Isu Perubahan Iklim dan Transisi Energi Belum Jadi Fokus Partai Politik
Isu terkait perubahan iklim dan transisi energi belum menjadi perhatian serius bagi partai politik di Indonesia. Hal ini patut menjadi pertimbangan, terutama bagi pemilih muda yang memiliki kepedulian lebih pada isu itu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan politik hijau, terutama terkait isu perubahan iklim dan transisi energi, sudah mulai dibicarakan oleh hampir semua partai politik di Indonesia. Akan tetapi, pembahasan tersebut masih sekadar sebagai isu permukaan saja dan belum menjadi fokus utama dari setiap partai politik. Padahal, kepedulian pemilih muda akan isu tersebut semakin besar.
Belum seriusnya partai politik terhadap isu perubahan iklim dan transisi energi ditunjukkan dari hasil analisis Yayasan Indonesia Cerah atas pemberitaan dari media massa daring selama 2019-2023. Meski hampir semua partai sudah membicarakan kedua isu tersebut, pembahasan belum dilakukan secara bermakna.
Peneliti yang juga menjadi Associate Bidang Just Energy Transition dari Yayasan Indonesia Cerah Wicaksono Gitawan saat mempresentasikan hasil analisis tersebut di Jakarta, Rabu (13/9/2023), mengatakan, sebagian besar partai politik, khususnya partai yang lolos ambang batas Pemilu 2019 hingga 2023, belum menempatkan isu perubahan iklim dan transisi energi dalam perangkat partainya. Pemilihan agenda atau agenda setting dari partai politik pun belum terlalu kuat menyikapi kedua isu tersebut. Hal itu terlihat dari minimnya kebijakan partai dan komentar yang umumnya hanya bersifat reaktif.
Sebagian besar partai politik belum menempatkan isu perubahan iklim dan transisi energi dalam perangkat partainya. Pemilihan agenda atau agenda setting dari partai politik pun belum terlalu kuat menyikapi kedua isu tersebut.
”Sering kali kader partai menyampaikan usulan kebijakan mengenai perubahan iklim dan transisi energi, tetapi tidak ada tindak lanjut. Pembahasan juga sering kali terhenti sehingga tidak ada kebijakan dan program tertulis yang dihasilkan yang dapat menjadi pegangan bagi setiap kadernya,” katanya.
Wicaksono menambahkan, pembahasan isu perubahan iklim dan transisi energi juga belum dianggap sebagai hal penting oleh partai politik. Kata kunci yang disampaikan oleh partai terkait kedua isu tersebut sering kali tidak dibahas secara bermakna.
Pembahasan pun tidak didiskusikan secara detail sehingga pemilihan energi dalam transisi energi tidak benar-benar berkelanjutan. Promosi yang disampaikan menjadi semu dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dari hasil analisis isu perubahan iklim, Wicaksono menuturkan, hanya ada dua partai yang memiliki platform khusus untuk membicarakan isu lingkungan, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) melalui platform Birukan Langit Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui Indonesiaku Hijau. Sementara itu, hanya ada empat partai yang mengakui pentingnya dekarbonisasi industri dalam aksi iklim, yaitu PKS, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
”Sebagian besar partai politik juga belum menjadikan perempuan, buruh, penyandang disabilitas, dan kaum marjinal sebagai elemen yang dipertimbangkan dalam isu perubahan iklim. Padahal, kebijakan iklim harus bisa mengakomodasi semua pihak secara inklusif,” tutur Wicaksono.
Transisi energi
Peneliti lain yang juga Associate Bidang Climate and Youth Communications Yayasan Indonesia Cerah Rafaela Xaviera mengatakan, pembahasan pada isu transisi energi yang paling dominan dibahas oleh partai politik, antara lain, kendaraan listrik, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan, energi terbarukan dan energi baru terbarukan, serta target energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional.
Ia menyampaikan, terkait transisi energi berkeadilan, aspek keadilan yang banyak menjadi pembahasan sejak Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia diluncurkan pun belum memiliki definisi yang diakui secara kolektif dan dibahas oleh partai politik yang ada di parlemen. ”Belum ada partai politik yang membahas aspek keadilan dalam transisi energi. Pembahasan isu ini cenderung berada di level teknokratis,” katanya.
Menanggapi hasil analisis Yayasan Indonesia Cerah, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) Ahmad Fathul Bari menuturkan, isu lingkungan dan iklim memang masih perlu didorong sebagai gagasan politik. Sebagian masyarakat juga masih belum sadar akan isu tersebut yang sebenarnya dampaknya sudah terjadi saat ini.
”Politik kita juga jarang membahas mengenai substansi isu iklim. Itu sebabnya kita akan dorong agar terjadi pengarusutamaan isu iklim dan lingkungan,” ujarnya.
Inisiator Bijak Memilih, Andhyta F Utami, menyampaikan, isu krisis iklim dan kerusakan lingkungan merupakan satu dari lima isu strategis yang menjadi perhatian pemilih pemula usia di bawah 40 tahun. Hal ini patut untuk dipertimbangkan sebab 55 persen atau 107 juta pemilih pada pemilu 2024 merupakan pemilih muda.
”Jadi, sangat penting untuk menyajikan solusi atas isu strategi bagi pemilih muda. Solusi yang dihadirkan seharusnya sesuai dengan yang dibutuhkan dengan skala yang tepat. Rekam jejak dan konsistensi dari partai politik pun akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat,” ujarnya.