Ruang Hidup Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Hadapi Tekanan
Ruang hidup masyarakat adat dalem tamblingan di Bali menghadapi sejumlah tekanan dari sejumlah pihak, mulai dari kegiatan eksploitasi, investasi, hingga ketiadaan regulasi. Pengakuan hutan adat pun mendesak dilakukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Lanskap Danau Tamblingan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, Selasa (19/9/2023). Danau Tamblingan merupakan satu dari tiga danau kembar yang terbentuk dalam sebuah kaldera besar dan terus dijaga kelestariannya oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.
BULELENG, KOMPAS — Ruang hidup masyarakat adat dalem tamblingan di Bali menghadapi sejumlah tekanan dari sejumlah pihak, mulai dari kegiatan eksploitasi, investasi, hingga ketiadaan regulasi untuk melindungi komunitas tersebut. Pengakuan terhadap wilayah dan hutan adat masyarakat ini mendesak dilakukan agar ruang hidup mereka tetap terjaga.
Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) Putu Ardana menyampaikan, seiring dengan perkembangan zaman, MADT menghadapi sejumlah tekanan yang bisa merenggut ruang hidup masyarakat. Tekanan ini mayoritas berasal dari pihak luar, khususnya investor yang berusaha mengeksploitasi hutan adat untuk kegiatan pariwisata.
”Kami sering menghadapi beberapa investor yang masuk dan sudah membawa izin dari pemerintah untuk membangun fasilitas pariwisata di hutan suci kami. Kemudian sejak Indonesia merdeka, hutan suci kami juga diklaim sebagai milik negara,” ujarnya saat ditemui di Desa Gobleg, Kabupaten Buleleng, Bali, Selasa (19/9/2023).
Menurut Putu, hutan suci di wilayah MADT yang dikenal sebagai Alas Mertajati ini terus diturunkan statusnya hingga menjadi taman wisata alam. Dengan penurunan status tersebut, para investor bisa masuk ke wilayah MADT untuk menjalankan kegiatan pariwisata.
Kami sering menghadapi beberapa investor yang masuk dan sudah membawa izin dari pemerintah untuk membangun fasilitas pariwisata di hutan suci kami.
Ketiadaan pengakuan ini membuat MADT tidak bisa melindungi wilayah adatnya, khususnya Alas Mertajati. Bahkan, tidak sedikit ditemukan kasus perburuan secara ilegal oleh pihak luar sehingga mengancam kelestarian flora dan fauna yang terdapat di dalam kawasan Alas Mertajati.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Putu Ardana
Salah satu upaya yang dilakukan MADT untuk mempertahankan ruang hidupnya ialah dengan cara mengajukan pengakuan Alas Mertajati sebagai hutan adat kepada pemerintah sejak tahun 2019. Saat ini, Alas Mertajati dengan luas 1.300 hektar merupakan bagian dari Cagar Alam Batukau yang memiliki luas total 16.000 hektar. Sementara Cagar Alam Batukau merupakan penyuplai sepertiga kebutuhan air di Pulau Bali.
Dalam proses pengajuan Alas Mertajati sebagai hutan adat, MADT telah melaksanakan pemetaan partisipatif yang mencakup pemetaan spasial, sosial budaya, hingga potensi ekonomi. Bahkan, masyarakat dengan dibantu Yayasan Wisnu juga telah menginventarisasi keanekaragaman hayati flora dan fauna yang terdapat di Alas Mertajati.
”Dari hasil inventarisasi terlihat kualitas hutan menurun. Tutupan pohon sudah banyak berkurang, termasuk tanaman hias endemik, seperti anggrek Vanda tricolor. Fauna seperti babi hutan dan ijah atau monyet hitam juga sudah punah,” ujarnya.
Awalnya, sekitar tahun 900 Masehi, leluhur MADT tinggal di sekitar danau sebagai sebuah komunitas. Namun, pada abad ke-14, MADT memutuskan untuk berpindah dari wilayah tersebut ke area yang lebih rendah. Sebab, MADT menganggap danau dan hutan sebagai sumber utama kehidupan sehingga harus dijaga kelestariannya.
”Kami menganggap hutan dan danau sebagai kawasan suci. Bagi kami, seluruh hutan dan danau adalah pura. Jadi, bila dibawa ke istilah konservasi modern, hutan dan danau ini merupakan kawasan inti yang tidak boleh diganggu,” kata Putu.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Putu Ardana di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, Selasa (19/9/2023), tengah menjelaskan batas hutan adat di peta yang masih terus ditunggu proses pengakuannya oleh pemerintah. Pengakuan hutan adat ini sangat penting agar masyarakat adat dalem tamblingan bisa terus menjaga dan melestarikan area yang disucikan tersebut.
Berdasarkan catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luas wilayah adat MADT mencapai 7.015 hektar dengan kondisi fisik pegunungan dan perbukitan. Wilayah adat MADT tersebar di empat desa, yakni Umajero, Gobleg, Munduk, dan Gesing.Adapun sistem penguasaan dan pengelolaan wilayah adat ini dikelola secara pribadi dan komunal.
Kendala pengesahan
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala BRWA Kasmita Widodo mengutarakan, usulan hutan adat MADT telah disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak Februari 2021. Namun, usulan tersebut sampai sekarang belum disetujui karena masih terdapat kendala terkait pengesahan berupa surat keputusan (SK) dari kepala daerah.
”Jadi, memang masih ada segmen batas yang belum selesai untuk satu desa. Hal ini sudah dikomunikasikan kepada pemerintah daerah untuk membantu fasilitasi, tetapi memang belum dilakukan. Hal ini menjadi alasan KLHK untuk belum memverifikasi hutan adat MADT karena masih diminta untuk menyelesaikan SK pengakuan,” katanya.
Kasmita menekankan, komitmen pemda untuk fasilitasi dan menetapkan SK merupakan salah satu faktor penting dalam upaya mempercepat pengakuan hutan adat. Di sisi lain, pemerintah pusat, khususnya setiap unit direktorat jenderal di KLHK, juga perlu meningkatkan koordinasi untuk menyelesaikan usulan hutan adat di wilayah konservasi.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Salah satu pura yang terdapat di Kawasan Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, Selasa (19/9/2023).
”Jadi, sebenarnya dari segi kebudayaan dan fakta lapangan, penetapan hutan adat tamblingan akan membuat fungsi wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan fungsi yang ada sekarang, yakni taman wisata alam,” ucapnya.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Daerah Kabupaten Buleleng Gede Suyasa menyebut bahwa permohonan hutan adat dari MADT dari pemetaan ini sudah diusulkan sejak satu tahun lalu. Namun, bupati saat itu masih belum berani memberikan tanda tangan atau pengesahan karena masih memerlukan verifikasi.
”Usulan masih dikoordinasikan dengan lembaga yang mempunyai kewenangan tentang pembuatan peta, khususnya terkait deliniasi wilayah dengan desa yang berbatasan,” katanya.