Penggunaan kecerdasan buatan dalam jurnalistik perlu disertai dengan kehati-hatian. AI menawarkan berbagai kemudahan, tetapi juga masih mempunyai sejumlah kelemahan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat memudahkan beberapa pekerjaan wartawan. Namun, jurnalis perlu selektif menggunakannya karena produk AI rentan menghasilkan bias dan informasi yang tidak akurat.
Salah satu kecerdasan buatan yang banyak digunakan adalah ChatGPT. Chatbot buatan OpenAI tersebut mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cepat dan membuat konten dari data yang dihimpun.
Akan tetapi, menurut akademisi Monash University, Derry Wijaya, ChatGPT masih memiliki banyak kekurangan. Tulisan produk ChatGPT, misalnya, masih sering menampilkan bias.
AI memang memberikan kemudahan bagi jurnalis terutama dalam menulis berita repetitif, seperti pertandingan olahraga dan informasi cuaca. Namun, aspek kreatif dan imajinatif yang dimiliki manusia belum bisa digantikan.
”Dalam memakai ChatGPT harus hati-hati untuk dua hal, yaitu bias dan akurasi data,” ujarnya dalam diskusi virtual ”AI Ancam Kerja Jurnalis?”, Rabu (9/8/2023).
Derry mengatakan, AI generatif mengolah data dari berbagai sumber di internet, di antaranya Wikipedia, blog, dan sejumlah artikel pemberitaan. Berbagai produknya juga telah dipakai oleh sejumlah media.
Akan tetapi, penggunaannya perlu dibatasi sehingga tidak dipakai untuk semua pemberitaan. Surat kabar The Washington Post, misalnya, memakai penulis robot untuk membuat berita olahraga dan pemilihan umum.
”AI itu seperti personal assistant untuk membantu beberapa pekerjaan jurnalis. Kerjanya memang lebih cepat, tetapi hasilnya tidak lebih bagus dibandingkan karya manusia,” katanya.
Derry menuturkan, The Washington Post telah menggunakan program robot Heliograf untuk membuat konten pemberitaan. Pada 2016, media ini bisa memproduksi 500 artikel berita tentang pemilu Amerika Serikat dengan sangat cepat.
Akan tetapi, penggunaan AI dalam jurnalistik mesti disertai dengan kehati-hatian. Sebab, tidak jarang fakta atau data yang disampaikan kurang akurat sehingga berpotensi menyebarkan misinformasi.
”Jangan percaya 100 persen pada apa yang dihasilkan ChatGPT. Jika hasilnya salah, kita beri umpan balik karena itu akan melatih mesinnya,” ucapnya.
Oleh karena itu, jurnalis harus mengecek kembali produk yang dihasilkan oleh AI. Dengan begitu, bias dan ketidakakuratan data dapat dikoreksi sebelum dipublikasikan.
AI memang memberikan kemudahan bagi jurnalis terutama dalam menulis berita repetitif, seperti pertandingan olahraga dan informasi cuaca. Namun, aspek kreatif dan imajinatif yang dimiliki manusia belum bisa digantikan.
”ChatGPT itu seperti personal editor. Jadi, kita yang memasukkan konten, lalu AI menulisnya dengan cepat. Namun, datanya harus dari kita. Setelah selesai, tetap perlu diperiksa apakah datanya benar atau tidak,” katanya.
Managing Editor Kompas.com Amir Sodikin mengatakan, kemunculan AI menghadirkan dilema besar bagi dunia jurnalisme. Dilema tersebut menyangkut akurasi, pekerjaan jurnalis digantikan oleh AI, privasi dan keamanan data, transparansi dan akuntabilitas, duplikasi konten, sensitivitas dan trauma, serta kurangnya pemahaman dan kontekstual.
”Bisa jadi dunia informasi nanti kebanyakan diproduksi oleh mesin-mesin yang tidak ada sisi humanisnya dan tidak ada sisi interaksi manusianya,” ujarnya.
Akan tetapi, media tidak bisa sembunyi dari kemajuan teknologi. Sebab, AI juga memberikan peluang bagi jurnalis untuk membantu pekerjaannya.
Amir mengatakan, pihaknya telah memanfaatkan AI dalam beberapa hal, salah satunya penggunaan virtualhost. Selain itu, dipakai AI dipakai juga untuk mengkreasi konten-konten informatif, tips-tips, dan wisata.
”Untuk tips-tips general yang tidak spesifik, mereka (ChatGPT) masih oke. Ini semua ada editornya untuk melihat apakah konteks dan referensinya benar,” lanjutnya.
Penafian
Amir menuturkan, pihaknya menekankan sejumlah aturan penggunaan AI kepada para jurnalisnya. Konten AI, baik narasi, foto, maupun ilustrasi, harus disertai dengan disclaimer atau penafian. Hal ini sebagai pertanggungjawaban kepada pembaca.
Pihaknya juga tidak memakai AI untuk konten keuangan dan kesehatan karena akan berakibat fatal jika terjadi kesalahan. ”Kalau di kesehatan dampaknya bisa membunuh orang. Sementara di ekonomi bisa membuat orang bangkrut,” ucapnya.
Amir menambahkan, dalam jurnalisme, AI bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, seperti mencari angle pemberitaan, mengedit sederhana, menerjemahkan bahasa, membuat ringkasan, dan mengubah teks menjadi audiovisual.
”Setiap proses akan dengan mudah digantikan oleh AI. Namun, ada yang tidak bisa digantikan, yaitu yang membutuhkan interaksi manusia. Kalau kita ingin memperbaiki jurnalisme, mau tidak mau reporter turun ke lapangan untuk bertemu dengan orang-orang. Liputan itu membedakan dengan produk AI,” tuturnya.