Transformasi Sistem Pendidikan Atasi Kesenjangan Pembelajaran
Pemerintah menyatakan, transformasi pendidikan yang dipicu pandemi Covid-19 mulai menuai hasil.
JAKARTA, KOMPAS — Krisis belajar di Indonesia akibat kesenjangan pembelajaran yang sudah berlangsung lama dan diperkuat lagi dengan dampak kehilangan pembelajaran atau learning loss akibat pandemi Covid-19 membutuhkan transformasi sistem pendidikan yang menyeluruh. Transformasi sistem pendidikan yang selama ini berjalan lambat, bahkan seolah stagnan, kini mengindikasikan terjadi pemulihan.
Pandemi Covid-19 menghasilkan kesenjangan belajar (learning gap) dan kehilangan belajar yang tinggi. Pembelajaran selama 12 bulan saat penutupan sekolah di masa pandemi hanya efektif 5-6 bulan sebelum pandemi sehingga terjadi penurunan hasil belajar siswa. Kesenjangan hasil belajar ini semakin besar dialami oleh kelompok sosial ekonomi yang rentan, seperti anak-anak di daerah tertingga, terdepan, terluar (3T); keluarga miskin; serta kelompok disabilitas.
”Krisis pembelajaran sudah lama terjadi, salah satunya kompetensi literasi dan numerasi masih banyak di bawah standar minimum. Reaksi yang muncul menunjuk guru karena kompetensinya tidak benar. Padahal, sistem pendidikan juga punya banyak tantangan sehingga pembelajaran tidak terjadi,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran, di Jakarta, Selasa (26/9/2023). Buku ini hasil kolaborasi Badan Standar Kurikulum Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek, dan program INOVASI.
Pandemi membuka jendela kesempatan untuk menjustifikasi kita menghentikan krisis pendidikan yang sudah lama terjadi di Indonesia.
Nadiem mengatakan, kebijakan ujian nasional (UN) membuat fokus pembelajaran menjadi penghafalan informasi. Hal ini membuat para guru tidak berfokus pada siswa dalam pembelajaran. Fokusnya pada pemerintah karena hasil pendidikan dilihat dari UN. Lalu, kurikulum harus dilaksanakan sangat rigid dengan banyak materi sehingga pembelajaran oleh guru dilakukan dengan sistem ”kejar tayang”.
”Karena belajar kejar tayang, para guru tidak peduli apakah para siswa mengerti atau tidak, terus saja maju. Akibatnya, anak-anak ketinggalan. Guru juga dibebani sebagai administrator pendidikan yang akuntabilitasnya mengacu pada kepala sekolah, lalu kepala sekolah ke pengawas, pengawas ke dinas pendidikan, dan dinas ke pemerintah pusat. Akuntabilitasnya melihat ke atas, bukan pada siswa,” ujar Nadiem.
Ia memaparkan, sistem pendidikan yang berbeda kini mulai dilakukan dengan transformasi kebijakan Merdeka Belajar. Pandemi justru mendorong pemerintah untuk serius dan komprehensif melakukan perubahan sistem pendidikan yang selama ini berjalan pelan/stagnan.
Menurut Nadiem, di masa pandemi Covid-19, banyak kebijakan yang dikeluarkan atas nama pemulihan yang sebenarnya sudah lama harus dilakukan. Krisis pembelajaran akibat penutupan sekolah digunakan untuk mengakselerasi perubahan yang tadinya sangat lambat menuju inovasi di sistem pendidikan.
”Tadinya susah untuk meyakinkan banyak pihak bahwa krisis pembelajaran terjadi bukan karena pandemi saja, tapi sudah puluhan tahun. Jadi, pandemi membuka jendela kesempatan untuk menjustifikasi kita menghentikan krisis pendidikan yang sudah lama terjadi di Indonesia,” kata Nadiem.
Baca juga : Mengatasi Krisis Pembelajaran Tak Berpreseden
Salah satunya, dengan perubahan kurikulum yang akuntabilitasnya kini berfokus pada murid. Kurikulum Merdeka memangkas sekitar 30-40 persen bobot materi di Kurikulum 2013 dan membuka kesempatan bagi para guru untuk mendesain kurikulum yang sesuai dengan kondisi siswa dan sekolah. Kurikulum Merdeka juga memberi kebebasan bagi guru untuk mudur 1-2 tahun jika siswa dinilai sangat tertinggal dari hasil asesmen awal. Guru pun akan mengajar secara tepat sesuai level kemampuan anak sehingga pemulihan bisa terjadi.
Program lainnya adalah pengiriman buku-buku teks dan bacaan untuk sekolah-sekolah di daerah 3T, termasuk mengirimkan mahasiswa lewat program Kampus Mengajar untuk mendampingi penguatan literasi dan numerasi serta teknologi digital. Selain itu, ada juga pengalokasian dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang berbeda untuk daerah 3T sehingga ada peningkatan 30-50 persen.
