Rokok yang Mengisap Kehidupan Orang Mentawai
Rokok tak hanya berbahaya bagi kesehatan individu, tetapi juga mengisap sebagian besar sumber daya ekonomi keluarga masyarakat pedalaman. Mereka yang paling miskin paling merasakan dampaknya.
Di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, rokok menjadi porsi terbesar pengeluaran warga, mengalahkan dana untuk membeli makanan.
Kalianus Sanambalu (36) tengah berbincang dengan para tetangga di serambi rumah kayunya, di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Senin (25/9/2023) pagi itu. Sesekali dia menyeruput kopi manis, bergantian dengan mengisap sebatang rokok.
Kalianus seperti berlomba dengan para tetangga. Semua lelaki paruh baya mengisap rokok nyaris tanpa jeda. Asap mengepul memenuhi ruangan setengah terbuka itu, menambah sesak udara pagi yang lengas.
Meskipun harga pinang murah, angka penjualan rokok di warung ini tidak terpengaruh.
”Kalau tidak merokok, tidak semangat kerja, pikiran kita maunya tidur saja,” kata Kalianus, yang sehari-hari berladang.
Dusun Bekkeiluk berada di kawasan hulu Sungai Silaoinan. Akses ke dusun ini hanya dengan perahu bermesin dengan waktu tempuh sekitar 3 jam dari pusat kecamatan di Muara Siberut.
Mengisap rokok tidak bisa dilepaskan dari keseharian pria di pedalaman Siberut, termasuk Kalianus. Pria yang sehari-hari menggarap ladang pisang, pinang, dan kelapa ini mulai merokok sejak usia 17 tahun dan sejak itu tak pernah putus hingga hampir separuh perjalanan hidupnya.
Menurut Kalianus, dalam sehari, ia bisa menghabiskan tiga bungkus rokok. Sebungkus rokok itu dia beli Rp 16.000 dari warung kelontong di kampung. Harganya tergolong murah, dibandingkan rokok bermerek. Rokok yang diisap Kalianus dan warga lain di pedalaman Mentawai kebanyakan tanpa cukai. Menurut dia, rokok itu diselundupkan secara ilegal dari Pulau Jawa hingga ke Mentawai.
Sekalipun tanpa cukai, belanja rokok itu menjadi pengeluaran terbesar keluarga Kalianus, melebihi biaya pendidikan anak dan belanja dapur. Jika ditotal, pengeluaran ayah lima anak itu untuk belanja rokok mencapai Rp 1,44 juta per bulan. Sementara itu, untuk biaya sekolah anak-anak Rp 370.000 dan Rp 400.000 untuk belanja bumbu dapur, gula, kopi, teh, dan ikan.
Baca juga: Konsumsi Rokok Tak Terdampak Pandemi
Kecanduan rokok juga dialami Parulian Sabailaket (47), warga Bekkeiluk lainnya. Hari-harinya terasa ada yang hilang jika tidak mengisap rokok. ”Jika tidak ada rokok, minta ampun saya. Pusing. Tidak pergi saya ke rimba (ladang),” katanya.
Rokok juga menjadi belanja terbesar di keluarga Parulian. Dalam sehari, ayah satu anak ini bisa menghabiskan tiga bungkus rokok dengan harga yang dibeli Rp 15.000 per bungkus. Artinya, ia mengeluarkan Rp 1,35 juta per bulan untuk belanja rokok.
Adapun untuk kebutuhan lain, seperti bumbu dapur dan lauk, Parulian tidak bisa memperkirakannya. Namun, ia mengakui, sebagian besar pendapatannya memang habis untuk membeli rokok.
Markus Sabilatti (53), warga Dusun Salappa, Desa Muntei, juga ketergantungan terhadap rokok. Setiap hari ia menghabiskan sebungkus rokok dengan harga Rp 15.000 per bungkus. Jika ditotal, ia menghabiskan Rp 450.000 untuk rokok per bulan. ”Meskipun uang susah, merokok tetap kencang,” kata ayah tujuh anak ini.
Ia mengatakan, hampir semua pria di dusun pedalaman Mentawai ini merokok. Jika ada pria yang tidak merokok, biasanya karena sakit sehingga tidak bisa merokok, seperti dialami Joel Salaisek (46), warga Kampung Salappa.
Baca juga: Candu Beras dan Mi Instan di Kepulauan
Menurut Joel, rokok memang sudah lama dikenal orang Mentawai. ”Tapi dulu hanya orang-orang tua yang merokok, biasanya para sikerei (penyembuh tradisional) dan yang dirokok tembakau kretek dibungkus daun nipah. Lebih dulu lagi, tembakaunya pakai daun keladi muda. Anak-anak muda jarang merokok,” katanya.
Konsumsi rokok meluas di kalangan muda Mentawai di pedalaman baru sekitar tahun 1990, seiring dengan masuknya rokok-rokok filter. Belakangan semakin marak setelah banyak rokok tanpa cukai yang dijual lebih murah.
