Nasib ”Food Estate” Belu Setelah Jokowi Pergi
Jagung yang ditanam di lahan ”food estate” Belu, Nusa Tenggara Timur, kekurangan air karena bendungan yang kering. Petani terpaksa membeli air untuk menyelamatkan jagungnya.
Truk tangki menurunkan 5.000 liter air untuk menyirami tanaman jagung yang hampir mati di lahan lumbung pangan atau food estate Desa Fatuketi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Rabu (16/8/2023). Di lokasi ini, sekitar satu setengah tahun lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan proyek tersebut dengan menanam jagung dan menyalakan penyiram air otomatis.
Siang itu suhu udara menembus 36 derajat celsius. Matahari panas memanggang, tanpa awan. Permukaan tanah berkapur itu mengering dan berdebu. Di tanah itu, hamparan tanaman jagung yang masih berusia 10 hari-1 bulan terlihat layu.
”Sudah satu minggu ini air bendungan tidak mengalir. Sudah tanya ke (pengelola) bendungan, katanya air tidak cukup,” kata Daniel Halek (53), Ketua Kelompok Tani Fatuk Fia, salah satu petani yang menanam jagung di lahan itu. ”Kalau tetap tidak ada air, tujuh hari ke depan pasti jagung mati semua.”
Menurut pengakuan Daniel, sebelum menanam jagung, anggota kelompok tani di Blok C sudah berdiskusi dengan pengelola bendungan dan petugas penyuluh lapangan (PPL) apakah air mencukupi untuk penanaman kedua kali ini. ”Kalau tahu seperti ini, kami tidak menanam dulu,” katanya.
Jagung yang kami tanam dari benih lokal dan tanpa pupuk. Hasilnya memang tidak banyak, tapi bisa kalau untuk makan sendiri.
Sekitar 10 hektar dari 22 hektar lahan jagung di blok itu telah ditanami jagung. Sisanya memilih beristirahat. Di blok lain, B dan D, kebanyakan juga tidak lagi menanam.
”Di Blok C sini tempat Pak Jokowi dulu meresmikan food estate ini. Di sini Pak Jokowi menyiapkan ladang dan menanam jagung pertama,” katanya. ”Saat itu bagus sekali, ada sprinkler (penyiram) air juga.”
Dalam dokumentasi video peresmian food estate, yang masih bisa dilihat di laman setkab.go.id, Presiden Joko Widodo berpidato di tengah ladang, didampingi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, yang kini tersangka kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara di belakangnya, sprinkler menyiram secara otomotis tanpa henti.
”Di sini kami baru saja membuka lahan seluas lebih kurang 53 hektar yang akan kita tanami jagung dan untuk airnya kita menggunakan sprinkler, airnya dari Bendungan Rotiklot yang telah kami resmikan. Dari sini nanti kita akan perluas sampai 500 hektar. Kalau itu nanti berhasil dan produksi bagus, kita akan melompat ke daerah lain yang tanahnya datar sehingga 15.000 hektar,” kata Presiden Jokowi, Kamis (24/3/2022).
Daniel mengatakan, Bandungan Rotiklot yang diresmikan Jokowi memang menjadi harapan petani. ”Sebelum ada bendungan ini, kami menanam jagung setahun sekali. Jagung yang kami tanam dari benih lokal dan tanpa pupuk. Hasilnya memang tidak banyak, tetapi bisa kalau untuk makan sendiri,” katanya.
Menurut Daniel, saat peresmiaan food estate, aliran air juga tidak lancar. ”Saat itu, Pak Presiden berjalan sendiri ke arah sprinkler paling ujung, lalu memutar kerannya. Airnya ternyata hanya keluar sedikit. Itu sebabnya, pas pulang, Bapak Presiden bilang bahwa dia sudah paham masalahnya, yaitu air. Sepertinya Presiden kecewa sehingga saat itu tidak ada dialog dengan kami," kenang Daniel yang hadir dalam peresmian itu.
Baca juga: Boti yang Berdaulat Pangan
Setelah Jokowi pergi, persoalan air belum juga diatasi. Sprinkler itu akhirnya tak dimanfaatkan lagi. Jagung-jagung yang ditanam Jokowi pun gagal panen. ”Air dari sprinkler itu tak bisa membasahi lapisan tanah di bawah. Satu bulan ditanam langsung mati. Di sini mungkin tanahnya terlalu kering dan berkapur,” kata Daniel.
Para petani menanam ulang. Mereka mengalirkan air memakai selang, menampungnya, lalu menyirami tanaman jagung secara manual. Hingga saat ini, tiang-tiang besi masih terpasang, tapi tanpa sprinkler dan air lagi. Namun, saat kemarau seperti ini, aliran air dari selang pun berhenti total.
Modal bertani
Benny Hale (68), anggota Kelompok Tani Fatuk Fia, yang turut menanam jagung di lahan itu mengatakan, para petani sudah keluar banyak modal untuk penanaman jagung kali ini. ”Kalau dihitung-hitung, modal habis Rp 5 juta, terutama untuk beli pupuk dan sewa traktor. Untuk benih, kali ini yang ditanam bantuan dari perusahaan, jadi tidak boleh gagal,” kata Benny, yang juga anggota DPRD Kabupaten Belu.
Siang itu, Daniel dan Benny mengundang Penjabat Kepala Desa Fatuketi Egidius Moruk ke lahan membahas masalah air. Kepada para petani, Egidius mengaku tak bisa berbuat banyak. Petani-petani jagung di kelompok yang lain mengeluhkan hal serupa dan berhenti bertanam jagung. ”Yang aktif hanya satu kelompok tani ini saja,” ujar Egidius.
