Lapisan Es Greenland Mendekati Titik Leleh Tanpa Bisa Pulih
Emisi karbon yang terus bertambah membuat lapisan es di Greenland mendekati titik leleh untuk mengalami pencairan secara permanen, yang bisa berkontribusi mempercepat kenaikan permukaan laut.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lapisan es Greenland yang mencakup area 1,7 juta kilometer persegi di Kutub Utara telah mencair dengan laju 255 giga ton per tahun sejak 2003 hingga 2016, lebih cepat dari pembentukan es. Jika lapisan es Greenland mencair seluruhnya, hal ini akan berkontribusi meningkatkan kenaikan permukaan laut global sekitar 7 meter.
Secara alami lapisan es Greenland mengalami pencairan saat musim panas, tetapi kembali bertambah melalui hujan salju di musim dingin. Namun, pemanasan global telah mengubah pola pencairan ini.
Laporan para ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research pada 2022 menunjukkan, sebelum perubahan iklim, ada sekitar 600 gigaton salju yang turun setiap tahun dan sekitar 300 gigaton keluar dalam bentuk pencairan musim panas.
Studi oleh R Mottram di jurnal Remote Sensing (2019) menunjukkan, lapisan es Greenland yang sudah mencair menyebabkan kawasan ini kehilangan es sekitar 255 gigaton (miliar ton) per tahun, lebih banyak daripada yang didapat dari hujan salju antara tahun 2003 dan 2016. Sebagian besar pencairan terjadi di bagian selatan lapisan es.
Pemodelan titik kritis, yang merupakan ambang kritis di mana perilaku sistem berubah secara permanen, membantu peneliti mengetahui kapan pencairan itu mungkin terjadi. Sebuah studi baru yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters pada Senin (27/3/2023) mengidentifikasi dua titik kritis untuk lapisan es Greenland.
Jika emisi mencapai 2.500 gigaton karbon, berarti hilangnya hampir seluruh lapisan es secara permanen.
Titik kritis pertama menyebabkan bagian selatan lapisan es di area ini mulai mencair karena lepasnya 1.000 gigaton karbon ke atmosfer. Jika emisi mencapai 2.500 gigaton karbon, berarti hilangnya hampir seluruh lapisan es secara permanen.
”Titik kritis pertama tidak jauh dari kondisi iklim saat ini. Jadi, kita berada dalam bahaya untuk melewatinya,” kata Dennis Höning, ilmuwan iklim di Potsdam Institute for Climate Impact Research yang memimpin penelitian tersebut. ”Begitu kita mulai meluncur, kita akan jatuh dari tebing ini dan tidak bisa memanjat kembali,” ucapnya.
Menurut Höning, pencairan lapisan ini disebabkan oleh kenaikan suhu udara dan air, arus laut, curah hujan. Kompleksitas bagaimana faktor-faktor tersebut saling memengaruhi dan rentang waktu yang panjang untuk mencairkan lapisan es sebesar ini perlu dipertimbangkan para ilmuwan. Karena itu, sulit untuk memprediksi bagaimana lapisan es akan merespons skenario iklim dan emisi karbon yang berbeda.
Penelitian sebelumnya juga mengidentifikasi pemanasan global antara 1 derajat dan 3 derajat celsius sebagai ambang batas di mana lapisan es Greenland akan mencair secara permanen. Data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan, kenaikan suhu global saat ini sudah mencapai 1,1 derajat celsius dibandingkan periode 1800-an.
Untuk membuat pemodelan lebih komprehensif bagaimana respons lapisan es terhadap iklim berkembang dari waktu ke waktu, studi baru Höning untuk pertama kalinya menggunakan model kompleks dari seluruh sistem bumi. Hal ini mencakup semua proses umpan balik iklim utama yang dipasangkan dengan model perilaku lapisan es.
Mereka menggunakan simulasi dengan suhu konstan untuk menemukan keadaan keseimbangan lapisan es, atau titik ketika kehilangan es sama dengan penambahan es. Kemudian, mereka menjalankan serangkaian simulasi selama 20.000 tahun dengan emisi karbon berkisar antara 0 dan 4.000 gigaton karbon.
Dari simulasi tersebut, para peneliti memperoleh titik kritis 1.000 gigaton karbon untuk mencairnya bagian selatan lapisan es dan titik kritis karbon 2.500 gigaton. Ini bahkan lebih berbahaya untuk hilangnya hampir seluruh lapisan es yang bisa berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global hingga 7 meter.
Saat lapisan es mencair, permukaannya akan berada pada ketinggian yang semakin rendah, terkena suhu udara yang lebih hangat. Suhu udara yang lebih hangat mempercepat pencairan, membuatnya turun dan semakin panas.
Temperatur udara global harus tetap tinggi selama ratusan tahun atau bahkan lebih lama agar umpan balik ini menjadi efektif. ”Perubahan drastis 2 derajat celsius tidak akan memicunya,” kata Höning.
Namun, begitu es melewati titik leleh, dia pasti akan terus mencair. Bahkan, jika karbon dioksida atmosfer berkurang ke tingkat praindustri, itu tidak akan cukup untuk memungkinkan lapisan es tumbuh kembali secara substansial.
”Kita tidak dapat melanjutkan emisi karbon pada tingkat yang sama lebih lama lagi tanpa mengambil risiko melewati titik kritis,” kata Höning. ”Sebagian besar pencairan lapisan es tidak akan terjadi dalam dekade berikutnya, tetapi tidak akan lama lagi kita tidak akan dapat melawannya lagi,” tutur menambahkan.
Pada Juli 2022, sejumlah ilmuwan telah melaporkan bahwa suhu di Greenland naik cukup signifikan sehingga menyebabkan 18 miliar ton lapisan es negara itu mencair selama periode tiga hari. Para ilmuwan telah memperingatkan tentang nasib lapisan es Greenland yang akan datang dan mengatakan apa yang terjadi antara 15 dan 17 Juli 2022 adalah peristiwa pencairan besar-besaran terbaru yang berkontribusi pada peningkatan permukaan laut global.
”Jumlah air dari pencairan 15-17 Juli sekitar 6 miliar ton per hari, atau 18 miliar ton selama akhir pekan, cukup untuk menutupi West Virginia dengan satu kaki air, kira-kira 4 inci, per hari,” papar Ted Scambos, ilmuwan peneliti senior di University of Colorado’s Earth Science and Observation Center and National Snow and Ice Data Center, dalam rilis.