Mengorbankan keluarga
Apa yang teramati di Mentawai ini seperti menguatkan banyak penelitian sebelumnya bahwa Indonesia adalah ”surga” konsumen rokok terbesar dan terus bertumbuh.
Laporan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Kajian Jaminan Nasional Universitas Indonesia pada 2020 menyebutkan, ada 33,03 persen pemuda usia 18-24 tahun menjadi perokok aktif, disusul usia 39 tahun sebanyak 41,75 persen. Sementara perokok paling aktif berada pada usia 25 tahun-38 tahun, yakni 44,75 persen.
Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menyebutkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018).
Terus meningkatnya konsumen rokok ini tidak lepas dari ketidakseriusan negara dalam mengendalikan hal ini, tecermin dari belum diratifikasinya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), berupa kesepakatan global pengendalian tembakau oleh Indonesia.
Padahal, jelas bahwa kebiasaan merokok juga memiskinkan mereka yang sudah miskin. Bagi si miskin, belanja rokok juga kerap mengorbankan alokasi belanja kebutuhan pokok lainnya, seperti lauk atau sumber protein lainnya.
Baca juga: Kenyang dan Nikmat Tanpa Beras dari Kaki Ile Boleng
Sebagian besar keluarga yang kami temui di kawasan hulu Sungai Silaoinan itu, termasuk Kalianus, Parulian, dan Markus, mengaku, tidak setiap hari keluarga mereka mengonsumsi protein.
Umumnya sumber protein warga pedalaman berasal dari ikan sungai. Namun, ikan tidak bisa didapat setiap saat, terutama saat musim banjir. Tidak adanya akses jalan darat membuat pedagang ikan dari Muara Siberut enggan masuk ke pedalaman.
Budaya berburu mulai jarang dilakukan, di antaranya karena hewan buruan, seperti rusa, monyet, dan babi hutan, pun semakin langka. Sementara ternak babi dan ayam biasanya hanya dikonsumsi saat acara adat atau hari raya.
Tamra atau batra alias ulat sagu menjadi sumber protein alternatif masyarakat, tetapi tidak bisa dipanen setiap hari. Mesti menunggu satu hingga tiga bulan setelah sagu ditebang.
Warung-warung di dusun sebenarnya juga menjual telur sebagai sumber protein, tetapi tidak begitu laris. Apalagi saat ini harga pinang tengah anjlok hanya Rp 1.000-2.000 per kg dan pisang susah dijual karena kapal jarang masuk.
Tiga tahun lalu, harga pinang masih di atas Rp 10.000 per kg. ”Satu kilogram pinang sekarang hanya seharga satu batang rokok,” ujar Joel.
Krisis ekonomi
Di tengah krisis ekonomi di Mentawai saat ini, yang dpicu mahalnya harga beras dan anjloknya harga pinang, konsumsi rokok tetap stabil. Hal tersebut tergambar dari perputaran uang dan barang di warung-warung warga dusun. Rokok merupakan barang paling laris dibandingkan yang lain, termasuk telur dan beras yang menurun karena sebagian orang kembali makan sagu.
Di warung milik Afriadi Satoinong (36), warga Dusun Bekkeiluk, misalnya, rokok merupakan dagangan paling laku. Dalam sepekan, ia bisa menjual 1 tim atau 100 bungkus rokok dengan omzet Rp 1,5 juta. Selanjutnya ada gula yang terjual 10 kg (Rp 20.000 per kg) per sepekan.
Adapun telur, Afriadi hanya bisa menjual sekitar 1 papan atau 30 butir (Rp 3.000 per butir) per pekan di dusun berpenduduk sekitar 100 jiwa itu. ”Umumnya di Mentawai yang paling laku itu rokok dan gula,” kata Afriadi, Minggu (24/9/2023).
Kondisi serupa juga terjadi di warung milik Andreas Sadodoli (54), warga Dusun Salappa. Rokok merupakan barang paling laris di warung yang berada di dusun berpenduduk sekitar 400 jiwa itu.
Dalam sepekan, Andreas bisa menjual 200 bungkus rokok dengan rentang harga Rp 10.000-16.000 per bungkus. Meskipun harga pinang murah, angka penjualan rokok di warung ini tidak terpengaruh.
Adapun penjualan telur di warung Andreas termasuk lambat. ”Warga di sini jarang makan telur. Cuma laku 5 papan (1 papan 30 butir) per pekan. Harganya Rp 2.500 per butir. Telur biasanya laku saat mendekati hari raya, bisa terjual dua kali lipat. Sekarang kurang laku, apalagi harga pinang jatuh,” katanya.
Temuan di lapangan ini menunjukkan, rokok tidak hanya memiskinkan, tapi juga bisa mengganggu pencapaian kualitas hidup dan kesehatan semua anggota keluarga.
Tanpa mengendalikan konsumsi rokok, mimpi untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat, termasuk tengkes (stunting) pada anak-anak, di pedalaman hanya akan jadi ilusi.
Baca juga: Konsumsi Rokok Sumbang ”Stunting”
Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center