Egidius mengatakan, keterbatasan air ini merupakan masalah yang genting dan bisa menimbulkan konflik antarpetani ataupun dengan pengelola bendungan. Petani rugi lantaran terhentinya irigasi ketika mereka sudah telanjur menanam. ”Saya sudah komunikasi ke pihak (pengelola) bendungan, katanya memang air bendungan tidak mencukupi lagi,” katanya.
Baca juga: Nasib Petani di Wilayah Kepulauan
Situasi ini, menurut dia, seharusnya bisa diantisipasi lebih dini. Jika sejak awal ada perhitungan bahwa pasokan air tidak akan cukup untuk pertanian di musim tanam kali ini, pihak pengelola bendungan seharusnya menyampaikan secara terbuka kepada petani agar mereka tidak lagi menanam. ”Jadi, ini ada persoalan komunikasi,” ucap Egidius.
Berdasarkan pantauan, air di Bendungan Rotiklot hanya tersisa di bagian tengah dan mulai terlihat tanah-tanah merekah di pinggir. Dua sungai yang memasok air ke bendungan pun mengering.
Kepala Unit Pengelola Bendungan Rotiklot Herman Octavianus, yang ditemui di kantornya, mengatakan, stok air bendungan terus berkurang sehingga perlu diatur penggunaannya, baik untuk pertanian maupun kebutuhan air baku.
”Penurunan air sudah sampai 4 meter. Kalau kondisi penuh, bendungan ini bisa terisi 3,3 juta liter kubik dan normal 2,3 juta liter kubik. Sekarang tinggal 1,6 juta liter kubik. Air yang masih bisa dipakai tinggal 1 juta liter kubik. Jadi, kami harus menghemat dan prioritaskan dulu untuk air baku,” katanya.
Jam operasi penyaluran air pun dibatasi, dari 12 jam menjadi 7 jam per hari. Sebagai pengelola bendungan, Herman berupaya menjaga agar ketersediaan air masih dalam batas aman. Jika tidak, fisik bendungan akan rusak. Herman berharap masyarakat dapat memahami kondisi saat ini, yakni El Nino yang menimbulkan kekeringan ekstrem.
Menurut informasi yang didapatkannya dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setempat, hujan di wilayah ini baru akan turun sekitar bulan Desember. Sementara hujan sudah berhenti sejak April. ”Pasokan hujan memang tidak mencukupi, mau bagaimana lagi,” katanya.
Baca juga: El Nino dan Kisah Sepiring Nasi Petani
Herman juga membantah perihal tidak adanya koordinasi dengan petani. ”Kami pernah undang masyarakat untuk sosialisasi kondisi musim ini, tetapi mereka tidak hadir. Sekarang kami dengar ada petani yang bobol pintu irigasi untuk ambil air, kami sudah lapor polisi terkait ini,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Lecky F Koli yang dikonfirmasi mengatakan, pada saat panen perdana tahun lalu, hasil yang diperoleh petani di areal food estate Fatuketi sebenarnya cukup baik. Petani juga melakukan penanaman sebanyak dua kali.
Namun, ia mengaku, kekeringan parah terjadi tahun ini. Hampir semua bendungan mengalami penyusutan, termasuk Bendungan Rotiklot.
Dia menambahkan, potensi kekeringan itu sudah diprediksi dari awal dan telah disampaikan kepada petani. Jika debit air menyusut, tidak perlu ada musim tanam kedua yang biasa berlangsung pada Agustus. Jika dipaksakan, hal itu akan merugikan petani. ”Kekeringan ini adalah proses alam. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Beli air untuk jagung
Para petani lain tidak punya pilihan lain. Mereka tidak bisa lagi berharap banyak dari bendungan yang dibangun dengan anggaran hampir setengah triliun rupiah itu. ”Terpaksa kita harus beli air untuk siram jagung,” katanya.
Siang itu, Benny menelepon pemilik mobil tangki, yang biasa menjual air minum untuk warga di sekitar Fatuketi. Dia mesti membayar Rp 120.000 untuk satu tangki berisi 5.000 liter air, yang diambil dari rawa-rawa di pinggiran desa. Butuh setidaknya dua tangki untuk mengairi 2 hektar lahan jagungnya.
Baca juga: El Nino Berisiko Tekan Produktivitas Pertanian
Berbeda dengan Benny, Maria Fatima Sian (54), petani perempuan dari Kelompok Tani Star Tani, memilih pasrah. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membeli air untuk menyirami jagung. Tahun lalu, saat peresmian food estate itu, Maria sempat mendapatkan uang Rp 1 juta dan 10 anggota di kelompok taninya mendapatkan bantuan 1.000 ayam petelur. Seminggu kemudian, 400 ayam mati. Yang selamat sempat bertelur sekali, tapi setelahnya mati semua.
Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Torry Kuswardono berpendapat, program food estate yang berorientasi pada produktivitas pertanian memerlukan pasokan air yang stabil. Oleh karena itu, program tersebut dinilai tidak cocok diterapkan di wilayah minim curah hujan, seperti NTT.
Dalam pantauan yang dilakukan Pikul, semua lokasi proyek food estate di NTT tidak berjalan dengan baik. Selain di Belu, ada juga di Kabupaten Sumba Tengah. ”Di sana, pengairannya mengandalkan sumur bor. Banyak sumur yang kering,” kata Torry.
Kunci untuk ketahanan pangan di NTT, menurut dia, adalah dengan mendorong petani menanam dan mengonsumsi beragam sumber pangan, sebagaimana menjadi jalan pangan tradisional mereka. Sekalipun kering, NTT punya banyak sumber pangan, termasuk pohon gewang (Corypha utan Lamk.) yang banyak tumbuh di sekitar lahan food estate Belu dan bisa diolah menjadi menu pokok sagu akabilan.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center