Perguruan Tinggi Swasta Berjibaku Menarik Calon Mahasiswa Baru
Sejumlah perguruan tinggi swasta di Indonesia mengeluhkan persaingan yang tidak adil dengan perguruan tinggi negeri dalam penerimaan mahasiswa baru.
Pendidikan tinggi masih menjadi barang ”mewah” bagi sebagian besar anak muda Indonesia. Berdasarkan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi tahun 2023, baru 39 persen dari total populasi anak muda berusia 19-23 tahun yang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Artinya, mayoritas anak muda tidak kuliah lantaran bekerja ataupun kegiatan lainnya.
Meski berkuliah tidak menjamin kesuksesan seseorang, sejumlah data menunjukkan bahwa belajar di perguruan tinggi membuka peluang ekonomi dan sosial yang lebih baik di masa depan. Lulusan perguruan tinggi dapat menjadi sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Di tengah minimnya anak-anak muda bangsa yang memiliki akses ke perguruan tinggi, perguruan tinggi swasta (PTS) kini mengeluhkan adanya ekosistem persaingan yang tidak sehat dengan perguruan tinggi negeri (PTN). Hal ini setidaknya terlihat dari eksistensi PTS yang mulai ”oleng” karena sulit mendapat mahasiswa baru. Kemampuan PTS membiayai kegiatan operasionalnya menjadi terdampak. Akibatnya, PTS menghadapi tantangan untuk lebih fokus meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah X-A Sumatera Barat Hendri Nofrianto, di Padang, Senin (21/8/2023), memaparkan, rata-rata unsur pimpinan PTS di wilayah tersebut mengeluhkan turunnya jumlah mahasiswa baru akibat masifnya penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di PTN, terutama yang berstatus badan hukum (PTN-BH). Di Sumbar, ada 82 PTS yang berada di bawah naungan asosiasi ini.
”Penerimaan jalur mandiri di PTN-BH tidak ada habisnya, dari gelombang I, II, III, sampai tidak berhingga. Sampai akhir Agustus atau mendekati hari pertama perkuliahan, mereka masih menerima mahasiswa, padahal sebelumnya, Juli sudah selesai. PTS jadi kehilangan waktu mencari mahasiswa baru,” kata Hendri.
Baca juga : Biaya Kuliah di Jalur Mandiri PTN Bersaing dengan PTS
Hendri menjelaskan, akibat panjangnya masa pembukaan mahasiswa baru jalur mandiri di PTN-BH, waktu PTS merekrut mahasiswa menjadi mepet. Apalagi, jarak waktu kuliah perdana antara PTN dan PTS sekarang hanya dua pekan dari sebelumnya 1-2 bulan. Perkuliahan perdana di PTN dimulai pekan pertama September, sedangkan di PTS pekan ketiga September 2023.
Dalam acara Sinergitas Tingkatkan APK Pendidikan Tinggi Bermutu dan Berkeadilan di Jakarta, Kamis (14/9/2023), Wakil Bendahara II Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Muhammadiyah, yang membawahkan PT Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA), Muhammad Muchlas Rowi mengatakan, PTS menerima limpahan mahasiswa yang tidak diterima di PTN. Dengan kuota PTN yang makin besar, termasuk lewat jalur mandiri dan waktunya yang panjang, penerimaan di PTS jadi terdampak.
”Ketika seleksi di PTN hanya dengan jalur prestasi dan tes secara nasional, tidak masalah. Ketika jalur mandiri makin masif, isu mahasiswa baru jadi ada masalah. Untuk PTS kecil dan melayani di daerah 3T, bersaing dengan PTN tidak mudah. Apalagi dengan alasan kualitas karena dana yang dimiliki terbatas dan akses bantuan ke pemerintah juga tidak mudah dan terbatas,” kata Muchlas.
Siasat PTS
Masyarakat yang masih merasa lebih prestisius kuliah di PTN membuat banyak PTS, terutama yang kecil, harus sabar menunggu berakhirnya masa penerimaan mahasiswa baru di PTN untuk mendapat calon mahasiswa. Bahkan, calon mahasiswa yang telah diterima di PTS ternama pun ada yang rela mundur dan hanya menerima pengembalian sebagian uang yang sudah dibayar saat diterima di salah satu PTN.
Herman, orangtua salah satu mahasiswa baru lulusan tahun 2023, mengatakan, kini kesempatan untuk masuk di PTN lewat jalur mandiri terbuka lebar. Selama calon mahasiswa bisa bersaing di tes masuk dan mampu membayar sumbangan/iuran pengembangan institusi alias uang pangkal dan uang kuliah tunggal (UKT) sesuai kondisi ekonomi orangtua, kuliah di PTN bisa diraih.
