Jurnalisme dalam Bayang-bayang Kecerdasan Buatan
Penggunaan kecerdasan buatan untuk membantu kerja-kerja jurnalistik memang tak terbantahkan. Namun, tanpa kehati-hatian, pemanfaatannya berpotensi menghadirkan bumerang.

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence menghadirkan kemudahan dalam berbagai bidang, termasuk jurnalisme. Namun, apakah kecerdasan buatan akan menggeser peran wartawan atau sebatas membantu pekerjaannya?
Pertanyaan ini mengemuka pascamunculnya chatbot berbasis kecerdasan buatan bernama ChatGPT pada November 2022. Teknologi yang dikembangkan OpenAI tersebut mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cepat dan membuat konten dari data yang dihimpunnya.
Penggunaan kecerdasan buatan untuk membantu kerja-kerja jurnalistik memang tak terbantahkan. Sejumlah perusahaan media pun sudah menerapkannya. Mesin ini mampu meringkas hasil wawancara dalam poin-poin penting yang memudahkan pekerjaan jurnalis.
Namun, menyerahkan sepenuhnya pekerjaan jurnalistik pada AI juga bisa menjadi bumerang. Sebab, teknologi ini masih memiliki banyak keterbatasan, seperti dalam akurasi dan verifikasi sehingga berpotensi menabrak kode etik jurnalistik.
Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo, mengatakan, teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT tidak selalu bisa memberikan jawaban yang presisi. ”Teknologi ini memang membantu. Namun, cukup banyak jawabannya yang spekulatif. Padahal, jurnalisme harus memberikan informasi faktual. Jadi, tidak semua hal bisa diserahkan pada mesin,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (4/3/2023).
Baca juga: ”Metaverse” dan Jurnalisme
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F25%2F7e8e642e-50cf-4496-acd6-e9278f5d0721_jpg.jpg)
Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo (kedua kiri), di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Penggunaan AI mempermudah pengumpulan data. Hal ini membuka peluang untuk memproduksi berita menjadi lebih efektif. Bahkan, kecerdasan buatan bisa membantu dalam penulisan artikel.
Alhasil, perusahaan media memungkinkan memproduksi berita lebih banyak. Namun, hal ini tidak menjamin kualitas berita menjadi lebih baik.
”Mesin tidak bisa menangkap nuansa dan konteks. Hal ini akan hilang jika hanya mengandalkan mesin. Tetap harus dilakukan oleh manusia. Jadi, selain muncul peluang, juga ada berbagai tantangan,” ujarnya.
Kehadiran ChatGPT mendatangkan kompetisi luar biasa bagi media massa. Sebab, media tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi masyarakat. Dengan menuliskan kalimat pertanyaan atau perintah, pengguna AI akan disuguhkan jawaban berupa teks buatan perangkat lunak.
Belum ada formulasi yang ampuh untuk menghadapi tantangan ini. Namun, Agus mengingatkan, mesin canggih seperti ChatGPT tidak akan bekerja tanpa adanya data untuk diolah. Kekayaan data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, termasuk platform media massa.

