Sebagian besar perguruan tinggi swasta masih bergulat untuk meningkatkan mutu dan menjadi institusi yang sehat. Karena itu, dukungan pemerintah dinantikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian perguruan tinggi swasta kesulitan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan lembaga. Namun, para pengelola perguruan tinggi swasta merasa kurang mendapat dukungan kebijakan dan anggaran dari pemerintah. Padahal, keberadaan institusi pendidikan tinggi swasta turut menentukan daya saing sumber daya manusia Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan rapat dengar pendapat umum bersama Panitia Kerja Perguruan Tinggi Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pimpinan dan badan penyelenggara perguruan tinggi swasta (PTS) mengungkapkan banyak PTS kesulitan bertahan. Apalagi terjadi persaingan ketat memperebutkan mahasiswa baru seiring adanya berbagai masuk jalur perguruan tinggi negeri (PTN), khususnya jalur mandiri.
Selain itu, PTS keberatan dengan keharusan akreditasi program studi lewat lembaga akreditasi mandiri (LAM) yang biayanya hingga puluhan juta rupiah. Ada pula keluhan mengenai berbagai pungutan pajak padahal PTS merupakan lembaga nirlaba hingga dukungan pendanaan minim bagi PTS yang membutuhkan, terutama untuk penyediaan dosen dan beasiswa kuliah bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggara PTS (ABPTSI) Thomas Suyatno, di Jakarta, Selasa (4/10/2022), mengatakan akses kuliah anak muda Indonesia terbatas. Saat ini, angka partisipasi kasar (APK) PT berkisar 34,58 persen. Artinya, akses berkuliah dibutuhkan, termasuk di PTS. Terdata sebanyak 3.032 PTS, tetapi 50-60 persennya kurang sehat dan harus segera disehatkan.
”Kami tidak menghendaki pencabutan izin PTS, sebab ada banyak cara menyehatkan PTS, dengan merger, akuisisi, dan cara lain. Semestinya ada kolaborasi berbagai komponen bangsa memecahkan masalah di PTS karena pendidikan menjadi roh proklamasi. Namun, kita merasakan kesenjangan lebar PTN dan PTS,” kata Thomas.
Ketua Umum Asosiasi PTS Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan, penjaminan mutu PT harus jadi komitmen pimpinan dan penyelenggara PT. Namun, kondisi saat ini diperkirakan ada 1.500 PTS belum terakreditasi institusi dengan berbagai permasalahan.
Sementara itu, penting pula untuk memastikan PTN untuk tidak mengeruk mahasiswa lewat jalur mandiri yang nyatanya berbiaya tinggi. Akibat dibukanya jalur mandiri dengan banyak jalur masuk, bahkan untuk PTN badan hukum maksimal 50 persen, PTS kekurangan mahasiswa.
Semestinya ada kolaborasi berbagai komponen bangsa memecahkan masalah di PTS karena pendidikan menjadi roh proklamasi. Namun, kita merasakan kesenjangan lebar PTN dan PTS.
Budi menyayangkan selama ini belum terjadi komunikasi yang baik dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim untuk bersama-sama mengatasi persoalan di PTS.
Pemerintah dinilai mendikotomi PTN dan PTS dalam kebijakan, termasuk dukungan anggaran yang minim untuk PTS dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Kami juga meminta supaya KIP (Kartu Indonesia Pintar) kuliah bisa diberikan secara adil untuk PTS kecil yang mahasiswanya membutuhkan dukungan pendanaan untuk kuliah,” kata Budi.
Sementara Ketua Konsorsium PTS Indonesia Maskuri menyoroti pembiayaan LAM yang jadi beban dari PTS. Padahal, selama ini akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) gratis. ”Kemunduran kalau LAM tidak dibantu pemerintah. Padahal, akreditasi selama ini dibiayai pemerintah sebagai wujud komitmen pada penjaminan mutu,” tuturnya.
Biaya akreditasi program studi (prodi) yang dilakukan LAM di atas Rp 50 juta, jika ada banding, maka biayanya bertambah lagi hampir Rp 30 juta. Padahal, unit cost akreditasi yang ditanggung pemerintah selama ini berkisar Rp 30 juta. Biaya yang dikenakan LAM tersebut dinilai membebani PTS terutama yang menghadapi kesulitan akibat pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir ini.
Ekspansi PTN
Maskuri juga menyoroti ekspansi PTN dalam merekrut mahasiswa baru lewat jalur mandiri yang disebutnya sebagai “kapal keruk”. Padahal, PTN seharusnya berorientasi mutu. ”Kebijakan penerimaan mahasiswa baru oleh PTN lewat jalur mandiri membuat PTS mengeluh pada langkah PTN. Perlu penetapan kuota jumlah mahasiswa baru PTN dari pemerintah, sebaiknya hanya ada jalur masuk nasional,” katanya.
Terkait jalur mandiri PTN, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim beberapa waktu lalu mengatakan pemerintah sudah menetapkan aturan bagi tiap PTN untuk transparan melaporkan kuota mahasiswa baru lewat jalur mandiri, demikian pula dalam pengumumannya agar akuntabel. Perbaikan ini untuk memastikan penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kemampuan belajar calon mahasiswa, bukan karena kondisi sosial ekonomi.
Menurut Rektor Universitas YARSI Jakarta Fasli Jalal, di jenjang pendidikan anak usia dini hingga pendidikan dasar dan menengah, pemerintah menyediakan bantuan operasional pendidikan (BOP) atau bantuan operasional sekolah (BOS) yang besarannya sama untuk siswa negeri dan swasta. Kebijakan BOP juga sebenarnya bisa diberikan untuk mahasiswa PTS.
”Kita menyepakati mutu dengan menyepakati aturan main sehingga perlakuan pemerintah sama. Adanya biaya operasional untuk mahasiswa bisa menjamin mutu dasar juga bisa dilaksanakan PTS,” kata Fasli.
Adapun kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dinilai baik dalam tataran ide atau konsep dan didukung guna meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi. Namun, pelaksanaannya membutuhkan kejelasan dan dukungan agar PTS kecil dan di daerah mampu menyiapkan diri memenuhi tuntutan kebijakan pemerintah agar MBKM dilaksanakan di PT.