Mendekatkan Kembali Lidah Anak dengan Pangan Lokal
Untuk melawan arus pergeseran pola konsumsi, sejumlah komunitas di Nusa Tenggara Timur melakukan perlawanan untuk mengenalkan kembali pangan lokal yang telah diwarisi turun-temurun kepada anak-anak dan remaja.
Oleh
FRANS PATI HERIN, AHMAD ARIF
·5 menit baca
Senin (7/8/2023) petang, puluhan anak memenuhi halaman uem bubu, rumah penyimpanan makanan bagi masyarakat suku Dawan di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Mereka tengah mencicipi bubur hasil eksperimen dari dapur Lakoat Kujawas yang berada di dalam uem bubu. Lakoat Kujawas merupakan komunitas anak muda bergerak di bidang literasi pangan dan budaya lokal.
”Enak,” ujar Intan Liu (11), begitu mengecapi bubur berbahan pangan lokal. Ada jagung, sorgum, ubi jalar, labu, dan daging ayam kampung, yang dicampur dalam satu formula dengan bumbu bawang putih serta garam.
Dua teman yang duduk mengapitnya mengangguk pertanda mereka juga punya kesan yang sama pada makanan itu. ”Ayo, minta tambah,” ajak Intan.
Bahan yang diolah menjadi bubur bukanlah barang baru. Hampir setiap hari mereka jumpai mulai dari sekitar pekarangan hingga kebun yang tak jauh dari rumah mereka di Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Langkah yang paling sederhana adalah di setiap dapur setidaknya tersedia makanan lokal.
Mollo, daerah berhawa sejuk, merupakan salah satu sentra pangan lokal di Pulau Timor. Berbagai jenis pisang dan umbi-umbian dari Mollo, dengan mudah dijumpai di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Timor Tengah Selatan hingga Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Sayangnya, anak-anak Mollo semakin jarang mengonsumsi makanan lokal karena sejak kecil lidah mereka sudah dibiasakan dengan beras dan pangan instan. Beragam pangan lokal yang dulu dikonsumsi orang tua mereka tidak lagi mereka kenali.
Anak-anak lebih memilih nasi atau mi instan yang kini mudah dijumpai di kampung-kampung. Selain kaya rasa, pengolahannya praktis. Kini mereka ketergantungan. Setiap hari, wajib ada nasi di atas meja makan.
Berangkat dari keresahan
Ditinggalkannya pangan lokal juga karena faktor budaya. Hegemoni pemikiran yang merendahkan pangan lokal yang diulang-ulang di masa lalu membuat banyak keluarga inferior dengan makanan lokal mereka.
Ada anggapan di kalangan pendduduk bahwa mengonsumsi jagung atau pisang akan dianggap sebagai orang miskin. Di sisi lain, beras dianggap sebagai makanan kelas satu. Padahal, daerah itu bukan penghasil padi.
Namun, ketergantungan memaksa orangtua mencari cara untuk mendapatkan beras. Ada yang menjual jagung demi beras. Untuk mendapatkan 1 kilogram beras seharga Rp 12.000 per kilogram, mereka harus menjual 4 kilogram jagung seharga Rp 3.000 per kilogram.
Dicky Senda (36), anak muda dari Mollo, merasa resah dengan kondisi tersebut. Pada tahun 2019 mantan guru ini menginisiasi gerakan kembali ke pangan lokal. Target awal adalah generasi muda dari Desa Taiftob dan sekitarnya.
Untuk mendekatkan pangan lokal pada anak muda, Dicky memulai dengan membuka kelas di taman baca. Di sana mereka membaca, meminjam buku, belajar menulis, mengikuti kelas bahasa Inggris, dan mempelajari pangan lokal.
Materi pangan lokal di atas meja belajar sengaja dihadirkan contoh pangan lokal. Anak-anak diminta menceritakan tentang pangan lokal yang sering mereka makan, termasuk cara pengolahan yang mereka sukai.
”Kami menangkap pesan bahwa cara pengolahan, rasa, dan bentuk makanan lokal dapat menarik anak-anak untuk mengonsumsi makanan lokal,” kata Dicky.
