Menghidupkan Kembali Budaya Mamasar Apung Muara Kuin
Budaya mamasar apung atau pasar terapung di Banjarmasin kian ditinggalkan seiring pembangunan infrastruktur di darat. Pedagang yang masih berjualan di atas jukung hanya tersisa belasan orang.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Budaya mamasar apung ke pasar tarapung yang merupakan budaya leluhur Kesultanan Banjar kini mulai ditinggalkan seiring dengan pembangunan infrastruktur di darat. Melalui Pekan Kebudayaan Nasional atau PKN 2023, pemerintah berupaya mengajak masyarakat, khususnya generasi muda yang tinggal di Desa Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk menghidupkan kembali budaya tersebut.
Pranata Humas Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Darmawati mengatakan, rangkaian acara PKN diharapkan bisa mengimplementasikan nilai-nilai pelestarian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari warga Kuin, bukan hanya sekadar seremoni. PKN adalah upaya bersama membangun wadah untuk melahirkan ruang-ruang keragaman berekspresi.
”Kebudayaan di sini (Banjarmasin) bukan hanya sekadar seni, melainkan tradisi dan kebiasaan yang membentuk kebudayaan, cara kita berlaku untuk merespons ruang dan alam itu yang ditampilkan untuk merepresentasi laku-laku masyarakat hidup sekitar,” kata Darmawati di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (9/9/2023).
Saat ini pedagang yang masih berjualan di atas jukung(perahu dalam bahasa suku Banjar) hanya tersisa belasan orang. Mereka kebanyakan adalah orangtua dan hanya sedikit yang masih menerapkan bapanduk (barter) antarpedagang. Komoditas yang dijual pun semakin sedikit, hanya buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, ikan, dan jajanan pasar.
Kita harus bangga menjadi ’orang sungai’. Pasar ini sudah membentuk budaya dan identitas warga sini. Bukannya menolak kemajuan, tetapi ternyata kemajuan itu juga menghadirkan masalah lain, seperti banjir dan sungai yang kotor.
Padahal, dulu, sejak subuh hingga siang hari, pedagang perabotan rumah tangga, pakaian, dan layanan puskesmas tersedia di tepian Sungai Barito. Sekarang, banyak pedagang yang berpindah berjualan ke darat karena para pembelinya pun bergeser ke darat.
”Bagi saya, ini sudah tradisi, bukan hanya sekadar pasar. Tidak ada bayar kios seperti di darat, pengeluaran cuma untuk solar. Sehari masih bisa mendapatkan Rp 80.000. Ini banyak yang bergeser ke (Pasar Terapung) Lok Baintan karena di sana jadi obyek wisata, lebih banyak lagi yang darat,” tutur Arbain (67), pedagang Pasar Terapung Muara Kuin sejak 1978.
Dia berharap ada anak muda yang meneruskan budaya Pasar Terapung Muara Kuin. Walaupun, pada kenyataannya, masyarakat yang dulu banyak memiliki jukung sekarang lebih memilih membeli sepeda motor atau mobil. Jalur-jalur sungai dan kanal di kota berjuluk Seribu Sungai ini pun mulai ditinggalkan.
Dalam acara PKN ini, sejumlah anak muda yang tergabung dalam komunitas seni melakukan sejumlah kegiatan bertajuk ”Batiti Ka Muara” yang berarti berjalan bersama sungai atau muara. Dimulai dari memasar apung atau belanja di Pasar Terapung Muara Kuin dan melakukan ritus Pangayuh atau ritual mengayuh dayung di pagi hari.
Kemudian, sore hari mereka bersyair mengenang Pasar Terapung Muara Kuin, menampilkan teater berjudul "Merah Kuning Kuin", dengan pameran seni instalasi Satu Padu di sekitar dermaga. Semua acara ini melibatkan anak-anak Kuin dengan tujuan agar mereka terus melestarikan budaya leluhur.
”Dari berbagai rangkaian acara ini, intinya satu, kita harus bangga menjadi ’orang sungai’. Pasar ini sudah membentuk budaya dan identitas warga sini. Bukan menolak kemajuan, melainkan ternyata kemajuan itu juga menghadirkan masalah lain, seperti banjir dan sungai yang kotor,” kata Gita Kinanthi Purnama Asri dari komunitas Excelsior Dance Project Banua.
Sejumlah anak muda yang tergabung dalam berbagai komunitas seni melakukan ritus Pangayuh atau ritual mengayuh dayung di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (9/9/2023).
PKN 2023 mengangkat tema ”Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan” yang dibagi dalam tiga fase, yaitu rawat, panen, dan bagi. Fase rawat merupakan pra-acara berupa residensi dan penelitian sejak Juni lalu. Setelah itu diikuti fase panen pada Juli-Agustus dengan mengumpulkan, mendokumentasikan, dan mengarsipkan berbagai kebudayaan di sejumlah daerah.
Kemudian dilanjutkan dengan fase bagi pada September-Oktober saat seluruh karya dibagikan melalui pameran, tur, perjamuan, pagelaran, konferensi, dan lokakarya yang dapat disaksikan publik. ”Batiti Ka Muara” di Muara Kuin, Banjarmasin, ini termasuk dalam kuratorial Laku Hidup dalam fase rawat.
Kuratorial lainnya adalah Temu Jalar, Rantai Bunyi, Gerakan Kalcer, Jejaring, Rimpang, Berliterasi Alam dan Budaya, Pendidikan yang Berkebudayaan, dan Sedekah Bumi Project. Puncak acara pada fase bagi digelar pada 20-29 Oktober 2023 dengan serangkaian pameran. Lokasinya tersebar di 38 titik di Jakarta yang terdiri dari ruang-ruang publik dan ruang komunitas.