Kontrol Keluarga dan Sosial Lemah, Anak Pun Berulah
Pengasuhan keluarga yang sehat menentukan tumbuh kembang anak yang baik pula. Anak yang tumbuh dengan kekerasan dan diabaikan berpotensi terlibat kriminalitas.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Seorang anak binaan dipeluk dan dicium ibunya saat sesi kunjungan tatap muka pada hari raya Idul Fitri, Sabtu (22/4/2023), di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya kontrol sosial dari orangtua, keluarga besar, hingga lingkungan turut menyumbang alasan anak terlibat kriminalitas. Sistem sosial yang peduli anak pun dibutuhkan, misalnya dengan menyediakan program pengasuhan bagi keluarga serta melibatkan semua pihak dalam pengasuhan.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2022-2023, anak yang bertindak sebagai pelaku kebanyakan terlibat penganiayaan dan kepemilikan senjata tajam yang biasanya digunakan dalam tawuran. Salah satu pemicu anak terlibat kriminalitas, lalu menjadi anak berkonflik dengan hukum (ABH), adalah kurangnya pengawasan dan perhatian orangtua. Ini terjadi, antara lain, karena orangtua kurang pendidikan, perceraian orangtua, dan anak tidak langsung diasuh orangtua, melainkan pihak lain.
Anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan membentuk anak dengan kecerdasan emosi yang rapuh.
Pemicu lain anak terlibat kriminalitas adalah kurangnya kelekatan dengan orangtua dan saudara kandung, kurang pendalaman spiritual, malas atau tidak sekolah, pengaruh media sosial, serta sering mengonsumsi tontonan orang dewasa.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad S Widhyharto, mengatakan, perkembangan teknologi saat ini menyebabkan perubahan sosial serius. Komunikasi orangtua dengan anak kini terjalin lewat gawai. Hal ini melemahkan kontrol sosial langsung oleh orangtua.
”Padahal, instrumen komunikasi itu punya keterbatasan,” kata Derajad, Selasa (29/8/2023). ”Ketika kontrol sosial tidak langsung dilakukan orangtua, lalu digantikan smartphone, anak berpeluang menghindari kontrol sosial. Anak bisa berbohong dengan mengatakan sedang belajar, misalnya,” ucapnya.
Karakteristik masyarakat zaman sekarang yang kian individualis, khususnya di perkotaan, pun menjadi isu. Dulu, pengasuhan anak melibatkan keluarga besar dan tetangga. Hal itu jarang terjadi di kota saat ini.
Secara terpisah, komisioner KPAI, Dian Sasmita, mengatakan, perilaku anak sangat dipengaruhi lingkungan tempatnya tumbuh, yaitu lingkungan keluarga, pendidikan, dan sosial. Keluarga punya pengaruh paling besar, tetapi tak semua anak tumbuh di lingkungan yang memadai.
Ada anak yang mendapatkan kekerasan, diabaikan, dan ditelantarkan. Dian mengatakan, anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan membentuk anak dengan kecerdasan emosi yang rapuh. Ini memengaruhi kondisi mental dan perilaku anak, seperti jadi emosional dan mudah patah semangat.
”Anak tidak bisa melakukan kriminalitas sendiri. Ada faktor di luar dirinya yang memengaruhi. Dalam sudut pandang UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak), anak juga korban dari pengasuhan yang tidak optimal,” kata Dian, Minggu (27/8/2023).
Seorang ABH yang menjadi pelaku penganiayaan, AFY (17), mengaku menjadi nakal sejak orangtuanya bercerai beberapa tahun lalu. Ia tiga kali berurusan dengan polisi, yaitu karena tawuran, kepemilikan senjata tajam, serta terakhir penganiayaan yang menyebabkan satu korban koma dan satu korban lainnya luka ringan.
Sistem sosial peduli anak
Derajad menilai perlu sistem sosial yang peduli anak. Salah satu cara adalah memperbanyak lagu anak dan tayangan untuk anak di televisi. Menurut dia, tayangan dan lagu yang beredar saat ini dibuat dengan perspektif orang dewasa. Anak-anak jadi dewasa lebih cepat, tapi tak diimbangi dengan kematangan emosi.
Ia merekomendasikan agar pendidikan pranikah bagi calon pengantin digencarkan. Pendidikan ini mesti mencakup pula kesiapan orangtua untuk membesarkan anak, baik dari segi agama, ekonomi, sosial, maupun emosional.
Menurut Dian, pemerintah mesti menggencarkan program pengasuhan yang menyasar ke keluarga rentan. Keluarga rentan merujuk pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), antara lain kelompok minoritas, fakir miskin, dan penyandang disabilitas. Ia menambahkan, keluarga dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga termasuk rentan dan butuh program pengasuhan.
Program ini agar tak hanya berisi pendidikan cara mengasuh anak (parenting), tapi juga layanan konseling bagi keluarga. Layanan ini diharapkan dekat dengan masyarakat sehingga mudah diakses. Namun, pusat pembelajaran keluarga masih minim, yakni sekitar satu buah di setiap kabupaten/kota.