Banyak Perguruan Tinggi Berskala Kecil dan Tidak Sehat
Tata kelola perguruan tinggi di Indonesia menghadapi hambatan. Peningkatan mutu jadi sulit karena banyak perguruan tinggi swasta kecil dan tidak sehat. Upaya penyehatan yang ditawarkan belum optimal.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perguruan tinggi di Indonesia didominasi perguruan tinggi-perguruan tinggi kecil. Akibatnya, tata kelola menjadi tidak optimal sehingga berpengaruh pada pencapaian mutu pendidikan.
Studi Evaluasi Penataan Kelembagaan Pendidikan Tinggi untuk Peningkatan Kualitas Perguruan Tinggi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tahun 2021 memperlihatkan, perguruan tinggi di Indonesia didominasi perguruan tinggi-perguruan tinggi kecil dengan jumlah mahasiswa di bawah 2.000 orang.
Kajian Bappenas tersebut dibuat untuk melihat upaya penggabungan dan penyatuan perguruan tinggi swasta (PTS), pendirian atau perubahan PT, pembukaan program studi, dan pembinaan PTS. Terkait penggabungan dan penyatuan PTS, ada sejumlah hambatan, seperti kesulitan memenuhi persyaratan jumlah minimum dosen linier dan luas lahan, kesulitan menggabungkan budaya organisasi yang berbeda antar-PTS, dan kesulitan migrasi data pendidikan tinggi.
”Ukuran sistem PT di Indonesia yang besar belum diikuti dengan kualitas yang baik. Kesenjangan mutu antar-PT masih besar. Secara kualitas, akreditasi PT kecil ini kurang baik,” kata Direktur Pendidikan Tinggi dan Iptek Kementerian PPN/Bappenas Tatang Muttaqin di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Tatang menambahkan, peningkatan kualitas perguruan tinggi, khususnya PT kecil, menjadi tantangan yang cukup besar. Kebijakan penyederhanaan jumlah PT program penggabungan/penyatuan PT kecil yang tidak sehat menjadi penting. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas tata kelola PT dan memperkecil disparitas kualitas.
Sementara itu, meski belum optimal, kebijakan moratorium pendirian PT baru atau perubahan bentuk cukup berkontribusi dalam mengendalikan pertumbuhan PT baru.
Kepala Subdirektorat Bidang Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi dan Iptek Kementerian PPN/Bappenas Endang Sulastri mengatakan, hasil analisis pada PT yang mengalami penyesuaian kelembagaan, baik penggabungan/penyatuan maupun perubahan bentuk lembaga, menunjukkan adanya peningkatan kualitas. Proporsi PT terakreditasi B meningkat. Hal ini sekaligus memperlihatkan penurunan jumlah PT terakreditasi C.
”PT sampel mengaku, peningkatan kualitas pasca-penyesuaian kelembagaan bisa terjadi dengan adanya perubahan tata kelola yang lebih baik,” kata Endang.
Kesulitan dosen
Kendala pengembangan mutu utamanya terkait sumber daya manusia dosen dan pembinaan yang terbatas. Di PT kecil, sebagian besar dosen tanpa jabatan. Di sana sulit mencari dosen bergelar doktor dan peluang sertifikasi dosen juga terbatas.
Sementara itu, pembinaan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Kemendikbudristek terhadap PTS bervariasi. Namun, di sisi lain, peran LLDikti juga dipandang hanya memperpanjang rantai birokrasi dari pusat sehingga menghambat proses tata kelola.
Selain itu, ada juga hambatan seperti kualitas sumber daya manusia operator yang belum optimal, jauhnya jarak antara kantor LLDikti dan sebaran PT binaan, serta pendanaan yang seragam tanpa mempertimbangkan kondisi geografis/luas perguruan tinggi binaan.
Menurut Tatang, Kemendikbudristek perlu mempertegas implementasi kebijakan penataan kelembagaan PT dengan mengendalikan usulan pengembangan kelembagaan PT yang masuk sebelum periode kebijakan moratorium diterapkan. Sinkronisasi dengan kebijakan Rancangan Peraturan Pemerintah PT Kementerian/Lembaga juga perlu dilakukan.
Ia menambahkan, dengan masih banyaknya PT kategori kecil dan tidak sehat (44 persen atau 1.098 perguruan tinggi) dengan mahasiswa di bawah 2.000 orang dan belum terakreditasi, Kemendikbudristek perlu menyusun strategi afirmatif. Hal itu bisa dilakukan melalui pemberian insentif pada program penggabungan/penyatuan yang lebih optimal, terutama pada sasaran prioritas tersebut.
Terkait kinerja LLDikti, secara kelembagaan, Kemendikbudristek perlu meninjau ulang efisiensi fungsi dan peran lembaga tersebut ke depan serta memastikan peran dan fungsinya dalam pengembangan pemetaan mutu PT secara optimal. ”Pemetaan mutu PT harus dimanfaatkan sebagai instrumen yang efektif dalam penyusunan intervensi kebijakan di wilayah masing-masing,” kata Tatang.