Anak berkonflik dengan hukum bukannya ”tak tertolong lagi”. Butuh waktu, energi, dan kasih sayang untuk membentuk mereka jadi ”manusia baru”.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Ada yang ingin jadi tentara, ada juga yang ingin jadi eksekutif muda. Anak yang berkonflik dengan hukum menghitung hari hingga masa ”hukumannya” selesai untuk melanjutkan sekolah, lalu mengejar cita-cita. Sambil menyemai mimpi, mereka dididik untuk bertanggung jawab atas tindakannya di masa lampau, serta dibina untuk jadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Sejak Oktober 2022, Sentra Handayani di Jakarta Timur menjadi rumah baru AFY (17). Ia dinyatakan bersalah dalam kasus penganiayaan pada 2022. Hakim memutuskan AFY menjalani rehabilitasi sosial selama 1 tahun 10 bulan di Sentra Handayani.
Sentra Handayani dikelola Kementerian Sosial dan merupakan fasilitas multilayanan. Sentra ini juga lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS) yang menangani anak berkonflik dengan hukum (ABH). Anak yang terlibat masalah hukum, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi, ”dititipkan” di sini untuk diberi rehabilitasi sosial.
AFY yang ditemui pada Jumat (25/8/2023) menceritakan, dirinya menjalani rehabilitasi sosial seusai menganiaya dua rentenir yang dengan kasar menagih utang kepada ibunya. Seorang rentenir berakhir koma, satu lainnya luka ringan. AFY diciduk polisi tak lama setelahnya.
Kala itu AFY yakin bisa lolos dari hukuman karena telah membela ibunya. Ia merasa tak bersalah. Apalagi, menurut dia, ibunya tak pinjam uang kepada rentenir.
Pemuda kelas I SMK itu rupanya keliru. Ia tetap diminta bertanggung jawab atas perbuatannya dan terseret ke meja hijau. Korban penganiayaan sempat menawarkan opsi damai, tetapi AFY mesti membayar Rp 100 juta. AFY menolak.
Cerita berbeda dialami NZR (17). Menurut putusan hakim, pemuda itu mesti menjalani rehabilitasi sosial selama 10 bulan di Sentra Handayani terhitung sejak Juli 2023. Ia tersangkut kasus kepemilikan senjata tajam.
Senjata itu sebetulnya milik sahabatnya. Pada Mei 2023, NZR mengantar sahabatnya yang hendak berduel dengan seseorang malam-malam. NZR tak tahu temannya membawa senjata tajam. Satu senjata untuk teman NZR, satunya lagi untuk sang musuh. Teman NZR terluka saat duel, lalu meninggal.
”Saya sempat misahin mereka, tapi susah karena senjatanya gede. Almarhum langsung saya bawa ke motor. Baru 200 meter dari lokasi, dia berdarah. Saya bawa ke rumah sakit,” katanya. ”Dia meninggal di samping saya jam tiga pagi. Padahal, malamnya kami habis ngopi, ketawa-ketawa bareng,” tambahnya.
Umumnya anak terlibat kriminalitas karena kurang kasih sayang.
Ia tak mau nama mendiang sahabatnya tercoreng. Jadi, walau hanya menyaksikan duel, NZR mengaku kepada polisi bahwa senjata tajam itu miliknya. Hakim pun memutuskan NZR menjalani rehabilitasi sosial.
Memproses emosi
Rehabilitasi sosial di LPKS bukan perkara mudah, apalagi cepat. ABH yang masuk LPKS datang dengan emosi bermacam-macam. AFY, misalnya, datang dengan masih menyimpan kesal terhadap korban dan menyalahkan korban atas semua yang ia alami.
Sementara itu, NZR datang dengan dendam kepada orang yang sudah melukai sahabatnya hingga meninggal. Saat ditahan di sel sebelum ke LPKS, ia sempat berpikir untuk membakar orang tersebut. NZR juga berduka seusai kehilangan sahabat.
Di Sentra Handayani, para ABH dibina untuk memproses emosinya, antara lain dengan beribadah, curhat dengan pekerja sosial yang mendampingi, bicara dengan pengasuh asrama, dan konsultasi dengan psikolog. Anak yang butuh konsultasi dengan psikiater juga akan difasilitasi.
