Kekerasan di kalangan pemuda terkait kondisi kerentanan mental dan krisis identitas yang dialami anak muda. Semua berkaitan dengan pola asuh orangtua dan kondisi masyarakat digital saat ini yang kurang beri perhatian.
Oleh
SYAIFUDIN
·3 menit baca
Publik saat ini sedang membahas perilaku kekerasan anak pejabat pajak di Jakarta. Dalam video yang tersebar, pemuda itu menghajar korban yang sudah terkapar tidak berdaya.
Tindak kekerasan ini lalu menyeret orangtuanya beserta kekayaannya yang fantastis. Pejabat pajak itu dicopot jabatannya dan kini menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan ketidakwajaran kekayaan.
Inilah suatu realitas sosial bahwa kekerasan melekat pada kehidupan pemuda dengan berbagai motifnya. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020. Bahwa setiap tahun terjadi 200.000 pembunuhan anak muda usia 12-29 tahun. Ada 84 persen kasus melibatkan laki-laki usia muda atau remaja laki-laki. WHO menyatakan kekerasan pada anak muda menjadi isu kesehatan global yang harus mendapat perhatian serius.
Menurut WHO, bentuk kekerasan di kalangan pemuda lebih sering terjadi di perkotaan dalam bentuk kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan.
Friedmann (1971) dalam buku Youth and Society menjelaskan bahwa perilaku anak muda dalam sistem keluarga yang kacau atau disfungsi cenderung terpengaruh. Ia akan didominasi perasaan tidak aman, tidak terlindungi, dan kurang perhatian serta kasih sayang. Hal ini mendorong kerentanan mental dalam pergaulan, termasuk cara ia berinteraksi sosial.
Kondisi kerentanan mental ini memicu anak muda mengalami krisis identitas sehingga tidak dapat membedakan apakah perilaku sosialnya bertentangan dengan nilai dan norma yang ada atau malah masuk ranah kriminal.
Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020. Bahwa setiap tahun terjadi 200.000 pembunuhan anak muda usia 12-29 tahun.
Semua itu berkaitan dengan pola asuh orangtua dan kondisi masyarakat digital saat ini. Apalagi pada masyarakat perkotaan, orangtua disibukkan dengan rutinitas pekerjaan dan aktivitas sosial sehingga kurang perhatian, peran, dan fungsi pada anak. Tentunya ada juga orangtua sibuk, tetapi peran dan fungsinya terhadap anak tetap berjalan baik. Hal ini tergantung bagaimana orangtua menempatkan diri pada anak.
Pola asuh jadi cermin
Pola asuh orangtua dapat dimaknai sebagai sikap dan perilaku orangtua dalam kontak sosial dengan anak saat pengasuhan untuk membentuk perilaku anak sesuai nilai dan norma. Pola asuh keluarga ini, khususnya di perkotaan, setidaknya ada empat.
Pertama, pola pengasuhan otoriter (authoritarian parenting). Pada pola ini, umumnya orangtua membatasi, mendesak anak mengikuti arahan mereka, dan memberikan hukuman jika melanggar.
Kedua, pola pengasuhan demokratis (authoritative parenting). Pada pola ini, umumnya orangtua membangun komunikasi yang baik dengan anak.
Selain itu, orangtua turut melibatkan diri dan berdiskusi tentang masalah yang dialami anak dan mengajarkan anak kemandirian dengan tanggung jawab dan kasih sayang.
Ketiga, pola pengasuhan yang membiarkan (permissive indulgent). Pada pola ini, umumnya orangtua sangat memanjakan anak dan sedikit mengendalikan mereka. Pola ini membiarkan anak melakukan apa saja sehingga anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku.
Keempat, pola asuh mengabaikan (permissive indifferent). Pada pola ini, umumnya orangtua tidak terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Orangtua tipe ini tidak memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka sehingga anak tidak terbangun kecakapan sosialnya.
Perilaku pelaku mencerminkan pola asuh yang membiarkan (permissive indulgent), membuat pelaku terbiasa flexing dan bertindak arogan di luar kontrol dirinya.
Rumah sebagai pendidik utama
Pelaku generasi Z ini biasanya sulit menghadapi tekanan sosial, insubordinat, manja, sombong, dan arogan. Tidak heran jika pelaku sering flexing kendaraan dan gaya hidup mewah.
Fenomena ini juga terjadi pada generasi alfa sehingga dapat menjadi imitasi sosial yang tidak baik bagi individu-individu lain. Apalagi, mereka identik dengan fear of missing out (FOMO). Artinya, mereka merasa dirinya kurang pergaulan, takut dicap tidak gaul oleh temannya, dan cemas jika belum mencoba tren yang sedang viral di internet.
Becermin dari beberapa kasus yang terjadi terkait dinamika sosial pada generasi Z dan alfa, maka penting mengembalikan peran rumah sebagai sekolah utama anak menginternalisasi nilai dan norma yang baik.
Harus diakui, gagalnya pendidikan anak terutama karena hilangnya peran rumah dalam pendidikan anak. Maka, persepsi bahwa pendidikan anak hanya di sekolah dan orangtua menyimpan harapan besar terhadap sekolah harus dihapuskan.
Justru rumah menjadi sekolah pertama dan tempat bernaung bagi anak. Melalui rumah, orangtua memainkan peran di tengah kesibukan pekerjaan dan aktivitas sosial. Jika peran orangtua berfungsi dengan baik, anak juga akan berkembang dengan baik pribadi dan perilakunya.