Menurut Herman, dirinya pesimistis anaknya bisa masuk di jalur tes nasional. Namun, dia mendukung keinginan anaknya yang tetap ingin menjadi mahasiswa PTN. Lalu, sang anak tanpa kendala bisa mengikuti tes di jalur mandiri Politeknik Negeri Jakarta, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Brawijaya, dan Universitas Gadjah Mada. Padahal, anaknya sudah diterima di salah satu PTS ternama di Jakarta dan sudah membayar uang pangkal.
”Beruntung akhirnya bisa lulus di UGM. Bayaran uang pangkal dan uang kuliah hampir sama dengan di PTS yang dipilih, tapi tentu saja anak lebih memilih di UGM. Padahal, dia mesti kos,” kata Herman yang tinggal di Jakarta.
Muchlas mengatakan, PTS banyak yang beradapatsi dengan penurunan jumlah mahasiswa. Di PTMA juga ada kebijakan pembayaran uang kuliah yang tidak lagi dibayar per semester, tapi per bulan atau bertahap sesuai kemampuan.
”Sampai sedemikian PTS berusaha untuk bertahan. Semata-mata karena didorong semangat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat UUD agar bisa dijalankan. Apalagi PTS yang ada di daerah terpencil, semangat untuk menyediakan akses kuliah membuat mereka terus bertahan,” ujar Muchlas.
Baca juga : Banyak Perguruan Tinggi Berskala Kecil dan Tidak Sehat
Ada salah satu PTS di Padang yang biasanya menerima sekitar 2.500 mahasiwa baru per tahun kini hanya menerima sekitar 1.400 orang. Mahasiswa yang diterima sebagain besar mengalami kendala ekonomi sehingga biaya kuliah diturunkan dari Rp 6 juta menjadi Rp 3 juta per semester agar jumlah mahasiswa baru tidak berkurang lagi.
Ketua Umum Aptisi M Budi Djatmiko mengatakan, mereka yang berkuliah di PTS secara umum masyarakat ekonomi bawah. Biaya kuliah di PTS terbanyak sekitar Rp 1,7 juta per semester. Sementara PTS mahal yang biayanya di atas Rp 10 juta per semester hanya sekitar tiga persen dan biaya di atas Rp 5 juta per semester sekitar 10 persen.
”Rata-rata biaya kuliah di PTS itu Rp 1,7 juta per semetser. Jika ingin meningkatkan angka partisipasi kasar, masuk akal jika mendukung PTS kecil ini. Justru mereka ini perlu mendapat afirmasi dan dukungan supaya tetap sehat dan meningkat mutunya sehingga mahasiswa tetap bisa menjadi lulusan bermutu dan relevan,” ujar Budi.
Menurut Budi, sebenarnya PTS tidak perlu disubsidi jika ekosistem pendidikan tinggi adil. Pemerintah selama ini ”menganakemaskan” PTN. ”PTS yang sumber dana dan sumber dayanya terbatas disuruh bersaing dengan PTN lewat jalur mandiri. Seharusnya PTN ini jelas arahnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia hingga bekelas dunia. Bukan berlomba-lomba menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya, yang akhirnya mengambil ceruk pasar PTS,” ujar Budi.
Sementara itu, Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia (MRPTNI) yang juga Rektor Universitas Negeri Padang (UNP) Ganefri menuturkan, dibukanya jalur mandiri di PTN merupakan usaha untuk memenuhi kecukupan biaya perguruan tinggi. Sebab, pemerintah baru mampu memenuhi subsidi sekitar 28 persen dari kebutuhan anggaran operasional yang ideal.
PTS yang sumber dana dan sumber dayanya terbatas disuruh bersaing dengan PTN lewat jalur mandiri.
”Sisanya dari bantuan masyarakat, bisa melalui UKT. Itu pun terbatas sesuai kondisi sosial ekonomi mahasiwa. Jalur mandiri jadi salah satu peluang untuk bisa menambah revenue dari universitas sehingga PTN bisa memberi layanan pendidikan tinggi berkualitas,” kata Ganefri.
Di tahun 2023 ada 600 mahasiswa baru di UNP yang tidak mendaftar ulang. Padahal, mereka pengusul KIP kuliah. Namun, kuota KIP kuliah dari pemerintah saat ini hanya 900 mahasiswa, sebelumnya bisa mencapai 2.000 mahasiswa per tahun.