Sebuah layar menampilkan ChatGPT, aplikasi perangkat lunak kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh OpenAI.
”Bagaimana asal-usul ChatGPT itu belum banyak dibahas. Padahal, dalam prosesnya, publisher atau media juga punya kontribusi. Kemudian mesin itu mendisrupsi media,” jelasnya.
Agus mengajak insan pers untuk tidak hanya fokus pada kecanggihan dan manfaat dari kecerdasan buatan. Di sisi lain, teknologi ini juga berpotensi mendatangkan masalah etis seperti hak cipta dan plagiasi.
Pengembangan AI tidak bisa dilepaskan dari motif bisnis. Teknologi ini menghabiskan investasi besar sehingga berharap keuntungan yang besar pula. Namun, belum ada ketentuan dalam pembagian keuntungan ekonomi terhadap pihak publisher yang datanya juga dimanfaatkan oleh teknologi kecerdasan buatan tersebut.
Baca juga: Kecerdasan Buatan
”Surplus ekonomi digital dinikmati oleh segelintir perusahaan. ChatGPT ini bukan hanya inovasi teknologi, tetapi fenomena kapitalisme digital. Mereka mengolah data yang diumbar, termasuk oleh media. Namun, sisi feedback dengan publisher tidak diatur,” katanya.
Agus menambahkan, industri media menghadapi turbulensi akibat disrupsi. Namun, tak hanya media, perusahaan platform juga saling mendisrupsi.
Namun, menyerahkan sepenuhnya pekerjaan jurnalistik pada AI juga bisa menjadi bumerang. Sebab, teknologi ini masih memiliki banyak keterbatasan, seperti dalam akurasi dan verifikasi sehingga berpotensi menabrak kode etik jurnalistik.
Kondisi ini berdampak terhadap keuangan perusahaan sehingga melakukan pemangkasan tenaga kerja besar-besaran. Dalam beberapa pekan terakhir, Alphabet, induk perusahaan Google, mengumumkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 12.000 karyawan. Microsoft berencana melakukan PHK terhadap 10.000 pegawai.
Sementara Amazon akan mem-PHK lebih dari 18.000 karyawan. Raksasa teknologi lain, Meta, sebagai induk Facebook dan Twitter, telah merumahkan ribuan karyawannya pada tahun lalu (Kompas, 24/1/2023).
Di tengah gelombang disrupsi, Agus meyakini akan tercipta keseimbangan baru. Artinya, tidak terjadi disrupsi total sehingga sejumlah media akan bertahan dengan memperkuat karakternya masing-masing.
”Keseimbangan baru ini mulai terlihat di Eropa barat dan utara. Mereka menyadari, ada konten yang cukup diakses melalui media sosial, tetapi ada juga yang harus diproduksi oleh media massa. Artinya, media massa tidak bisa digantikan sepenuhnya,” jelasnya.
Keterbatasan
Sejumlah perusahaan media di dunia mulai menguji coba pemakaian AI. CNET, perusahaan pers asal Amerika Serikat, pada November 2022 melakukan uji coba dengan merilis artikel finansial yang dituliskan AI.

Foto logo Google. Perusahaan ini akan merilis aplikasi chatbot percakapan.
Setelah dua bulan, perusahaan itu menghentikan campur tangan AI dalam pembuatan artikel. Sebab, redaksi CNET merasa masih banyak kekurangan dari penggunaan AI sehingga membutuhkan koreksi substansial.
Laporan survei ”Journalism AI” oleh para peneliti London School of Economics and Political Science pada November 2019 menyebutkan, kecerdasan buatan tidak akan mematikan jurnalisme. Namun, dunia jurnalistik juga akan menghadapi beragam tantangan, seperti sikap apatis publik dan persaingan mendapatkan perhatian masyarakat.
Laporan ini didasarkan pada survei terhadap 71 organisasi berita di 32 negara berbeda terkait kecerdasan buatan dan teknologi terkait. ”Survei ini menunjukkan keterbatasan AI dan perlunya upaya lebih untuk membuatnya bekerja dengan baik. Mereka mendemonstrasikan bahwa AI memberi mereka lebih banyak kekuatan, tetapi dengan itu mendatangkan editorial dan tanggung jawab etis,” tulis laporan itu.
Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers Asmono Wikan mengatakan, teknologi selalu menghadirkan sisi positif dan negatif. Terlepas dari kemudahan yang ditawarkan, produksi konten jurnalistik harus tetap tunduk pada kaidah jurnalistik.
Baca juga: Media Arus Utama Menjadi Penjernih Informasi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F25%2F6e240519-bc66-4d2c-bd2e-50c6f2fc4ea8_jpg.jpg)
Kamera wartawan disiapkan di depan lobi Gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/11/2020). Mereka menunggu KPK yang rencananya akan memberikan keterangan terkait operasi penangkapan sejumlah pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait dugaan korupsi ekspor benur.
”Memang kecerdasan buatan menjanjikan kecepatan, tetapi belum tentu dengan validasi dan kredibilitas informasi,” katanya.
Oleh karena itu, penggunaan AI mesti diterapkan dalam limitasi tertentu, seperti dalam pengumpulan data awal dan merangkum wawancara. Sementara hal-hal lain yang substansial harus diolah oleh jurnalis.
”Jangan memberikan mandat verifikasi, akurasi, dan legitimasi pada teknologi semata. Dalam pekerjaan jurnalis, tetap perlu critical thinking yang ada pada manusia. Akan jadi blunder kalau semuanya diserahkan ke mesin teknologi,” ujarnya.
Dalam bayang-bayang semakin canggihnya kecerdasan buatan, dunia jurnalisme mendapatkan peluang sekaligus tantangan. Peluang bekerja lebih efektif dengan teknologi AI sepintas seperti tawaran yang menggiurkan. Namun, perlu disertai kehati-hatian agar cara baru ini tetap berjalan dalam koridor etika jurnalistik dan tidak menurunkan kualitas konten berita yang merugikan masyarakat.