Gelombang Panas dan Hujan Ekstrem Juga Melanda Antartika
Meskipun Antartika terisolasi dari dunia luar, perubahan pada benua es dapat berdampak signifikan pada seluruh dunia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang panas dan hujan ekstrem yang melanda sejumlah negara juga terjadi di Antartika. Selain memicu penurunan es laut secara cepat, hal ini juga dapat berkontribusi mempercepat kenaikan muka permukaan laut global.
Para peneliti dari University of Colorado (UC) at Boulder melaporkan perubahan yang terjadi di benua terdingin dan terkering di planet ini dalam laporan tahunan State of the Climate ke-33, sebuah penilaian internasional terhadap iklim global yang diterbitkan di Bulletin of the American Meteorological Society.
”Harapan saya adalah masyarakat mulai melihat kerapuhan dan kompleksitas wilayah kutub ini,” kata Rajashree Tri Datta, peneliti di Department of Atmospheric and Oceanic Sciences, UC Boulder, yang berkontribusi pada bagian laporan terkait Antartika dan Wilayah Selatan, dalam keterangan tertulis, Sabtu (9/9/2023).
Curah hujan yang deras tahun ini sangat menarik karena mengimbangi hilangnya es di sekitar pinggiran Antartika.
Meskipun Antartika mungkin tampak terisolasi dari dunia luar, perubahan pada benua es dapat berdampak signifikan pada seluruh dunia. ”Sebagian besar air tawar di planet ini tersimpan di lapisan es Antartika. Apa yang terjadi di sana berdampak pada pantai-pantai di seluruh dunia dan apa yang mempengaruhi pantai-pantai di seluruh dunia berdampak pada segala hal mulai dari pertanian hingga pola migrasi,” kata Datta.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengamati penurunan es laut secara cepat dan peningkatan pemanasan di Antartika. Wilayah Antartika, seperti Lapisan Es Antartika Barat, mulai kehilangan es dengan cepat, sehingga berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut.
Datta dan timnya melaporkan bahwa selama enam hari pada Maret 2023, sebagian besar wilayah Antartika Timur mengalami suhu melebihi 10 derajat celsius di atas rata-rata bersejarah bulan Maret dari tahun 1991 hingga 2020. Suhu tersebut tercatat di stasiun cuaca di pedalaman Antartika Timur mencapai rekor suhu -9,6 derajat celsius pada 16 Maret 2022, lebih tinggi 44 derajat celsius dibandingkan suhu rata-rata bulan Maret di lokasi tersebut.
Biasanya, bulan Maret menandai peralihan dari musim panas ke musim dingin di Antartika dan suhu turun dengan cepat. Setelah gelombang panas, lapisan es Conger, lapisan es mengambang seukuran Roma, runtuh di Antartika Timur. Lapisan es ini menjadi semakin rentan selama bertahun-tahun. Runtuhnya lapisan es yang mengapung sering kali mempercepat hilangnya gletser di bagian hulu sehingga mengakibatkan hilangnya es dan kenaikan permukaan laut.
Ketika orang-orang di seluruh dunia juga mengalami gelombang panas yang lebih sering dan intens, menurut Datta, fenomena serupa juga terjadi di Antartika walaupun skalanya berbeda. ”Orang-orang telah merasakan arti gelombang panas. Mereka mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari dan dampaknya juga berdampak pada Antartika meski dengan cara yang sangat berbeda,” kata Datta.
Hujan ekstrem
Penelitian juga menunjukkan, Antartika Timur juga mengalami hujan salju dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Maret lalu, yaitu tiga kali lipat curah hujan rata-rata bulan tersebut di beberapa lokasi dibandingkan dengan rata-rata bulan Maret antara tahun 1991 dan 2020. Akibatnya, keseimbangan tahunan salju dan es yang tertahan di permukaan lapisan es mencapai nilai tertinggi dalam 40 tahun sejak data observasi tersedia.
”Curah hujan yang deras tahun ini sangat menarik karena mengimbangi hilangnya es di sekitar pinggiran Antartika,” kata Datta. ”Hujan salju tahun ini sebenarnya melindungi dunia dari kenaikan permukaan laut.”
Fenomena cuaca yang disebut sungai atmosfer—seperti yang memicu rekor banjir di California tahun ini—berkontribusi terhadap gelombang panas dan rekor curah hujan, kata Datta. Badai ini menarik kelembaban dari garis lintang yang lebih rendah dan mengirimkan udara hangat serta curah hujan dalam jumlah besar ke Antartika pada tahun 2022.
Meskipun curah hujan di Antartika biasanya berbentuk salju, perubahan pada atmosfer sungai ini dapat membawa panas yang cukup untuk berkontribusi pada lebih banyak pencairan permukaan atau malah mendatangkan hujan di masa depan. Selanjutnya, hal ini akan menyebabkan permukaan air laut lebih tinggi dan berdampak pada miliaran orang di seluruh dunia. Greenland, yang jauh lebih hangat dibandingkan Antartika, sudah mengalami banyak dampak ini.
Laporan State of the Climate, yang merupakan hasil kolaborasi lebih dari 570 ilmuwan internasional, juga melaporkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca di bumi mencapai rekor baru pada tahun lalu. Konsentrasi karbon dioksida rata-rata tahunan global di atmosfer adalah 50 persen lebih besar dibandingkan tingkat pra-industri, jumlah tertinggi yang pernah diukur dalam catatan observasi modern. Jumlah panas yang tersimpan di lautan terus meningkat, begitu pula permukaan laut global, rata-rata mencapai sekitar 4 inci di atas rata-rata tahun 1993.
Di bagian lain laporan tersebut, Twila Moon, wakil ilmuwan utama di Pusat Data Salju dan Es Nasional di CU Boulder, melaporkan bahwa perubahan pola cuaca juga memengaruhi kutub lain di planet ini. ”Pengamatan selama lebih dari 40 tahun terakhir menunjukkan transisi ke Arktik yang lebih basah, dengan pergeseran musim dan gangguan yang meluas yang memengaruhi flora, fauna, sistem fisik, dan masyarakat di Arktik,” tulis Moon dan timnya.