Pandemi Mengancam Kesehatan Mental Anak
Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan dalam kondisi pandemi. Bagaimana bisa kesehatan mental anak rawan terganggu?
Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober tahun ini mengingatkan kita untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan menyebarkan edukasi serta solusi masalah kesehatan mental, khususnya yang terjadi pada anak sebagai salah satu kelompok yang paling rentan dalam kondisi pandemi.
Penanganan pandemi Covid-19 melalui pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat memberikan perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini memunculkan dampak yang signifikan dalam berbagai sektor dan di semua kalangan umur.
Anak merupakan salah satu kelompok yang paling rentan dalam kondisi pandemi ini. Paling tidak ada lima aspek kehidupan anak yang terdampak, yaitu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, perlindungan, dan pengasuhan.
Kelima aspek kehidupan seorang anak yang terdisrupsi oleh datangnya pandemi ini jika tidak terpenuhi dengan baik akan memengaruhi kesehatan mentalnya, terlebih di usia remaja ketika anak sedang memasuki fase mencari jati diri.
Pendidikan yang terpaksa dijalankan dari rumah melalui jaringan, selain tidak efektif, juga menimbulkan kejenuhan sehingga memengaruhi masalah psikososial anak karena tidak bisa berinteraksi dengan guru, teman, dan lingkungan sosialnya.
Hal ini tergambar dalam dua kali jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada Agustus dan November 2020, di mana terlihat perubahan yang signifikan terhadap rasa jenuh akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Alasan jenuh dengan PJJ dan menginginkan pembelajaran tatap muka berubah dari 6,5 persen pada Agustus menjadi 26,4 persen pada November.
Kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar dan rentan terhadap gangguan kesehatan, termasuk ancaman terpapar Covid-19, juga memicu munculnya rasa cemas yang mengganggu kesehatan mental anak.
Demikian juga berkurangnya kesejahteraan anak akibat orangtua kehilangan pekerjaan karena pandemi. Belum lagi dari aspek perlindungan yang disebabkan kasus-kasus, seperti terjadi kekerasan, pelecehan seksual, pernikahan dini, ataupun anak yang dipaksa bekerja.
Lalu, keterpisahan anak secara tiba-tiba dengan orangtua yang meninggal akibat Covid-19 sehingga memunculkan permasalahan pengasuhan bisa menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Ujungnya, kesehatan mental anak yang terganggu.
Baca juga : Mental Pun Goyah Diterpa Pandemi
Pandemi memperburuk
Sebelum pandemi, masalah kesehatan mental anak dan remaja sudah menjadi ”pekerjaan rumah” pemerintah yang belum terselesaikan. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 menunjukkan hal tersebut.
Data prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang. Gangguan depresi ini sudah mulai terjadi sejak rentang usia remaja (15-24 tahun) dengan prevalensi 6,2 persen.
Pandemi Covid-19 semakin memperburuk keadaan dan kondisi mental anak karena cenderung mengalami depresi dan kecemasan. Hal ini terlihat dari hasil survei Ada Apa dengan Covid-19 (AADC-19) tahun 2020 yang dilansir Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Hasilnya, pada tahun pertama pandemi, 24 persen anak mengalami gejala depresi, 14 persen di antaranya anak perempuan. Gejala emosi yang sering dialami, antara lain, ialah tertekan 26 persen, mudah marah 38 persen, sering menangis 20 persen, dan merasa sedih 42 persen. Kemudian, menyalahkan diri sendiri 42 persen serta tidak bisa berkonsentrasi dengan baik 31 persen.
Pada tahun kedua pandemi, kondisi kesehatan mental anak dan remaja belum banyak mengalami perubahan, apalagi pembatasan hampir semua ruang gerak berlangsung semakin lama akibat pandemi yang tak kunjung usai. Waktu 20 bulan menjadi teramat berat bagi anak dan remaja yang sedang tumbuh dan membutuhkan ruang gerak untuk mengekspresikan diri.
Menurut laporan terbaru Unicef berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children’s mental health, diperkirakan terdapat lebih dari 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun di dunia yang hidup dengan diagnosis gangguan mental.
Besarnya dampak pandemi terlihat dari temuan awal survei internasional terhadap kaum muda di 21 negara yang dilaksanakan oleh Unicef dan Gallup. Hasilnya, terdapat satu dari lima anak muda usia 15-24 tahun yang menyatakan mereka sering merasa depresi atau rendah minatnya untuk berkegiatan.
Survei tersebut juga menemukan, hampir satu dari tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu.
