Keputusan Politik Sangat Berpengaruh pada Isu Lingkungan
Banyak pandangan kerusakan lingkungan disebabkan rendahnya pengetahuan, pendidikan, kesadaran lingkungan, dan pendapatan masyarakat, ternyata karena orientasi dan motif ekonomi politik dalam mengakses sumber alam.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan di sejumlah wilayah umumnya disebabkan perilaku manusia. Namun, lebih jauh, hal itu terjadi karena keputusan dan langkah-langkah politik yang diambil pemangku kebijakan setempat.
Pengajar di Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Soeryo Adiwibowo, menjelaskan, banyak orang memandang kerusakan lingkungan disebabkan pengetahuan, pendidikan, kesadaran lingkungan, hingga pendapatan masyarakat yang masih rendah. Namun, fakta menunjukkan, krisis lingkungan terjadi karena orientasi dan motif ekonomi politik dalam mengakses sumber-sumber daya alam.
Semua masalah tersebut karena adanya kepentingan terhadap akses sumber-sumber alam dan lingkungan hidup. (Soeryo Adiwibowo)
”Ada juga masalah kelembagaan seperti kebijakan ekonomi yang eksploitatif, sektoral, hak penguasaan sumber daya alam (SDA) oleh negara, dan perilaku KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Semua masalah tersebut karena adanya kepentingan terhadap akses sumber-sumber alam dan lingkungan hidup,” ujar Soeryo dalam diskusi daring, Rabu (29/7/2020).
Krisis lingkungan di Indonesia juga lebih banyak disebabkan lemahnya tata kelola dan ketidakjelasan rezim penguasaan SDA milik bersama. Di sisi lain, ketika penguasaan SDA tersebut bersifat privat, justru terjadi ketidakpastian hak-hak kepemilikan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, dampak ekologi politik ini terjadi karena ketidakpatuhan sejumlah pihak terhadap aturan tentang lingkungan yang telah ditetapkan. Ironisnya, sejumlah pihak tersebut kerap didukung oleh kebijakan dari pemerintah daerah.
Hal tersebut juga ditegaskan dari hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018 tentang bentuk ikatan politik antara pemerintah daerah dan swasta. Hasil survei menunjukkan, harapan donatur kepada calon kepala daerah mayoritas adalah agar diberikan keamanan dalam menjalankan bisnis dan mendapat kemudahan perizinan.
Meski isu lingkungan sangat dekat terhadap persoalan politik, Hariadi menilai pendekatan tata kelola dan ekologi politik masih dikembangkan secara terbatas. Pendekatan ini sangat penting untuk mengetahui mengapa kebijakan yang telah dibuat dan penegakan hukum tidak berjalan optimal.
Salah satu kebijakan yang dianggap belum berjalan adalah Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
”Karena lebih banyak didorong oleh kepentingan dan perimbangan kekuatan politik, peran masyarakat sipil terhadap isu lingkungan diharapkan terus diperkuat,” ungkapnya.
Dunia internasional
Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Agustaviano Sofjan mengatakan, saat ini telah banyak perjanjian internasional terkait pembangunan yang mengedepankan aspek lingkungan.
Sebagai contoh, pada 2015 dibuat Perjanjian Paris terkait perubahan iklim yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan setiap negara. Sementara pada masa pandemi, negara-negara di dunia yang terkena krisis akibat Covid-19 juga mulai menerapkan kebijakan pemulihan ekonomi yang seiring dengan aspek kesehatan.
Sofjan mengakui tantangan isu lingkungan hidup dalam hubungan internasional tidak bisa dilihat dari perspektif ekologi semata. Namun, perlu perspektif yang lebih luas, yaitu dengan melibatkan disiplin ilmu lainnya, salah satunya politik.
”Dengan perkembangan saat ini, isu lingkungan yang tadinya low politics naik menjadi high politics meski pembahasan masih alot. Misalnya sekarang isu perubahan iklim sudah dibahas di Dewan Keamanan PBB,” ujarnya.
Sofjan memastikan isu pembangunan dan keamanan menjadi salah satu prioritas Indonesia dalam majelis Dewan Keamanan PBB. Indonesia juga tetap berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 sesuai dengan target Perjanjian Paris.
Indonesia akan berperan aktif dalam memajukan diplomasi lingkungan hidup dan melihat ekologi politik ini menjadi perspektif yang luas. (Agustaviano Sofjan)
”Indonesia akan berperan aktif dalam memajukan diplomasi lingkungan hidup dan melihat ekologi politik ini menjadi perspektif yang luas. Keaktifan Indonesia ini tidak hanya dalam forum PBB, tetapi juga non-PBB secara bilateral maupun multilateral,” tambahnya.