Pancasila Bisa Jadi Dasar Etika Penggunaan Kecerdasan Buatan
Lima nilai Pancasila, yakni religiositas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, bisa digunakan untuk menyusun etika dan regulasi dalam menggunakan kecerdasan buatan di Indonesia.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence bisa membawa manfaat besar di banyak bidang, tetapi belum ada pagar etis sehingga berpotensi mereproduksi bias dan diskriminasi di dunia nyata. Pancasila sebagai dasar negara bisa menjadi dasar filosofis untuk prinsip etika dan pembuatan regulasi penggunaan AI di Indonesia.
Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Anggota Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, Siti Murtiningsih, menilai, Pancasila memiliki lima sila yang memiliki prinsip, yakni religiositas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Kelima prinsip ini bisa diterapkan dalam etika menggunakan AI.
”Kita bisa mengelaborasi lima prinsip etis tersebut sebagai pengembangan dan penggunaan teknologi berbasis AI,” kata Siti dalam diskusi daring bertajuk ”Regulasi dan Etika Kecerdasan Buatan” yang digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), Minggu (20/8/2023).
Dalam sila pertama, misalnya, disebutkan bahwa semua makhluk adalah mempunyai hak yang sama atau setara. Dengan demikian, teknologi AI tidak boleh lebih tinggi derajatnya dari makhluk lainnya dan seharusnya meningkatkan kompetensi manusia.
Teknologi AI juga harus menghormati martabat dan hak asasi manusia, bukan justru penggunaannya mengakibatkan perpecahan antarmanusia. AI seharusnya mengembangkan kualitas hidup manusia sehingga kontrol manusia terhadap teknologi ini harus ditingkatkan.
Terkait nilai demokrasi, AI seharusnya memperkuat demokrasi dengan partisipasi yang bermakna. Partisipasi harus dimulai dari desain yang mempertimbangkan semua kepentingan, data yang merepresentasikan semua kalangan, hingga pemanfaatan teknologi AI yang bisa dimanfaatkan semua orang.
Siti menegaskan, Pemerintah Indonesia semestinya tidak hanya berusaha mewujudkan keterbukaan informasi melalui e-government. Namun, juga membangun civic tech (teknologi sipil) berbasis AI yang memperkuat partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dan menjamin kebebasan berbicara.
”Nah, kasus-kasus pembungkaman para aktivis yang bersuara kritis di media sosial tidak boleh terjadi. Alih-alih dibungkam, suara rakyat harus difasilitasi, salah satunya melalui civic tech berbasis AI,” ucapnya.
Pengembangan dan penggunaan AI juga harus adil bagi semua, tidak boleh ada warga yang ditinggalkan dalam perkembangan teknologi ini. Lebih baik lagi jika teknologi ini bisa mengurangi kesenjangan sosial dan tidak diskriminatif.
Kami tengah menggodok Surat Edaran Menteri Kominfo tentang panduan etika AI. Ini bisa menjadi embrio regulasi AI yang lebih komprehensif di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menambahkan, arah penyusunan etika dan regulasi AI di Indonesia harus menggunakan pendekatan multidimensional dan beragam kepentingan. Perlu juga kejelasan jangkauan dari peraturan perundang-undangan konvensional terhadap teknologi baru seperti AI agar tidak menimbulkan tumpang tindih regulasi.
”Sering kali di Indonesia pendekatannya sangat sektoral sehingga banyak sekali agensi yang terlibat, baik dalam pengembangan aturan sebagai regulator maupun penegak aturan itu sendiri. Ini berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk dalam perlindungan warga dalam memanfaatkan teknologi AI ini,” kata Wahyudi.
Saat ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana menyusun kebijakan tentang etika terkait AI, selain beberapa peraturan menteri sebelumnya yang sudah menyinggung pengaturan penggunaan AI. Nantinya, kebijakan akan disesuaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
”Kami tengah menggodok Surat Edaran Menteri Kominfo tentang panduan etika AI. Ini bisa menjadi embrio regulasi AI yang lebih komprehensif di Indonesia,” kata Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) memberikan gambaran bahwa 69 juta jenis pekerjaan baru akan diciptakan dan kemungkinan akan menghilangkan sekitar 83 juta jenis pekerjaan lainnya. Ada juga 14 juta pekerjaan yang mengalami perubahan dengan dipaksa menambah deskripsi pekerjaan, tetapi dengan upah yang relatif sama.
Lima pekerjaan teratas yang akan diminati setelah perkembangan teknologi ini adalah spesialis AI dan machine learning, spesialis keberlanjutan (konsultan perusahaan), analis bisnis intelijen, analis keamanan informasi, dan fintech engineer. Semua pekerjaan ini membutuhkan kompetensi yang tinggi.
Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022, hanya 10,15 persen dari penduduk Indonesia yang lulus perguruan tinggi. Pemerintah perlu mempertimbangkan hal ini demi mengantisipasi gelombang pengangguran akibat disrupsi teknologi.