Posisi Indonesia ini berada di urutan ketiga dari 21 negara yang disurvei. Lebih tinggi dari rata-rata 21 negara (19 persen). Hal ini menjadi catatan penting dan ”alarm” mengingat anak muda adalah masa depan bangsa.
Baca juga : Tekanan Ekonomi Picu Masalah Kesehatan Jiwa
Kesulitan mental
Sebagai generasi penerus bangsa yang saat ini berstatus sebagai siswa, kondisi kesehatan jiwanya harus bisa dikelola dan dijaga dengan baik karena akan memengaruhi kesehatan fisik dan produktivitasnya.
Menurut laman Mentalhealth.gov, kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial yang memengaruhi cara berpikir, merasa, dan bertindak.
Pemetaan kondisi psikologis siswa akibat pandemi juga dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia dengan melakukan survei terhadap 15.840 siswa pada November 2020.
Survei yang dilakukan di 24 kabupaten/kota di 12 provinsi itu bertujuan mengukur sejauh mana kesulitan mental emosional serta kesejahteraan psikologis siswa sebagai individu.
Hasil asesmen menemukan masih ada 16,6 persen siswa berstatus abnormal yang mengalami kesulitan mental emosional serta 13,5 persen yang kesejahteraan psikologisnya berkategori rendah selama pandemi.
Temuan ini diperkuat dengan data Riskesdas 2018 yang menunjukkan terdapat 9,8 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengalami gangguan mental emosional.
Berdasarkan gambaran melalui kedua data tersebut, selama pandemi, gangguan mental emosional penduduk usia sekolah cenderung meningkat. Di samping itu, terpotret pula siswa perempuan cenderung mengalami kesulitan mental emosional lebih besar dan kesejahteraan psikologis lebih rendah daripada siswa laki-laki. Selaras dengan temuan survei KPPPA, di mana gejala depresi lebih banyak dialami responden perempuan.
Dari lima aspek untuk mengukur kesulitan mental emosional, terungkap bahwa aspek kesulitan emosional dan aspek kesulitan perilaku yang paling banyak dialami oleh responden, yakni sebanyak 24,5 persen dan 13,4 persen. Diikuti permasalahan hubungan sebaya (9,8 persen), hiperaktivitas (5,2 persen), dan perilaku prososial (1,6 persen).
Sementara itu, berdasarkan aspek-aspek pengukuran kesejahteraan psikologis, tampak bahwa aspek kemampuan penguasaan lingkungan paling banyak mengalami permasalahan, seperlima responden mengakui hal tersebut. Diikuti secara berturut-turut aspek perkembangan diri, hubungan positif, penerimaan diri, tujuan hidup, dan aspek otonomi.
Munculnya perasaan-perasaan tidak nyaman, seperti rasa sedih, marah, cemas, tidak bersemangat, sebagaimana yang ditemukan dari survei AADC-19 KPPPA, merupakan bentuk manifestasi kesulitan mental emosional yang tentu saja akan mengganggu aktivitas.
Pada level yang lebih berat, kesulitan mental dan emosional dapat berkembang menjadi gangguan yang lebih serius, seperti kecemasan, depresi, bahkan munculnya keinginan untuk melakukan bunuh diri.
Baca juga : Pekerja Anak dalam Impitan Ekonomi dan Pandemi
Kepedulian
Kondisi kesehatan mental anak di Indonesia yang ditunjukkan berbagai hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa pada masa pandemi, kesehatan mental sebagian anak yang notabene adalah pelajar perlu mendapat perhatian dan menjadi ancaman jika terjadi pembiaran.
Apalagi, kasus terganggunya kesehatan mental ini banyak yang tidak muncul di permukaan, bahkan banyak orang tidak menyadarinya sehingga menjadi fenomena ”puncak gunung es”.
Proses pembelajaran selama pandemi diharapkan tidak hanya fokus pada capaian akademis. Pembelajaran tatap muka yang sudah mulai dijalankan secara terbatas menjadi kesempatan bagi guru dan sekolah untuk memantau perkembangan kesehatan mental siswa setelah melalui pembelajaran jarak jauh yang panjang.
Dari sisi pemerintah, sudah saatnya menetapkan kebijakan yang mendorong investasi dan meletakkan dasar yang kuat untuk kesehatan mental, khususnya bagi generasi muda sebagai aset bangsa. Rapuhnya sistem pendukung untuk kesehatan mental perlu dibenahi, misalnya dengan meningkatkan anggaran kesehatan jiwa yang masih terbatas.
Hal terpenting adalah komitmen semua pihak untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran, literasi, dan kepedulian untuk melindungi dan menjaga kesehatan mental sebuah generasi agar mampu mencapai potensi penuh mereka. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Covid-19 Mengancam Masa Depan Anak Indonesia