Selubung Gelap Kabut Asap
Kebakaran hutan dan lahan yang meluas tak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga bisa membuyarkan target FOLU Net Sink 2030.
Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menyelimuti sejumlah daerah. Bencana yang berulang tersebut tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, namun juga bisa membuyarkan target Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink pada tahun 2030.
Mutu udara di kota-kota di Sumatera dan Kalimantan mulai memburuk akibat diselimuti kabut asap. Di Jambi, misalnya, pada Senin pukul 08.00 WIB, angka cemaran PM 2,5 mencapai 160 mikrogram per meter kubik (µg/m³) atau amat tak sehat, sehingga Pemerintah Provinsi Jambi mengalihkan kegiatan belajar-mengajar di sekolah jadi pembelajaran daring (Kompas, 2 Oktober 2023).
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, Kota Palangkaraya memiliki konsentrasi PM 2,5 paling tinggi pada 29 September 2023 yaitu 222 µg per m³, disusul Kota Palembang 126 µg per m³.
Padahal, sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsentrasi PM 2,5 rata-rata 24 jam yang sehat berkisar 0 hingga 15 µg per m³.
Baca juga: Kabut Asap di Kalsel Mengancam Kesehatan Warga
Banyak studi menunjukkan, kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berdampak buruk bagi kesehatan karena mengandung senyawa berbahaya dan karsinogenik di antaranya hidrokarbon, akrolein, formaldehid dan benzena. Ada juga karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), sianida (CN), sulfur dioksida (SO2), selain PM 10, dan PM 2,5.
Kajian Miriam E Marlier dari Universitas Columbia dan tim di jurnal GeoHealth (2019) memperingatkan, paparan asap dari kebakaran hutan pada tahun 2015 bisa memicu 36.000 kematian dini per tahun di Indonesia, Singapura, dan Malaysia beberapa dekade ke depan.
Dampak buruk kabut asap tak hanya ditanggung generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang. Laporan para peneliti dari Universitas Hasselt dan Universitas Katolik Leuven di Nature Communications (2019) menunjukkan, jelaga atau karbon hitam dari karhutla yang bisa terhirup ibu hamil hingga plasenta, dan berdampak buruk pada kesehatan janin.
Masyarakat Kalimantan Tengah sebenarnya pernah mengajukan gugatan warga (citizen law suit) ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait karhutla di tahun 2015.
Warga menang di Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tahun 2016 dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palangkaraya dalam putusan tertanggal 22 Maret 2017 menguatkan putusan itu.
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ini memvonis Presiden Joko Widodo, empat menteri, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalteng bersalah dalam bencana asap.
Presiden dihukum untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan karhutla, dengan melibatkan masyarakat.
Namun, Mahkamah Agung menangkan pemerintah dalam putusan peninjauan kembali (PK) atas gugatan warga Kalimantan Tengah ini. Putusan bernomor 980/PK/Pdt/2022 itu membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya dan Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya.
Emisi negatif
Kebakaran hutan dan lahan juga bisa berdampak global lantaran menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca (GRK). Dari sekitar 1,2 miliar ton CO2 yang diemisikan dari bumi Indonesia per tahun, 59 persen di antaranya berasal dari forestry and other land use (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan, termasuk di antaranya dari karhutla.
Pada tahun 2015, karhutla yang menghanguskan area seluas 2,6 juta hektar diperkirakan mengeluarkan tambahan emisi karbon Indonesia sebesar 700 juta ton CO2. Hal itu menyebabkan emisi karbon Indonesia pada tahun itu di atas 1,9 miliar ton.
Baca juga: Kepulauan Riau dan Negara Tetangga Waspada Kabut Asap
Padahal, Indonesia telah meningkatkan komitmen penurunan GRK dari 29 persen jadi 32 persen, seperti tertuang dalam dokumen Updated NDC (Nationally Determined Contribution).
Di sektor lahan yang menyumbang 60 persen emisi nasional, pemerintah telah meluncurkan skema FOLU Net Sink pada tahun 2030 dengan tujuan agar sektor ini tidak hanya nol emisi, tetapi negatif. Dengan kata lain, sektor lahan menjadi rosot (sinks) emisi, bukan sumber (source) lagi.
Adapun FOLU Net Sink 2023 merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan untuk mengendalikan perubahan iklim.
Setelah karhutla pada tahun 2015, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, yang kemudian diperbarui dengan Inpres Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Karhutla.
Di lapangan, upaya penanggulangan kebakaran ini termasuk di antaranya dengan melarang petani tradisional di Kalimantan berladang dengan sistem tebas dan bakar sejak 2015.
Namun pelarangan berladang ini telah merusak ketahanan pangan masyarakat tradisional, bahkan menjadi pemicu kemiskinan dan berbagai persoalan sosial di kalangan Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah (Kompas, 29 Agustus 2022).
Data menunjukkan, selama 2016 hingga 2018, karhutla cenderung menurun. Namun, kebakaran kembali meluas pada 2019. Pada tahun 2020, 2021, hingga 2022, karhutla menurun hingga 90 persen, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim sebagai keberhasilan upaya penanggulangan di tingkat tapak (Kompas, 26 Oktober 2022).
Perlu dicatat, penurunan karhutla pada 2020 hingga 2022 karena terjadi La Nina berkepanjangan sehingga kondisi Indonesia lebih basah. Sebaliknya, tiap terjadi El Nino yang memicu kekeringan lebih panjang di Indonesia, tren karhutla kembali meningkat, seperti terjadi pada 1997/1998, 2015, 2019, dan juga 2023.
Jelas bahwa El Nino berkontribusi meningkatkan kerentanan karhutla di Indonesia. Meski demikian, kekeringan yang dipicu fenomena cuaca El Nino bukan satu-satunya penyebab meluasnya kebakaran. Misalnya, pada 1981 juga terjadi El Nino kuat, tetapi tidak terjadi kebakaran hutan masif.
Penelitian paleoekologi oleh Shimada (2001) dan Eko Yulianto (2006) telah menyingkap jejak kebakaran hutan yang berulang di lahan gambut Kalimantan dalam kurun 10.000 tahun terakhir.
Namun, kebakaran lahan gambut di Kalimantan secara masif baru terjadi setelah 1997/1998, setelah proyek lahan gambut sejuta hektar, yang diikuti pembukaan perkebunan sawit. Selama ribuan tahun sebelumnya telah terjadi kebakaran, tetapi berskala kecil.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saat musim karhutla terjadi, sejumlah titik api bermunculan di lahan konsesi perusahaan. Data Pantau Gambut menunjukkan, sepanjang September 2023 terpantau 9.064 titik api yang teridentifikasi di area konsesi yang berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG), tersebar di 247 konsesi.
Baca juga: 119.731 Titik Panas Karhutla Sepanjang September, Sumsel Terbanyak
Jadi, setelah petani tradisional dikorbankan dengan dilarang berladang, yang mencerminkan ketidakadilan mitigasi iklim, tetap saja kebakaran hutan dan lagan meluas di tahun 2023. Lalu, siapa kini yang mesti bertanggung jawab?