Hal ini ditujukan untuk mendukung pendidikan pada kelompok sosial ekonomi rentan agar dapat keluar dari ketertinggalan. Selain itu, ada pula pemanfaatan teknologi digital yang menyasar lebih dari 300.000 sekolah.
Indikasi pemulihan
Sementara itu, Kepala BSKAP Anindito Aditomo mengatakan, buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran istimewa karena bukan sekadar menampilkan kajian akademik. Buku ini menampilkan hasil kajian yang berakar pada upaya nyata transformasi pendidikan kerja sama Pemerintah Australia dan Indonesia lewat program INOVASI. Program INOVASI yang selaras dengan Merdeka Belajar dilakukan di Jawa Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
”Buku ini menyajikan hasil penelitian yang kebetulan bisa membandingkan kondisi pendidikan sebelum dan setelah pandemi. Ini adalah satu dari sedikit kajian di Indonesia dan dunia yang bisa melihat secara longitudinal dampak dari pandemi dan pemulihannya. Dengan data itu, kita bisa mengestimasi berapa kehilangan pembelajaran, yakni sekitar 5-6 bulan dalam 12 bulan dibanding sebelum pandemi,” papar Anindito.
Ia menambahkan, dari kajian juga ditemukan hal yang menggembirakan. Ada indikasi pemulihan pembelajaran rata-rata sekitar dua bulan.
Baca juga : Kurikulum Merdeka Pacu Peningkatan Kualitas Pembelajaran
”Yang menggembirakan sekaligus validasi dari indikasi pemulihan ini sebagai hasil dari esensi Merdeka Belajar. Kebijakan Merdeka Belajar meminta para guru melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada anak, memahami anak dengan asesmen diagnostik, memahami pembelajaran berkualitas, dan penerapan kurikulum yang disesuaikan karakteristik sekolah. Untuk sekolah yang melaksanakan Kurikulum Merdeka, pemulihannya dua kali lipat, yakni empat bulan dibandingkan yang masih dengan Kurikulum 2013 secara utuh. Hal ini juga sebagai validasi awal pemulihan pembelajaran dan peningkatan kualitas pembelajaran terjadi,” kata Anindito.
Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Stephen Scott mengatakan, pendidikan menjadi hal yang penting untuk kemajuan bangsa. Karena itu, pendidikan berkualitas bagi anak-anak dan kaum muda harus diwujudkan secara serius.
Stacia Alessandra Nau, guru kelas 2 di SDN Inpres Rata, Kabupaten Nagakeo, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, saat pandemi belajar jarak jauh tidak efektif karena terkendala akses internet dan ketiadaan gawai (gadget). Guru-guru berupaya mendatangi siswa di rumah yang lokasinya jauh.
Namun, tidak semua anak dapat belajar secara efektif karena keterbatasan waktu. Bahkan, ada anak yang tidak bisa dijumpai di rumahnya karena diajak bekerja di kebun oleh orangtua atau tidak ada di kampung.
Baca juga: Perjuangan Guru Mengawal Pendidikan di Pedalaman
Ketika sekolah kembali dibuka, terjadi learning loss pada siswa. Anak-anak yang sudah bisa membaca menjadi lupa lagi, terutama di kelas rendah, apalagi siswa kelas 1 SD.
”Kami berefleksi untuk memperbaiki, tapi selama ini kebiasaan mengajar untuk semua siswa sama. Lalu masuk program INOVASI ke sekolah. Para guru diajarkan cara mengajar siswa membaca, mulai dengan asesmen diagnostik untuk mengetahui level kemampuan sehingga pembelajaran sesuai level kemampuan,” kata Stacia.
Mulai 2023, sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka di kelas 1, 3, dan 5, serta para guru mulai melakukan aksi nyata yang diunggah di Platform Merdeka Mengajar (PMM). ”Kami melihat Kurikulum Merdeka memberi kebebasan guru untuk berekspresi dan membuat perangkat belajar serta merencanakan pembelajaran dengan karakteristik yang relevan dengan siswa dan sekolah. Sekarang kami lebih melihat kebutuhan siswa dalam belajar,” kata Stacia.
Bupati Bulungan, Kalimantan Utara, Syawarni mengatakan, tahun 2016 ditemukan keterampilan membaca pada banyak siswa kelas 4 SD masih kurang. Padahal, keterampilan dasar literasi dan numerasi di kelas awal mendukung peningkatan kualitas belajar di kelas atas. Lalu, pada tahun 2017 dimulai langkah perubahan, salah satunya dengan dukungan program INOVASI untuk menguatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa kelas 1-3 SD.
Para guru mendapatkan penguatan dan pendampingan lewat kelompok kerja guru (KKG) serta kelompok kerja kepala sekolah (KKS) untuk memastikan keterampilan dasar membaca dan menghitung sudah dikuasai di kelas awal. Tiap sekolah diberi kebebasan untuk berinovasi mengatasi masalah sesuai kondisi. Bahkan, di dalam APBD ada BOS daerah senilai Rp 2,1 miliar untuk menyediakan buku-buku bacaan anak untuk mendukung penguasaan kemampuan pemahaman membaca.