Ganefri mengakui daya tampung di PTN besar karena memiliki jumlah program studi (prodi) yang banyak. Di UNP yang berstatsu PTN-BH, misalnya, kini ada sebanyak 140 prodi dengan jumlah mahasiswa baru sekitar 10.000 orang per tahun. Berbeda di PTS, ada yang hanya punya 5-6 prodi.
Minat masyarakat kuliah di PTN memang besar. Saat UNP membuka prodi kedokteran tahun ini, pendaftarnya mencapai 1.200 orang, padahal kuota yang disediakan 50 orang. ”Padahal, program studi baru dan belum terakreditasi. Namun, peminatnya banyak karena masyarakat yakin dengan kualitas di PTN. Masyarakat sekarang sudah cerdas. Untuk kuliah di PTS, mereka akan memastikan akreditasi dan kualitas lulusan. Jadi, PTS memang harus jeli melihat tren dan menjamin kualitas,” ujar Ganefri.
PTS kecil
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, pada 2023 ada 125 PTN di bawah Kemendikbudristek yang melayani sekitar 3,3 juta mahasiswa. Sementara di 2.982 PTS ada sebanyak 4,5 juta mahasiswa.
Jumlah mahasiswa tahun ini sekitar 9,5 juta orang. Selain di bawah Kemendikbudristek, ada PT yang juga di bawah Kementerian Agama dan kementerian/lembaga. Totalnya 4.523 PTN dan PTS. Angka partisipasi kasar penduduk usia 19-23 sebesar 39 persen, sudah melampaui target RPJMN tahun 2024 yang sebesar 37 persen.
”Untuk akses, sebenarnya dengan jumlah PT yang banyak tidak masalah. Jika tiap PT bisa menampung 5.000 mahasiswa, sudah 22,5 juta mahasiswa, atau lebih banyak dari lulusan SMA/SMK sederajat. Namun, selain memastikan akses, kita juga harus menyiapkan mahasiwa menjadi lulusan PT yang berkualitas dan mampu menghadapi perubahan yang terjadi, termasuk dengan lapangan pekerjaan baru yang muncul,” ujar Nizam.
Menurut Nizam, pemerintah pusat bertanggung jawab menyelenggarkan PT. Namun, dari sisi finansial dan penyelenggaraan, kemampuan pemerintah terbatas. Oleh karena itu, pemerintah mengajak masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendirikan PTS.
Nizam mengatakan, pemerintah terus menunjukkan perhatian dan keberpihakan pada PTS. Kucuran anggaran PTN dan PTS juga mulai proporsional untuk berbagai program unggulan. Selain itu, dalam upaya menyehatkan PTS kecil supaya menjadi besar, ada program unggulan penggabungan PTS yang mendapat dukungan dana dan kemudahan administrasi.
Baca juga : Penggabungan PTS Kecil Dipercepat
Berdasarkan Studi Evaluasi Penataan Kelembagaan Pendidikan Tinggi untuk Peningkatan Kualitas Perguruan Tinggi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tahun 2021, perguruan tinggi di Indonesia didominasi perguruan tinggi kecil dengan jumlah mahasiswa di bawah 2.000 orang.
Kajian Bappenas tersebut dibuat untuk melihat upaya penggabungan dan penyatuan PTS, pendirian atau perubahan perguruan tinggi, pembukaan program studi, dan pembinaan PTS. Terkait penggabungan dan penyatuan PTS, ada sejumlah hambatan, seperti kesulitan memenuhi persyaratan jumlah minimum dosen linier dan luas lahan, kesulitan menggabungkan budaya organisasi yang berbeda antar-PTS, dan kesulitan migrasi data pendidikan tinggi.
Kendala pengembangan mutu utamanya terkait sumber daya manusia dosen dan pembinaan yang terbatas. Di perguruan tinggi kecil, sebagian besar dosen tanpa jabatan. Di sana sulit mencari dosen bergelar doktor dan peluang sertifikasi dosen juga terbatas.
Dengan masih banyaknya perguruan tinggi kategori kecil dan tidak sehat (44 persen atau 1.098 perguruan tinggi) dengan mahasiswa di bawah 2.000 orang dan belum terakreditasi, Kemendikbudristek perlu menyusun strategi afirmasi. Hal itu bisa dilakukan melalui pemberian insentif pada program penggabungan/penyatuan yang lebih optimal, terutama pada sasaran prioritas tersebut.