Pekan Komponis Indonesia Merawat Ekspresi Komposer Muda
Sejak awal, Pekan Komponis Indonesia tidak bertujuan untuk membesarkan nama setiap komposer secara langsung. Namun, DKJ berharap wadah ini menjadi titik awal bagi para komposer muda menjadi besar di masa depan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekan Komponis Indonesia 2023 memberi kebebasan bagi kelima komposer muda terpilih untuk sebebas-bebasnya mengekspresikan karya mereka tanpa batasan tema tertentu. Selama dua hari, 14 dan 15 September 2023, mereka menampilkan karya dengan gaya yang berbeda-beda di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ada yang berkreasi dengan bunyi-bunyian di meja makan hingga memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan.
Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Arham Aryadi mengatakan, sejak dimulai dengan nama ”Pekan Komposis Muda” pada 1979, acara ini tidak bertujuan untuk membesarkan nama setiap komposer secara langsung. Namun, DKJ mengharapkan Pekan Komponis Indonesia ini menjadi titik awal bagi para komposer muda untuk semakin berkembang melalui karya-karyanya.
”Kami bukan ingin penonton bisa terhibur, dalam arti bukan menjadi tujuan utamanya. Dari tahun 1979, efek yang dirasakan para komposer ini bukan untuk langsung berhasil, butuh waktu. Jadi, proses ini sangat penting. Pekan komponis tidak menjanjikan apa pun di awal, apalagi hal-hal yang instan,” kata Arham dalam diskusi karya kelima komposer di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Pekan Komponis Indonesia selama ini sudah menghasilkan komponis yang diakui secara internasional, di antaranya Otto Sidharta, Djadug Ferianto, Blasius Subono, dan Franki Raden. Mereka adalah komposer yang dikenal menawarkan ekspresi musikal yang berbeda dari kebiasaan musik yang sering didengar di radio atau platform digital kekinian.
Kelima komposer muda yang dipilih DKJ adalah Hadi Suhendra dari Padang, Hery Kristian dari Yogyakarta, Marisa Sharon Hartanto dari Jakarta, Stevie Jonathan Sutanto dari Jakarta, dan Yashinta Anggar Kusuma dari Bali. Mereka berasal dari kalangan yang beragam, mulai dari praktisi, akademisi, hingga komposer yang pernah mengeyam pendidikan komposisi musik di beberapa kampus dalam dan luar negeri, seperti Austria dan Inggris.
Hadi Suhendra alias Angga Mozaik menawarkan komposisi musikal yang terinspirasi dari bunyi-bunyian yang bisa didengar dalam kehidupan sehari-hari. Pria kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 1991 itu melihat bunyi-bunyi tersebut sebenarnya menjadi satu suara utuh yang mewarnai satu peristiwa tertentu.
Karya berjudul Indeterminate yang dibawakannya menelusuri ruang dan waktu yang acak disajikan dalam bentuk musik mozaik. Dengan alat alto saksofon dan gitar klasik, ia berupaya menghadirkan peristiwa keheningan yang menguduskan gejala kegiatan manusia atau sublimatif.
”Pikiran yang saya tawarkan melalui karya ini bagaimana saya membawa suara-suara di meja makan saya ketika ibu sedang menggoreng di dapur, kemudian di jalan ada kendaraan, suara-suara itu muncul di telinga kita saat di ruang makan,” kata Hadi.
Berbeda dengan Hadi, Stevie J Sutanto yang mengeksplorasi berbagai suara di sekitar dengan lalu diproses dengan kecerdasan buatan bernama auto encoder dipadukan menjadi satu karya berjudul Latent Instruments #1. Karya-karya Stevie telah mendapat pengakuan internasional dan telah ditampilkan oleh ansambel ternama, seperti Duo Amrein, Ensemble Modern, Grupo 20/21, Quatuor Tana, NAMES Ensemble, dan Quatuor Bozzini di berbagai festival, dan acara bergengsi di seluruh dunia.
”(Dengan piano, bas elektrik, dan laptop) kami berimprovisasi di atas bunyi-bunyian yang sudah disusun ke dalam ruang dua dimensi tersebut,” kata Stevie.
Adapun para kurator yang memilih mereka berlima adalah Patrick Gunawan Hartono, seorang komposer elektroakustik, seniman audiovisual, dan peneliti musik. Patrick meraih gelar doktor dalam bidang Komposisi Interaktif dari University of Melbourne, Australia. Salah satu pencapaiannya adalah pernah menjadi komposer residensi di Pusat Musik Eksperimental dan Intermedia di University of North Texas pada 2022.
Pekan Komponis Indonesia memberi ruang dan menjaga napas kekaryaan seorang komposer. Lebih jauh, acara ini menjadi salah satu upaya membuka ruang penciptaan karya yang mewadahi komposer Tanah Air. Ruang pertemuan ini juga bisa memperluas jaringan dan distribusi pengetahuan serta informasi seputar komposisi musik.