Uem bubu kini menjadi laboratorium pangan lokal Lakoat.Kujawas. Di dalam rumah berbentuk bundar itu, mereka melakukan eksperimen pangan lokal. Berbagai formula dicoba untuk menghasilkan makanan yang sehat dan sesuai dengan selera lidah anak muda.
Setiap dua kali dalam sebulan, mereka meluncurkan menu baru lalu diperkenalkan kepada anak-anak. Selesai belajar, anak-anak diarahkan ke uem bubu untuk mencicipi makanan yang diolah dari pangan lokal.
”Awalnya, ada anak yang tidak suka makan, namun seiring waktu mereka menjadi suka, bahkan sampai ada anak yang minta tambah. Pulang ke rumah mereka minta orangtua untuk masak pangan lokal,” tutur Dicky.
Tips pengolahan makanan lokal di dapur Lakoat.Kujawas dibagikan kepada masyarakat yang datang bertanya, juga lewat berbagai pameran. Pada peringatan HUT ke-78 RI lalu, mereka menggelar pameran di Kantor Kecamatan Mollo Selatan. Tujuannya, para orangtua dapat mencobanya di rumah.
Marlinda Nau, ibu rumah tangga, mengakui, butuh proses untuk mengajak anak mereka mengonsumsi pangan lokal. Di rumahnya, ia menetapkan hari tanpa nasi dua kali dalam sepekan. Sebagai pengganti nasi, meja makan keluarga disuguhkan jagung bose atau ubi.
Menurut dia, orangtua memegang peranan mengarahkan anak untuk mengonsumsi pangan lokal. Langkah yang paling sederhana adalah di setiap dapur setidaknya tersedia makanan lokal. Anak-anak perlu diajak masuk dapur dan diminta saran terkait pengolahan pangan lokal.
Dengan melibatkan anak di dapur, secara langsung orangtua memperkenalkan anak pada makanan lokal. ”Nanti, mereka sendiri yang mengolah langsung makanan lokal sesuai selera mereka,” ujar Marlinda.
Kewirausahaan pangan lokal
Kegiatan ini digelar oleh Koalisi Pangan Baik, yang terdiri dari Yayasan Kehati, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka, dan Yayasan Ayu Tani.
Anak-anak muda dari sejumlah desa itu diminta untuk mengolah beragam pangan lokal dari desa masing-masing. Hampir semua anak muda ini menampilkan aneka makanan nonberas, mulai dari jagung, sorgum, jewawut, hingga beragam umbi-umbian dan pisang.
Maria Loretha mengatakan, banyaknya pangan nonberas yang ditampilkan menunjukkan bahwa pangan pokok di NTT di masa lalu sangat beragam. ”Dengan beragam pangan ini, masyarakat seharusnya bisa memenuhi pangannya sendiri. Namun, pergeseran pola makan menjadi dominan beras menyebabkan masyarakat NTT sekarang tergantung beras dari luar pulau,” katanya.
Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan yang turut memberikan pelatihan tersebut, mengatakan, para pemuda diajak untuk mengenali terlebih dahulu potensi yang dimiliki di setiap desa. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat menetapkan langkah-langkah pengolahan hingga promosi dan pemasaran.
Tak hanya mulai kembali mengonsumsi ragam pangan lokal ini, sebagian anak muda itu untuk mengolah dan mengemasnya dengan menarik sehingga bisa dijual. Harapannya, hal itu bisa mengembalikan kebanggaan mereka terhadap pangan lokal.
Andika Kilog (26) dari Desa Tapo Bali, Kecamatan Wulandoni, Lembata, misalnya, telah membuat produk olahan sorgum menjadi kopi sorgum, beras sorgum, sereal sorgum, dan tepung sorgum. Namun, upayanya ini masih kesulitan mendapatkan pasar.
Salah satu tantangan para pegiat pangan lokal adalah kurangnya insentif ekonomi sehingga lebih sulit bersaing dengan sumber pangan arus utama, beras dan terigu. Bandingkan dengan tepung terigu, misalnya, yang selama ini mendapat keringanan bea impor atau beras yang mendapat banyak subsidi sehingga bisa dijual lebih murah di pasar.
Jalan masih panjang, dari berbagai upaya lokal yang telah dilakukan komunitas ini memberikan harapan, setidaknya arus deras pergeseran pola konsumsi bisa direm agar tidak semakin membuat warga kepulauan ini terjajah pangan.