutur Ginanjar.
Oleh karena itu, generasi muda sebagai salah satu ceruk suara terbesar dapat mendesak pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk mendeklarasikan komitmen kuat dalam penanganan krisis iklim. Di sisi lain, setiap pasangan juga perlu mempercepat transisi energi berkeadilan untuk menekan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius.
Selain itu, generasi muda menuntut agar semua pasangan capres-cawapres terbebas dari hubungan dengan pihak di sektor industri kotor. Hal ini dapat ditunjukkan pasangan capres-caawapres dengan tidak menerima dana kampanye dan tidak memiliki pengurus tim pemenangan dari pelaku industri batubara, minyak bumi, dan gas.
”Seluruh tuntutan ini penting karena secara historis belum pernah ada satu pun calon dalam pemilu berbicara terkait krisis iklim dan transisi energi. Selama ini, dalam konteks transisi energi hanya berbicara soal biomassa. Tidak adanya hubungan dengan pelaku industri kotor juga menjadi salah satu pembuktian dari komitmen capres-cawapres,” ucapnya.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Melki Sedek Huang mengatakan, pihak yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 kerap menjual generasi muda sebagai komoditas politik dan merasa paling dekat dengan kelompok ini. Padahal, sebenarnya mereka tidak memikirkan secara holistik apa yang dibutuhkan generasi muda.
Melki mengingatkan generasi muda di seluruh Indonesia agar jangan sampai terlalu termakan dengan kampanye, janji, dan rancangan program yang tidak nyata dari aktor-aktor politik. Ia menegaskan, orang-orang yang terdampak krisis iklimlah yang patut berbicara kondisinya sekarang dan menuntut para calon pemimpin Indonesia.
”Perubahan iklim, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan jangan dijadikan sekadar isu elitis, apalagi bagi anak-anak muda. Percuma kita berbicara korupsi, pembukaan lapangan kerja, atau penegakan hak asasi manusia bila kita susah bernapas atau sulit hidup di lingkungan yang baik untuk puluhan tahun ke depan,” ungkapnya.