”Inner Child” yang Buruk Dapat Timbulkan Dampak Negatif
Pengalaman buruk pada masa kecil dapat menimbulkan luka batin yang membekas hingga anak tumbuh dewasa. Untuk memulai penyembuhan, seseorang harus mengakui kehadiran ”inner child” dalam dirinya.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS —Inner child dapat memengaruhi karakter atau kepribadian seseorang saat dewasa. Jika tidak diatasi, inner child yang buruk akan menimbulkan dampak negatif, seperti sulit berkomunikasi, sulit menjalin hubungan sosial, dan sulit mengambil keputusan. Selain itu, seseorang juga akan sulit mengenali emosi yang dirasakan.
Penulis serta psikolog anak dan remaja Anastasia Satriyo mengatakan, inner child atau adverse childhood experiences merujuk pada kepribadian atau karakter seseorang yang terbentuk dari pengalaman saat anak-anak. Hal ini dapat memengaruhi suatu pikiran, emosi, dan perilaku seseorang ketika dewasa.
”Inner child bisa digambarkan sebagai bagian dari diri seseorang yang tidak ikut tumbuh dewasa dan tetap menjadi anak-anak. Bagian ini menggenggam erat setiap ingatan dan emosi yang pernah dialami seseorang saat masih kecil, baik yang indah maupun buruk,” tutur Anas dalam bincang ”Mengenal Inner Child”. Acara tersebut dalam rangka penerbitan bukunya yang berjudul Nggak Apa-Apa, Kalau Sedih Nangis Aja, di Gramedia World Bintaro Emerald, Tangerang Selatan, Sabtu (20/5/2023).
Masa kecil yang dipenuhi pengalaman menyenangkan, seperti mendapatkan kasih sayang dari orangtua, akan memberikan energi positif dan sikap optimistis yang dibawa hingga dewasa. Sementara pengalaman buruk pada masa kecil, seperti mengalami kekerasan, merasa terabaikan, dan kehilangan orang tersayang, dapat menimbulkan luka batin yang membekas hingga anak tumbuh dewasa.
Melalui buku yang ditulisnya, Anas mengajak masyarakat untuk lebih mengenal diri sendiri dan inner child-nya serta belajar untuk terhubung dan berdamai dengan trauma masa kecil. Jika tidak diatasi, inner child yang terluka sering kali menimbulkan dampak negatif. Di antaranya sulit berkomunikasi, sulit menjalin hubungan sosial, sulit mengambil keputusan, bahkan berpengaruh dalam pola asuh anak.
Seseorang dengan inner child yang terluka biasanya akan menunjukkan rasa negatif, seperti kecemasan, kekecewaan, kemarahan, atau ketakutan berlebih terhadap situasi yang berkaitan dengan pemicu traumanya. Meskipun begitu, Anas mengatakan, tidak semua orang dapat memahami inner child dalam dirinya.
Untuk memulai penyembuhan, seseorang harus mengakui kehadiran inner child dalam dirinya. Jika merasa ragu atau menolak untuk menjelajahi masa lalu, seseorang akan kesulitan memulai proses penyembuhan.
Dengan mengenali emosi, seseorang dapat lebih memahami dampaknya terhadap perilaku dan mengetahui cara untuk mengendalikannya.
Meditasi juga dapat membantu seseorang menjadi lebih nyaman dengan hadirnya emosi yang tidak diinginkan. Seseorang akan mengalami kesulitan mengenali emosi yang tidak nyaman ketika mereka tidak mendapatkan dukungan untuk mengekspresikan diri.
”Dengan mengenali emosi, seseorang dapat lebih memahami dampaknya terhadap perilaku dan mengetahui cara untuk mengendalikannya. Jika tidak bisa mengenali emosi, seseorang tidak bisa merasakan apa yang dirasakan. Kurangnya pengenalan emosi juga dapat menumbuhkan kurangnya rasa sayang terhadap diri sendiri,” tutur Anas.
Selanjutnya, untuk memulai proses penyembuhan, seseorang dapat menulis surat pada perasaan inner child mereka. Menyemangati dan percaya terhadap diri sendiri setiap hendak melakukan sesuatu juga sangat diperlukan.
Merasa tertekan
Salah satu warga Tangerang Selatan, Aulia Rahma (20), mengatakan, sering merasa tertekan akibat ucapan orangtuanya saat ia masih kecil. Ia kerap disalahkan dan tidak dipercaya orangtua. Perasaan tidak nyaman dan terancam sering menyelimutinya hingga dewasa.
Hal tersebut membuat Aulia kerap merasa tidak percaya diri terhadap dirinya. Aulia selalu merasa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Kurang percaya diri membuatnya sulit bergaul dan tidak berani mencoba hal baru. Oleh sebab itu, kini ia sering membaca buku terkait kesehatan mental untuk pelan-pelan berubah.
”Terkadang, orangtua bahkan tidak sadar jika perbuatan atau perkataannya dapat memengaruhi psikis anak. Menurut pandangan mereka, keputusan yang diambil sudah tepat dan mereka juga mendapatkan perlakuan serupa saat anak-anak atau remaja. Padahal, pola asuh tersebut terlalu keras dan kurang tepat,” kata Aulia.
Warga Tangerang Selatan lainnya, Rahmawati (18), saat ini juga tengah mencoba menyembuhkan inner child pada dirinya. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtua membuat dia kurang bisa mengekspresikan diri saat remaja.
Perlahan, Rahma mulai mengajak berbincang kedua orangtuanya dan mencoba lebih dekat. Rahma menilai, dengan mulai terbuka terhadap orangtua, maka mereka juga pelan-pelan akan mengerti kemauan anak.