Butuh waktu panjang hingga AFY bisa mengelola sikap temperamentalnya sedikit demi sedikit. Sementara itu, NZR masih belajar mengikhlaskan kepergian sahabatnya. NZR juga bertekad untuk tak melakukan hal ”bodoh” lagi jika bebas nanti.
Disiplin
Di Sentra Handayani, ABH juga dididik untuk disiplin lewat kegiatan sehari-hari, seperti bangun pagi, membereskan tempat tidur sendiri, menyapu halaman, beribadah sesuai waktu, dan mengikuti sesi bimbingan sosial setiap hari. ABH pun wajib izin kepada pengasuh asrama atau pekerja sosial setiap akan berkegiatan di luar Sentra Handayani.
Adapun selama masa rehabilitasi, ABH diasuh semua pekerja sentra, antara lain pekerja sosial, pengasuh asrama, hingga petugas keamanan. Mereka bertugas mendampingi, mendidik, menjadi teman bicara, hingga memantau perkembangan ABH.
Pendidikan disiplin diharapkan menjadi benih agar ABH tumbuh jadi pribadi yang mampu menata diri, menghormati orang lain, dan bertanggung jawab. Syukur-syukur, ABH dapat introspeksi diri dan berbenah menjadi orang yang lebih baik, setidaknya dibandingkan hari kemarin.
”Ada anak yang ingin segera keluar agar bisa sekolah. Tapi, saya bilang agar selesaikan dulu tanggung jawabnya di sini. Nanti sekolah bisa dilanjutkan,” kata pengasuh salah satu asrama, Jubaedi Hambali. ”Mengasuh anak itu ibarat tarik ulur. Tidak bisa baik terus, tapi tidak bisa tegas terus.”
Kepala Kelompok Kerja Umum Sentra Handayani, Yulianti Muktar, mengatakan, per Jumat ada 13 ABH di sentra. Para ABH ada yang merupakan saksi, korban, dan pelaku tindakan melanggar hukum. ABH pelaku biasanya terlibat tawuran, kepemilikan senjata tajam, pencurian, hingga kekerasan seksual.
Umumnya anak terlibat kriminalitas karena kurang kasih sayang.
Saksi dan korban ditempatkan di Rumah Aman, sementara pelaku di Rumah Antara. ABH tinggal di Rumah Antara sampai bisa mengikuti aturan dan beradaptasi, baru setelahnya ditempatkan ke asrama.
Adapun Sentra Handayani dengan luas 10 hektar ini terdiri, antara lain, dari klinik kesehatan, ruang edukasi, ruang lokakarya, dan asrama. Dari sekitar 17 rumah asrama, setidaknya ada 10 asrama yang aktif. Setelah masuk asrama, ABH bebas berjalan-jalan di sentra, tetapi keberadaannya harus diketahui pekerja sosial yang mendampingi.
”Di Rumah Antara ditekankan bimbingan psikososial, mental, dan keagamaan. Di sana adalah ruang transisi,” kata Yulianti. ”Semua anak di sini memiliki hak yang sama walau dia melakukan kejahatan. Apa pun masalahnya, kita tetap harus memperlakukan dia sebagai anak yang terpenuhi hak-haknya.”
Para ABH akan menjalani reintegrasi sosial ketika masa ”hukumannya” selesai. Artinya, keluarga dan lingkungan sekitar disiapkan untuk menerima kembali ABH. Selama itu, orangtua pun diminta melakukan introspeksi diri agar bisa memberi pengasuhan yang lebih baik kepada anak.
Umumnya anak terlibat kriminalitas karena kurang kasih sayang. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, mengatakan, ABH juga korban dari pola asuh tak optimal.
Ada jalan panjang bagi ABH untuk membenahi diri. Walau perilaku tak bisa diubah dalam semalam, mereka setidaknya dibekali benih untuk jadi pribadi yang lebih baik. Kini, semuanya tergantung pada anak itu, keluarga, dan lingkungannya. Jangan lupa, it takes a village to raise a child….